.

.

Minggu, 18 Maret 2012

SIAUW GIOK TJAN

Cover bersampul plastik


Judul: "SIAUW GIOK TJAN"
Siauw Tiong Djin
Tebal: 451 halaman.
PENERBIT: HASTA MITRA
cetakan I, 23 maret1999
Kondisi: LUMAYAN.

TERJUAL



Perkembangan di Indonesia selama 12 tahun terakhir ini untuk komunitas Tionghoa menyejukkan. Berbagai UU dan peraturan yang mengandung rasisme telah berhasil dihapus. UU kewarganegaraan baru yang mengganti UU Kewarganegaraan 1958 mengandung berbagai kepositifan. Tahun baru imlek telah dijadikan hari raya nasional dan perayaan bisa dilakukan secara terbuka. Bahasa Tionghoa bisa digunakan secara bebas. Sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa juga bisa dibuka dan dikembangkan secara bebas.
Kesemuanya ini adalah hasil perjuangan jangka panjang. Perjuangan membangun Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Nasion yang berlandaskan pluralisme dan apa yang kini dikenal di banyak negara maju sebagai multi-kulturalisme.
Akan tetapi sejarah menunjukkan bahwa apa yang tertera dalam UU atau Peraturan di sebuah era kekuasaan pemerintah, tidak menjamin pelaksanaan konsekwen.
Di negara-negara maju seperti Australia dan Kanada, di mana Multi-kulturalisme telah dihukum-kan, di mana a citizenship based Nation telah diwujudkan, masih saja terjadi berbagai penyelewengan yang merugikan komunitas tertentu dan Nation yang dimaksud secara keseluruhan.
Di negara berkembang seperti Indonesia, kemungkinan adanya penyelewengan, baik yang terselubung maupun yang terang-terangan, bisa terjadi tanpa sanksi hukum. Bahkan, pergantian pemerintah, bisa membatalkan UU dan Peraturan yang membangun dengan UU dan Peraturan yang destruktif ¡V tanpa mengindahkan dampak-dampak dan kecaman-kecaman dunia Internasional.
Ada sebuah contoh yang telah dilupakan banyak orang. Dalam awal kemerdekaan, salah satu tugas penting pemerintah RI adalah menentukan siapa yang mengisi keberadaan hukum Nasion Indonesia. BP KNIP sebagai Lembaga Legislatif mengeluarkan UU Kewarganegaraan 1946 yang menjadikan semua orang yang lahir di Indonesia, termasuk mereka yang berasal dari keturunan asing, warga negara Indonesia. Dengan demikian, semua yang lahir di Indonesia, menjadi warga negara pada waktu yang bersamaan. Yang tidak mau menjadi warga negara Indonesia, harus menolaknya di pengadilan. Mereka diberi waktu 2 tahun, yang kemudian diperpanjang hingga Desember 1951. Dengan demikian, hanya mereka yang menolak kewarganegaraan Indonesia pada bulan Desember 1951-lah menjadi Warga Negara asing. Yang lain, termasuk sebagian besar komunitas Tionghoa, secara hukum adalah warga negara Indonesia.
Ternyata perkembangan politik dan ekonomi, dengan silih bergantinya kabinet, memungkinkan UU kewarganegaraan ini dibatalkan dan diganti dengan UU Kewarganegaraan baru pada tahun 1958. UU yang merupakan kompromi antara kelompok yang ingin mempertahankan UU 46 dengan kelompok yang ingin menjadikan sebanyak mungkin orang keturunan asing, terutama Tionghoa, warga negara asing. Bilamana tidak ada perjuangan gigih, pembatalan UU 46 ini memiliki dampakyang sangat destruktif untuk pembangunan Nasion Indonesia. Hampir semua orang Tionghoa yang ada di Indonesia kini menjadi warga negara asing.
Generasi muda yang menghirup udara kemerdekaan di masa kini pada umumnya tidak menyadari bahwa kewarga-negaraan Indonesia yang dimilikinya ini, kebebasan melakukan adat istiadat Tionghoa, termasuk perayaan Imlek, penggunaan bahasa Tionghoa dan adanya alam pluralisme ini adalah hasil sebuah perjuangan jangka panjang yang dilalui dengan banyak pengorbanan lahir dan batin.
Generasi penerus-pun harus senantiasa sadar dan siap menghadapi kemungkinan berbagai UU dan Peraturan yang kini meng-outlaw rasisme dibatalkan. Untuk bisa efektif mencegahnya, mereka harus mengenal sejarah dan menggunakan pengalaman para pendahulunya sebagai pedoman.
Salah satu pejuang gigih dalam proses pembangunan Nasion Indonesia yang di singgung ini adalah Siauw Giok Tjhan. Karena aliran politik yang dianutnya, Siauw Giok Tjhan dan riwayat perjuangannya, sengaja dihilangkan dari sejarah Indonesia oleh Rezim Orde Baru. Kekuasaan yang menggantikannya hingga saat ini, tidak memiliki bahan dan juga tidak berkepentingan untuk membuka lembaran sejarah yang telah dilenyapkan ini.
Inilah dasar penerbitan buku Renungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan ¡V yang merupakan gabungan buku-buku dan tulisan Siauw Giok Tjhan dan buku pendamping, Siauw Giok Tjhan dalam Pembangunan Nasion Indonesia ¡V yang saya tulis sebagai biografi politik, yang diluncurkan hari ini. Kedua buku ini menuturkan sumbangsih komunitas Tionghoa dalam pembangunan Nasion Indonesia dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan dan bagaimana berbagai kebijakan pemerintah yang melanggar UUD serta UU yang berlaku dilawan.
Ketokohan Siauw dalam sejarah berkaitan dengan upaya pembangunan Nasion Indonesia. Dan ini ia tempuh sejak tahun 1932 hingga ia meninggal pada tahun 1981. Perjalanan panjang ini melibatkannya sebagai wartawan, pimpinan redaksi berbagai majalah dan surat kabar, anggota KNIP dan Badan Pekerja-nya, menteri negara, anggota DPR, anggota DPR-GR dan MPRS, anggota DPA dan ketua umum Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia), tahanan politik dan pelarian politik.
Pokok-pokok pemikiran yang dituangkan dalam kedua buku ini, masih bisa dijadikan bahan-bahan pertimbangan dalam menghadapi dan mencari jalan keluar jangka panjang untuk pembangunan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Manifesto Politik 1945 Dan Kewarganegaraan Indonesia
Perjuangan politik Siauw dalam pembangunan Nasion Indonesia berlandaskan salah satu janji yang terkandung dalam Manifesto Politik 1946, yaitu pemerintah akan menjadikan semua orang keturunan asing yang lahir di Indonesia warga negara dan patriot Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin.

Jiwa proklamasi 1945 yang terkandung dalam Manifesto Politik ini terwujud karena kehadiran beberapa tokoh Tionghoa dalam kancah perjuangan kemerdekaan, di antaranya Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Yap Tjwan Bing, Oey Gee Hwat, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan.
Peranan politik penting yang dimainkan Tan Ling Djie sebagai sekretaris jendral Partai Sosialis, partai yang berkuasa di awal kemerdekaan, menyebabkan Badan Pekerja KNIP melahirkan UU Kewarganegaraan 1946 yang disinggung di atas.
Sejak tahun 1932, dengan masuknya Siauw dalam Partai Tionghoa Indonesia yang dipimpin oleh Liem Koen Hian, Siauw telah berpedoman bahwa komunitas Tionghoa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia. Dan kewarganegaraan Indonesia adalah landasan hukum keberadaan Nasion Indonesia.
Yang diperjuangkan oleh Siauw adalah terwujudnya sebuah Nasion yang bersandar atas Kewarganegaraan ¡V a citizenship based nation. Bentuk hukum yang diidami ini tidak memungkinkan rasisme berkembang, karena ia akan melanggar hukum. Setiap warga negara di mata hukum sama. Dan latar belakang etnistas-nya tidak memiliki peranan dalam keberadaannya sebagai warga negara.
Ini-pun tidak memungkinkan dihukumkannya istilah ¡§asli¡¨. Karena faktor biologis, seandainya memang ada orang yang bisa membuktikan dirinya ¡§asli¡¨ Indonesia, tidak memiliki peranan dalam hukum.
Inilah esensi perjuangan Baperki ¡V Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia yang ia pimpin dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan pada tahun 1966. Baperki lahir sebagai reaksi terhadap arus politik yang ingin membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 dan yang menginginkan sebanyak mungkin orang Tionghoa di Indonesia berstatus warga negara asing.
Perjuangan Siauw dan Baperki, baik di dalam maupun luar parlemen, berhasil mencapai kompromi yang membatasi di ¡§asing¡¨kan-nya banyak orang Tionghoa, baik dengan dikeluarkannya UU kewarganegaraan 1958 maupun dengan diratifikasinya Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan antara RI dan RRT pada tahun yang sama.
Salah satu legacy yang ditinggalkan oleh Siauw dan Baperki adalah keberadaan sebagian besar komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Indonesia, di masa kini.

Bhinneka Tunggal Ika

Sejak tahun 1958-an, Siauw telah berargumentasi bahwa beberapa komunitas Tionghoa yang sudah menetap di berbagai daerah di Indonesia selama ber-ratus tahun memiliki kwalifikasi suku. Berdasarkan pengertian ini, ia menuntut komunitas Tionghoa secara keseluruhan diterima sebagai salah satu suku yang tidak terpisahkan dari tubuh Nasion Indonesia.
Tuntutan Siauw ini akhirnya diterima oleh Soekarno pada tahun 1963 di acara kongres Baperki ke 8. Memang bisa timbul berbagai perdebatan ilmiah, pro dan kontra.
Akan tetapi motivasi Siauw sebenarnya mudah dimengerti. Ia ingin mempermudah upaya-nya dalam menjunjung tinggi Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa.

Bilamana komunitas Tionghoa diterima sebagai salah satu suku, konsep Bhinneka Tunggal Ika mudah dipergunakan sebagai alat ampuh dalam melawan rasisme.
Komitmen perjuangan mewujudkan Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika inilah yang mendorong Siauw menyebar-luaskan konsep integrasi wajar. Semua suku, termasuk Tionghoa, meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia, tanpa menghilangkan ciri-ciri dan menanggalkan adat istiadat etnisitasnya.
Siauw berpendapat bahwa ukuran seseorang sebagai patriot sejati tidak berkaitan dengan nama, agama, aliran politik dan latar belakang etnisitas-nya. Ukuran utamanya, adalah sikap dan sumbangsih kongkrit terhadap Bangsa dan Negara Indonesia. Oleh karena itu, Siauw menentang konsep assimilasi yang hendak mengaitkan patriotisme dengan latar belakang ras dan ciri-ciri etnisitas.
Konsep integrasi ini di banyak negara maju kini lebih dikenal sebagai multi-kulturalisme. Penetrapannya dihukumkan di negara-negara seperti Australia dan Kanada.
Rasisme di negara-negara maju sudah lama di out-law. Perkembangan di Indonesia memang menyejukkan karena di sini-pun sekarang rasisme telah dinyatakan sebagai pelanggaran hukum.

Pengembangan Modal Domestik

Siauw sangat mendukung kehadiran UUD pasal 33 yang menginginkan semua kekayaan alam dikuasai negara untuk menjamin kemakmuran Rakyat.
Akan tetapi animo para tokoh politik dari awal kemerdekaan hingga kini, untuk melaksanakan pasal UUD ini secara konsekwen tidak pernah besar. Yang berkembang sejak kemerdekaan Indonesia terkonsolidasi pada tahun 50-an malahan arus peng¡¨asli¡¨-an bidang ekonomi yang dijalankan dan dikembangkan oleh komunitas Tionghoa sejak zaman penjajahan, yaitu transportasi, distribusi sembako, perdagangan eceran dan penggilingan padi.
Siauw berargumentasi bahwa modal di bidang ini walaupun sebagian besar dimiliki dan dikembangkan oleh pedagang-pedagang Tionghoa, baik totok maupun peranakan, sangat membantu pembangunan ekonomi nasional, yang erat berkaitan dengan pembangunan Nasion Indonesia. Oleh karenanya, ia seharusnya dilindungi dan dibantu perkembangannya, bukan dirongrong bahkan dirusak oleh berbagai kebijakan rasis.
Siauw menyesalkan pola pikir banyak tokoh nasional yang memusatkan perhatian dan tenaga untuk meng¡¨asli¡¨kan usaha-usaha yang dimiliki Tionghoa. Perjuangan gigihnya di parlemen memperoleh dukungan fraksi berpengaruh yang dipimpinnya, Fraksi Nasional Progresif. Dan di zaman Demokrasi Terpimpin, formulasi Siauw tentang pengembangan modal domestik yang dimiliki komunitas Tionghoa mask dalam GBHN dan DEKON. Lagi-lagi sejarah menunjukkan bahwa GBHN dan DEKON yang baik ini tidak menjamin pelaksanaan yang mendukungnya. Pelanggaran dilakukan secara terang-terangan.
Pergantian politik pada tahun 1965 menghapuskan kebijakan yang membangun ini. Pemerintah Orde Baru menggantinya dengan berbagai kebijakan rasis yang merugikan pembangunan ekonomi nasional meraja lela.

Pendidikan

Dalam menghadapi kebijakan rasis yang membatasi ruang lingkup pendidikan untuk komunitas Tionghoa, Siauw mengajak Baperki bersikap positif. Dalam waktu singkat, sejak tahun 1958 hingga akhir hidupnya, baperki berhasil membangun jaringan pendidikan yang terdiri dari ratusan sekolah yang menampung sekitar seratus ribu siswa dan beberapa kampus universitas ¡V Universitas Respublica, yang menampung ribuan mahasiswa. Tanpa jaringan pendidikan Baperki, sebagian besar dari mereka ini tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh pendidikan.
Melalui jaringan pendidikan ini, Baperki mendidik siswa-nya untuk mencintai Indonesia dan bukan saja mengerti politik tapi juga berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Lepas dari aliran politik yang dianutnya, Siauw dan Baperki berhasil menanamkan kecintaan terhadap Indonesia. Sebagian besar siswa Baperki berasal dari komunitas Tionghoa totok yang tanpa Baperki akan berkiblat ke Tiongkok.
Dampak positif pendidikan politik yang walaupun singkat tetapi intensif ini adalah hadirnya banyak mantan URECA dan PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ¡V Pemuda Baperki, sebagai pelopor pendirian organisasi-organisasi Tionghoa setelah Soeharto jatuh 12 tahun yang lalu
Menunggal dengan Rakyat
Siauw mengajak massa Baperki untuk memperjuangkan diwujudkannya sebuah kondisi yang memungkinkan suku Tionghoa secara wajar meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia dan menjadikan aspirasi Rakyat aspirasi komunitas Tionghoa. Menurutnya, ini akan mendorong para suku lain untuk menerima suku Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Bila ini tercapai, rasisme tidak akan bisa berkembang.
Ia berpendapat bahwa perjuangan mewujudkan kondisi ini memakan waktu lama dan harus dilakukan dalam semua bidang. Inilah yang mendorongnya untuk menjadikan Baperki alat pendidikan politik efektif. Massa-nya dikerahkan untuk berpolitik mendukung arus pembangunan Nasion Indonesia yang tidak mengenal istilah ¡§asli¡¨ dan tidak memungkinkan rasime berkembang. Baperki tercatat sebagai organisasi masa Tionghoa yang terbesar dalam sejarah Indonesia.
Kedekatan Siauw dengan Soekarno dan PKI menyebabkan ia dan Baperki berada di posisi musuh kekuatan politik kanan yang dipimpin oleh Angkatan Darat. Akibatnya ketika kekuatan kanan mengambil alih kekuasaan politik pada akhir 1965, Baperki hancur dan Siauw bersama banyak tokoh Baperki lainnya ditahan.
Setelah meringkuk 12 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan apa-pun dan setelah hidup di luar negeri sebagai seorang pelarian politik, Siauw tetap berkeyakinan bahwa UUD-45, Bhinneka Tunggal Ika dan Panca Sila adalah kerangka yang akan membawa Indonesia ke alam demokrasi dan kemakmuran. Inilah dasar pidato yang ia ingin sampaikan pada tanggal 20 November 1981 di Universitas Leiden di hadapan para Indonesianis Belanda. Ia tidak berkesempatan untuk menyampaikannya karena beberapa menit sebelum acara dimulai, ia meninggal dunia karena serangan jantung.
Sampai saat terakhir, ia tetap berkeyakinan bahwa jalan keluar yang paling efektif untuk komunitas Tionghoa adalah meng-integrasikan dirinya dalam tubuh Nasion Indonesia dan menunggal dengan Rakyat. Dengan menjadikan aspirasi Rakyat aspirasinya dan dengan bahu membahu bersama suku lainnya membangun Indonesia, komunitas Tionghoa akan mengecapi ketenteraman dan keharmonisan yang didambakan.
Partisipasi banyaknya pembicara dari berbagai aliran politik dan suku bangsa di acara ini merefleksikan kepribadian Siauw Giok Tjhan.
Diharap diskusi ini membuahkan pengertian yang lebih mendalam tentang pentingnya pembangunan Nasion Indonesia.

Oleh: Siauw Tiong Djin, Mei ¡V 2010

 SUMBER ARTIKEL:

1 komentar:

Taufiq mengatakan...

masih ada di buku

Posting Komentar

Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....

Related Post

ShareThis