.

.

Rabu, 08 Mei 2013

PERCIKAN REVOLUSI SUBUH

TERJUAL BY JAKPUS
HARGA:Rp.200.000 (blum ongkir)

Kondisi: lumayan second
cet 2 tahun 2001 HASTA MITRA
tebal: 202 hal
BERAT: 0,32 kG

Novel Percikan Revolusi & Subuh - Pramudya Ananta Tur

ISI

Pengantar oleh H.B. Yasin

PERCIKAN REVOLUSI
1. GADO2
2. KEMANA??
3. KEMELUT
4. MASA
5. ORANG BARU
6. KAWANKU SEL-SEL
7.KENANG2AN PADA KAWAN
8. MENCARI ANAK HILANG
9. LEMARI ANTIK

SUBUH

1.BLORA
2. JLN. KURANTIL 28
3. DENDAM

Angkatan ’45 tidak hanya melahirkan cerita-cerita bambu runcing seperti diejekkan orang kepadanya. Lapang­an perhatian seluas penghidupan dan dari pusat soal-soal mereka melihat dunia sekelilingnya. Dalam kempaan suasana keadaan mereka menemukan dirinya dan belajar melihat sampai ke intipati segala, dikuliti dari kepalsuan dan ketidakperluan. Angkatan revolusi melihat segala dari pusat derita, mereka tidak hanya mengenal dan mengetahui tapi juga mengalami dan merasai pada badan dan jiwa. Tidak ada jarak antara obyek dan s­ubyek. Gaya mereka ialah gaya ekspresi.
Sudah lama menjadi pertanyaan mengapa angkatan ’45 yang dianggap jiwanya terbentuk semenjak kedatangan Jepang di Indonesia dalam tahun 1942 melalui revolusi dan perang dengan Belanda, tidak melahirkan suatu roman yang besar. Ini hanya belum. Dan belum ini karena sewajarnya. Kekuatan mereka sementara ini ialah dalam cerita pendek dan sajak-sajak yang sarat padu. Dengan visi yang tajam diberikan intipati yang tidak memungkinkan terbang melayang tidak menentu, meskipun ada saat-saat orang menghadapi ruang luas penuh kemungkinan. Kepaduan dan inti. Dan lagi tidak ada waktu berpanjang-panjang untuk menulis berpanjang-panjang. Hanya soalnya bagi masa depan: cukupkah dengan visi yang menjelajah dasar kekuat­an mencipta dan nafas panjang untuk membangunkan ciptaan yang besar? Ini suatu pertanyaan serupa sayembara yang kita tidak sangsikan hasilnya, melihat kualitet cerita-cerita pendek yang ada sekarang.
Kumpulan cerita-cerita pendek Pramoedya Ananta Toer ini mengandung sifat-sifat-sifat tersebut di atas. Dan baiknya kumpulan serupa ini, meskipun tidak merupakan satu cerita roman yang panjang, memberikan lukisan seluruh dari kehidupan dalam perjuangan dan penderitaan dalam masa belum cukup sepuluh (!) tahun yang akhir ini, memperlihatkan visi pengarang angkat­an revolusi dan mudah-mudahan akan menjadi patokan yang berjiwa dan menjiwai pula pengarang-pengarang yang lain.
Kejujuran jadi dasar lukisan-lukisan Pramoedya. Dia tidak memutihkan mana yang hitam, atau menghitamkan mana yang putih. Seperti juga dalam hidup ada yang hitam benar-benar hitam dan ada yang putih benar-benar putih serta di antaranya banyak nuansa gelap terang serba warna, demikian dia memperlihatkan kebuasan di samping kehalusan, serta di antaranya berbagai sikap jiwa dengan beratus macam alasan yang menetapkan sikap orang keluar. Dia menyoroti cara penyiksaan serdadu-serdadu nica yang ganas, tapi dia tidak pula menutupi budi seorang opsir lawan yang dibebani kewajiban memeriksanya. Dan begitu kita berkenalan dengan serdadu nica peranakan Suriname-Jawa yang lain pula corak jiwanya, yang menghormati perjuangan bangsa Indonesia tapi menderita tindasan jiwa karena telah kesasar masuk dinas tentara lawan.
Apa kebebasan? Apa siksaan? Apa mati? Apa keadilan bagi rakyat jelata? Apa bahagia? Apa fungsinya uang? Apa cinta? Apa kepuasan? Bagaimana berjuang cara gerilya? Bagaimana per­juang­an cita-cita dan perut? Suasana Jakarta sesudah aksi militer yang pertama. Bagaimana perasaan orang disel? Apa kemanusiaan? Apa keluarga? Soal Indo. Persahabatan.
Semua ini jadi buah renungan dan perhatian bagi Pramoedya, bukan saja sebagai penonton, tapi juga sebagai orang yang turut mengalami pada tubuh dan jiwa revolusi dan segala akibatnya. Buah renungan yang tidak cuma gelembungan, tapi adalah hidup sendiri, jelas, tajam, di sana-sini mengkirikkan bulu roma karena kejamnya, penuh pertentangan baik dan buruk, jelek dan bagus, memperlihatkan manusia dalam kesungguhannya, kepalsuannya, kekuatannya, kelemahannya, keseluruhannya.
Keyakinan kepada ideologi kebangsaan tidak membikin Pram jadi lupa daratan dan begitu kita mendengar juga daripadanya kritik-kritik yang tajam kepada pihak sendiri mengenai siasat dan kebijaksanaan, tapi semua itu tetap dipandang dari sudut perikemanusiaan dan kepatutan. Sendiri orang tentara dan pernah bertempur di Kranji-Bekasi ia dengan teliti bisa menceritakan kepada kita jalannya pertempuran di front serta pengalaman-penga­laman senang dan pahit pahlawan-pahlawan yang memperjuang­kan kemerdekaan bangsa, seperti kita baca dalam novellenya, “Kranji-Bekasi jatuh” (1947).
Semua cerita pendek yang dikumpulkan dalam buku ini terkarang semasa pengarang berada dalam tahanan semenjak aksi militer-I tanggal 21 Juli 1947 sampai pembebasan semua tawanan politik oleh Belanda pada akhir tahun 1949. Tapi meskipun hidup dalam kurungan Pramoedya mengalami juga revolusi dari dekat oleh karena ia pun sebelumnya ikut dengan laskar rakyat selama mempertahankan Jakarta dan kemudian Kranji-Bekasi. Dan lagi pergaulan yang rapat dengan berbagai tawanan politik selama tahanan banyak memberinya bahan-bahan kejadian-kejadian dan keadaan dalam revolusi dan pe­rang dengan penjajah.
Perhatian kepada invalide diminta oleh Pram dalam cerita pendeknya: “Ke mana?” Keadilan sosial dalam “Masa”, perhatian bagi nasib anak-anak revolusi yang terpaksa hidup dalam masyarakat yang ruwet ekonomi dan tatasusilanya. Di dalam “Kemelut” digambarkannya dalam kontras yang nyata, jiwa bejat tukang catut dan jiwa murni orang kampung yang hidup dalam serba kekurangan dan kepenyakitan tapi masih tinggi rasa perikemanusiaannya. Juga di sini pertanyaan: mana keadilan? Dan tuntutan: tunjukkan perikemanusiaan, sehingga suara cynis­me yang muncul di sana-sini senantiasa dibalut oleh rasa perikemanusiaan. Juga “Kawanku se-sel” adalah suatu dakwaan terhadap ketidakadilan, dilukiskan dengan pandangan dan perasaan yang tajam, ada pula humor, tapi tidak pernah sampai menuduh cara berat sebelah, apalagi menghukum. Berada dalam keadaan yang terpaksa tiap manusia menjalani nasibnya, tapi di sinilah kecakapan pengarang, bahwa ia dengan tidak sendiri masuk ke dalam cerita, merasakan kepada pembaca ketidakadilan dan kelaliman yang berlaku dan dengan demikian menggerakkan ukur­an yang murni tentang nilai-nilai hidup pada pembaca.
Ukuran yang murni! Sebab di dalam pergaulan sehari-hari pun banyak hal-hal yang umum dianggap benar, tapi sebenarnya berdasar pada salahpaham dan hanya orang yang tajam pandang juga yang bisa melihat dan merumuskan kesalahan itu.
“Mencari anak hilang” memperhadapkan penghidupan se­orang ibu dalam serba sengsara dan putus asa dengan nafsu rendah seorang serdadu yang masih menjalankan tipu muslihatnya yang rendah sedang orang menghadapi cengkaman maut. Tidak, pun di sini tidak ada menuduh. Orang hanya menjalani hidup. Dan si serdadu yang rendah itu tidak pun ia tahu bahwa ia berbuat rendah. Dengan tiada kerendahannya hukuman mati akan jatuh juga. Dan apakah itu rendah, menyenangi barangkali mencintai anak perawan orang? Adakah bedanya menyenangi dan mencintai padanya? Dengan tidak memikirkan perbedaan itu hidup berjalan terus. Dan kita tidak usah begitu sentimentil. Juga dalam “Lemari antik” tidak ada sentimentalitet, meskipun ceri­tanya tentang kesengsaraan suatu keluarga yang ditinggalkan suami, si ibu menjual diri untuk menghidupi tujuh orang anaknya dan memberi makan mereka daging kucing yang dipotong. Apakah ini suatu pembejatan moral dan jika ya haruskah si ibu dimasukkan ke dalam neraka buat keadaan yang di luar kekuasaannya?
Tiap hasil sastra mempunyai tiga macam anasir: nilai seni, nilai pengetahuan dan nilai susila. Dalam cerita-cerita pendek Pram kita bertemu ketiga-tiganya dalam paduan yang wajar.
Jakarta, 13 Januari 1950*

__________
* Pengantar oleh H.B. Yasin ini terdapat dalam buku cetakan pertama Percikan Revolusi 1950. Hanya ejaan disesuaikan dengan EYD, isinya sepenuhnya tetap sama – ed.


Subowo bin Sukaris

CERITA DARI BLORA


TERJUAL BY JAKPUS
HARGA: Rp.300.000 (blum ongkir)
Kondisi: lumayan second
cet 3 tahun 2001
tebal: 324 hal
BERAT: 0,5 kG

Dua puluh sembilan bulan dalam tawanan Belanda bagi Pram adalah masa pengalaman, penderitaan, pemikir­an dan pengkhayalan yang mematangkan dan menyu­bur­kan jiwa. Dari masa inilah berasal sembilan dari sepuluh ce­rita pendeknya yang terkumpul dalam PERCIKAN RE­VOLUSI (Gapu­ra, Jakarta 1950), romannya KELUARGA GE­RILYA (Pemba­ngunan, Jakarta 1950), kedua novelnya PERBURUAN (Balai Pus­taka 1950) dan BLORA yang dimuat dalam kumpulan cerita pendeknya SUBUH (Pembangunan, Jakarta 1950).
Dalam masa ia terasing banyaklah Pram teringat kepada negeri kelahirannya Blora, kepada masa kecilnya dalam ling­kungan keluarga yang besar, kepada ibu, seorang perem­puan yang saleh, penuh pengorbanan dan ketubian kepada suami dan anak, lembut dan pengasih tapi tahu disiplin, kepada ayah yang mempunyai daerah kegiatan yang besar dan kepada adik-adik seorang demi seorang, yang dia sebagai putera tertua merasa bertanggung-jawab terhadap nasib mereka di kemudian hari.
PERBURUAN yang diilhamkan oleh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar waktu pendudukan Jepang, seluruhnya bermain di kota Blora dengan kali Lusi-nya yang bersejarah. “Sebuah cerita khayal”, Pram menerangkan di bawah kepalanya. Memang banyak Dichtung dalam cerita ini, tapi bebe–rapa tokoh serasa-rasa kita kenali juga dari cerita-cerita Pram yang lain. Lebih jelas tokoh-tokoh itu dalam BLORA, yang juga adalah mimpi seorang tawanan, BLORA yang dalam istilah Freud adalah suatu wensdroom, suatu mimpi yang dimimpikan karena keinginan, demikian besarnya hasrat hendak bertemu dengan orang tua dan adik-adik. Dan mimpi-mimpi karena keinginan ini segera disusul dengan pertemuan dalam Realität yang menghasilkan BUKAN PASAR MALAM (Balai Pustaka, 1950), pertemuan yang menye­dihkan dengan ayah dan adik-adik di negeri kelahiran, enam bulan sesudah lepas dari tawanan.
Dan kesadaran yang meruang akan fananya segala, kesadaran inilah pada hemat saya salah satu pendorong pencipta akan meng­­abdi­kan segala sesuatu. – Manusia lahir dan mati. Apakah peninggalannya? – Hanya kenang-kenangan pada yang tinggal. – Dan untuk berapa lamanya?
Di dalam buku ini Pram menyajikan pula cerita-cerita dari Blora yang hampir semuanya ditulis beberapa bulan sesudah ia merdeka dari tawanan. Blora, daerah kapur yang miskin, di mana seorang sebelum bisa hidup dengan segobang sehari, penghasil­an seorang buruh tani kecil 11/2 sen sehari dan dengan gaji beberapa rupiah sebulan orang berani hidup berkeluarga dalam segala kemiskinan. Di mana ada orang yang karena kemiskinan mau menyewakan diri untuk men­cabut nyawa orang lain de­ngan persenan sepuluh rupiah atau jadi pembegal di hutan jati. Di mana anak pe­rem­­puan dika­winkan pada umur enam tahun de­ngan maksud meringankan beban orang tua dan di mana tidak jarang perem­puan men­jualkan diri untuk mencari nafkah hidupnya. Dan dalam melukiskan kebodohan, kepicikan dan kelemah­an orang-o­rang ini, Pram selalu menunjukkan rasa kasihan, meskipun di sana-sini terasa pula kepahitan yang membikin dia kadang-kadang menjadi kasar.
Menarik hati tokoh ayah yang dilukiskan oleh Pram dalam KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dan DIA YANG MENYERAH, yang kita temui pula dalam BUKAN PASAR MALAM. Ayah yang hidupnya intens. Kepala sekolah partikelir yang didirikan dalam perang dunia pertama, yang memberikan segala tenaganya dalam tahun-tahun tiga puluhan kepada gerakan kebangsaan, gerakan kepanduan dan mendirikan koperasi dan bank rakyat di sam­ping jadi guru partikelir giat pula memberikan kursus politik, eko­nomi dan pengetahuan umum di rumahnya sendiri. Dan ayah inilah pula yang menjadi penjudi yang tahan empat hari empat malam tidak beralih dari tempat duduknya mencari hiburan karena usaha-usahanya digagalkan oleh pemerintah kolonial: sekolah dibikin lumpuh, buku-buku pelajaran disita, guru-guru dilarang mengajar, anak-anak pegawai gubernemen dilarang
Pramoedya - Cerita dari Blora
sekolah di perguruan partikelir, bank rakyat dirintangi bekerja. Seorang nasionalis tulen yang kecewa di waktu Jepang dan di waktu revolusi tetap setia kepada pemerintah Republik tatkala Blora beberapa waktu diduduki oleh pasukan merah dengan terornya yang dahsyat. Dibandingkan dengan perhati­an­­nya terhadap tokoh ayah ini, Pram agak sedikit menyoroti tokoh ibu yang lebih dulu meninggal dari ayah, meskipun dia dengan hormat memper­ingatinya sebagai seorang ibu yang bijaksana, lembut tapi keras pada waktunya, tahu harga diri, halus perasaan, membimbing, penuh kasih-sayang dan sabar terhadap anak-anaknya.
Dalam semua cerita Pram terasa-rasa kekeluargaan yang erat antara pelakon-pelakon. Seorang demi seorang kita bisa dapati kembali tokoh-tokoh ayah, ibu, gadis-gadis yang keibuan dalam keluarga, anak-anak lelaki, masing-masing dengan rasa tang­gung-jawab yang besar. Dan sebagai suatu keluarga guru yang ingin maju, kita selalu mendapati pikiran: belajarlah baik-baik untuk kebaikan hari kemudianmu. Seringkali Dichtung menye­lubungi Realität dengan tebalnya, sebagai pernyataan jiwa yang kepenuhan. Ini misalnya keras sekali dalam novel KELUARGA GERILYA dalam mana reali­tas kadang-kadang dilangkahi dan idé menguasai suasana.
Dalam tujuh cerita pendek yang pertama dalam kumpulan ini Pram melukiskan masyarakat waktu zaman kolonial dan mes­kipun tidak sekali juga menyebutkan angka-angka tahun, kita dapat juga menangkap perkembangan kesejarahan dalam hidup pergerakan dan kemajuan masyarakat sebelum perang dunia kedua. Misalnya dalam cerita KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dengan jelas terbayang perjuangan kaum nasionalis Indonesia di lapangan sosial dan pengajaran menghadapi pemerintah kolonial. Terutama gugatan sosial yang lahir dari perasaan keadilan dan kemanusiaan adalah kekuat­an Pram yang istimewa. Gugat­an terhadap kemiskin­an, kebodohan, pergundikan dan pelacuran karena kemiskinan. Dan keadilan dan kemanusia­an itu baginya lebih penting dari segala-gala. Juga dari bentukan-bentukan dan dogma-dogma ideologi. Seorang Karmin yang berkhianat karena kekhilafan dan dengan tidak disadarinya seperti diceri­takan dalam PERBURUAN oleh Pram masih diberi ampun dan ke­sempat­an untuk memperbaiki diri dan dia dengan tegas menuntut kebahagiaan hidup dan keadilan juga bagi ANAK HARAM yang dikutuki masyarakat karena ayahnya berkhianat ber­tahun-tahun malah berpuluh tahun yang lalu dalam perjuang­an. Bagi Pram kutukan “tujuh turunan” adalah perbuatan yang tolol, sebab diukur dengan akal budi apakah hak manusia untuk meng­hukum makhluk yang tidak bersalah?
Pram tidak memberatkan simpatinya kepada sesuatu isme ke­cuali kepada humanitas. Dalam DIA YANG MENYERAH hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, kom­plit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, impe­rialis dsb. Sangat realistis lukisan-lukisannya tentang kekejaman-kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak, tapi pikiran kemanusiaan yang lebih agung muncul pada gadis Diah yang menangisi kejadian-kejadian yang melanggar peri-kemanusiaan. Dan di sini Pram melukiskan tragik tiap perjuangan: Ayah, nasionalis tulen yang anti komunis. Pasukan merah yang anti nasio­nalis karena mereka ini pro pemerintah nasional yang dianggap mereka pula kaki tangan imperialis-kapitalis Amerika. Datang pula Sucipto dari tentara Kerajaan dengan istilah-istilahnya pula mencap perampok orang-o­rang nasionalis dan ko­munis. Dan semua mereka ini bertujuan dan berkeyakinan memba­wa keselamatan dan kesejahteraan dan untuk itu berbunuh-bu­nuhan.
Banyak anasir-anasir pengalaman dan kenangan oto­biografis dalam cerita-cerita ini, tapi soal-soalnya cukup diperumum de­ngan warna-belakang kesejarahan dan kema­syarakatan yang luas.

Jakarta, 13 Januari 1952*

________
* Pengantar oleh H.B. Yasin ini terdapat dalam buku cetakan pertama 1952.
Hanya ejaan disesuaikan dengan EYD, isinya sepenuhnya tetap sama – ed

Sabtu, 04 Mei 2013

30 TAHUN INDONESIA MERDEKA

TERJUAL

HARGA: RP.150 RB (1 SET = 4 JILID) (BLUM ONGKIR)
berat: 2,5 kg
KondisiL bagus cet ke 6 tahun 1985

Setelah sekian lamanya berada di dalam belenggu penjajahan, pada tanggal 17 Agustus 1945 rakyat Indonesia dengan PROKLAMASI menyatakan dirinya bangsa yang merdeka. Proklamasi kemerdekaan Indonesia itu dilakukan oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia dengan penuh tekad dan keyakinan, dilandasi dan dijiwai oleh suatu cita-cita luhur, sebagaimana dirumuskan di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 :

“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Dan perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, adil dan makmur.

Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.

Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, sebelumnya didahului pembahasan rancangan Dasar Negara dan Hukum Dasar Negara oleh 68 orang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI, Dokuritsu Zyunbi Cosakai) yang bersidang antara tanggal 28 Mei-1 Juni 1945 dan antara tanggal 10-17 Juli 1945. Para anggota BPUPKI ini diangkat dari tokoh-tokoh yang berdiam dalam daerah kekuasaan Tentara XVI Jawa-Madura. Dalam sidang pertama yang membahas dasar negara antara tanggal 28 Mei-1 Juni 1945 masih timbul perbedaan pendapat antara apa yang kemudian disebut sebagai “golongan Islam” dan “golongan kebangsaan”. Perbedaan itu memerlukan penyelesaian secara mendasar. Oleh karena itu, walaupun sesungguhnya antara tanggal 2 Juni-9 Juli 1945, BPUPKI secara resmi sedang dalam masa reses, namun 38 orang anggota BPUPKI yang berada di Jakarta melanjutkan sidang-sidangnya dan kemudian berhasil merumuskan rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, dan dilaporkan secara resmi kepada sidang BPUPKI berikutnya. Rancangan Pembukaan—yang kemudian disebut sebagai “Piagam Jakarta”—selanjutnya dibahas bersama dengan pasal-pasal Batang Tubuh Undang-Undang Dasar.

Hasil kesepakatan sidang-sidang BPUPKI ini dibahas lagi dan diputuskan 27 orang anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI, Dokuritsu Zyunbi Iinkai) yang bersidang setelah Proklamasi Kemerdekaan, yaitu antara tanggal 18-22 Agustus 1945. Dalam tubuh PPKI ini telah termasuk utusan-utusan dari daerah kekuasaan Tentara XXV/Sumatera dan dari daerah kekuasaan Angkatan Laut (Borneo dan Indonesia Timur).

Setelah mengalami berbagai perubahan, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, dapatlah dibentuk Pemerintah Republik Indonesia, yang kemudian mengangkat gubernur-gubernur serta menetapkan kebijaksanaan dalam negeri maupun kebijaksanaan luar negeri.

PERANG KOLONIAL BELANDA DI ACEH



TERJUAL
 HARGA: Rp.250.000 (blum ongkir)

FULL FOTO 2 BAHASA: INDONESIA+ INGGRIS
CETAKAN 1 TAHUN 1977
TEBAL: 268 HAL
KONDISI: BAGUS, CUMAN ADA HALAMAN iii-iv hilang (1 lembar) mungkin lembar judul saja, SEHINGGA ada halaman yg lepas pada hal 21 karena HALAMAN iii-iv hilang

" PERANG KOLONIAL BELANDA DI ACEH ".
ISI BUKU INI :

- Aceh Selayang Pandang.
- Pengantar.
- Kaerajaan Aceh Memaklumkan Perang.
- Pasukan Belanda Mendarat untuk Pertama Kali di Bumi Aceh.
- Pendaratan Kedua.
- Pemerintah Belanda Mendarat Berusaha Memperluas Wilayah Penjajahannya.
- Pertahanan Lini Konsentrasi.
- Rintangan Alam dan Sistem Pengangkutan.
- Munculnya Teungku Chi' di Tiro dan Pengaruhnya.
- Jenis Senjata Pejuang-Pejuang Aceh.
- Srikandi-Srikandi Aceh.
- Teuku Umar dengan siasat Perangnya.
- Korps Marsose.
- Peranan Jenderal J.B. van Heutsz.
- Tindakan-Tindakan Jenderal G.C.E. van Daalen.
- Masa Damai dan Gerilya.
- Tokoh-Tokoh, Palagan, dan Pekubiuran.
- Perang dan Bencana.
- Beberapa Pendapat Mengenai Perang Belanda di Aceh.


SPESIFIKASI :

- Buku beks.
- Hard cover.
- MASIH BAGUS.
- Hampir 90 % buku ini berupa foto-foto bersejarah.
- Penerbit Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh.
- CETAKAN PERTAMA, 1977.
- 268 halaman.
- Ukuran 21 x 30,2 cm.

Perang Aceh ialah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 sampai 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, & mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen.

Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, & langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3. 198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.
Penyebab Terjadinya Perang Aceh

Perang Aceh disebabkan karena:

Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan & Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.

Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London ialah Belanda & Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.

Aceh menuduh Belanda tak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yg lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.

Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan.

Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris & Belanda, yg isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak & menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia, Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871.

Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan Konsul Amerika, Italia & Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh & meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yg sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Strategi Siasat Snouck Hurgronje Mata-mata Belanda

Untuk mengalahkan pertahanan & perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yg menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan & ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh [De Acehers]. Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh. Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala [yaitu Sultan yg berkedudukan di Keumala] dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.

Tetap menyerang terus & menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi & membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh. Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yg menjadi Gubernur militer & sipil di Aceh [1898-1904]. Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.
Kronologi Perang Aceh Pertama

Perang Aceh Pertama [1873-1874] dipimpin oleh Panglima Polim & Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yg dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, dimana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yg dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, & beberapa wilayah lain. Perang Aceh Pertama ialah ekspedisi Belanda terhadap Aceh pada tahun 1873 yg bertujuan mengakhiri Perjanjian London 1871, yg menindaklanjuti traktat dari tahun 1859 [diputuskan oleh Jan van Swieten]. Melalui pengesahan Perjanjian Sumatera, Belanda berhak mendapatkan pantai utara Sumatera yg di situ banyak terjadi perompakan. Komisaris Pemerintah Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen yg mengatur Aceh mencoba mengadakan perundingan dengan Sultan Aceh namun tak mendapatkan apa yg diharapkan sehingga ia menyatakan perang pada Aceh atas saran GubJen James Loudon. Blokade pesisir tak berjalan sesuai yg diharapkan.

Belanda kemudian memerintahkan ekspedisi pertama ke Aceh, di bawah pimpinan Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler & sesudah kematiannya tugasnya digantikan oleh Kolonel Eeldert Christiaan van Daalen. Dalam ekspedisi tersebut dipergunakan senapan Beaumont untuk pertama kalinya namun ekspedisi tersebut berakhir dengan kembalinya pasukan Belanda ke Jawa. Tak dapat disangkal bahwa Masjid Raya Baiturrahman direbut 2 kali [dan di saat yg kedua kalinya tewaslah Köhler]. Terjadi serbuan beruntun ke istana pada tanggal 16 April di bawah pimpinan Mayor F. P. Cavaljé namun tak dapat menduduki lebih lanjut karena keulungan orang Aceh serta banyaknya serdadu yg tewas & terluka. Serdadu Belanda tak cukup persiapan yg harus ada untuk serangan tersebut. Di samping itu, jumlah artileri [berat] tak cukup & mereka tak cukup mengenali musuh. Mereka sendiri harus menarik diri dari pesisir & atas petunjuk Komisaris F. N. Nieuwenhuijzen [yang menjalin komunikasi dengan GubJen Loudon] & kembali ke Pulau Jawa.

Menurut George Frederik Willem Borel, kapten artileri, serdadu dapat memperoleh pesisir bila mendapatkan titik lain yg agak lebih kuat, namun Komandan Marinir Koopman tak dapat memberikan kepastian bahwa ada hubungan yg teratur antara bantaran sungai & saat itu sedang berlangsung muson yg buruk, yg karena itulah kedatangan pasukan baru jadi sulit. Setelah kembalinya ekspedisi itu, angkatan tersebut banyak disalahkan akibat kegagalan ekspedisi itu. Dari situlah GubJen James Loudon mengadakan penyelidikan di mana para bawahan harus memberikan penilaian atas atasan mereka. Penyelidikan tersebut kemudian juga banyak menuai kontroversi & menimbulkan “perang kertas” sesudah Perang Aceh I [dokumen & tulisan pro & kontra penyelidikan tersebut terjadi terus menerus].

Penyelidikan itu masih berawal, sesudah Perang Aceh II, ketika kapten & kepala staf Brigade II GCE. van Daalen menolak untuk ditekan GubJen Loudon. Alasan sebelumnya ialah selama itu Loudon telah memerintahkan penyelidikan yg untuk itu pamannya EC. van Daalen, yg merupaken panglima tertinggi ekspedisi pertama sesudah kematian panglima tertinggi sebelumnya Johan Harmen Rudolf Kohler, sebagai orang jenius yg malang sesudah kegagalan ekspedisi tersebut, dihadirkan & selama penyelidikan itu [meskipun kemudian meninggal] Van Daalen, komandan Pasukan Hindia, Willem Egbert Kroesen mengetahui bahwa pemerintah Hindia-Belanda tak diberi cukup informasi atas terganggunya pembekalan senjata pada pasukan itu. Loudon tak mengizinkan Van Daalen [keponakan] mendapatkan Militaire Willems-Orde & untuk itu memandang bahwa Van Daalen harus terus dikirimi uang tunjangan pensiun. Raja Willem II mulai menganugerahkan Medali Aceh 1873-1874 pada tanggal 12 Mei 1874. Yang khas ialah pembawa medali tersebut juga dapat diberi gesper bertulisan “ATJEH 1873-1874″ pada pita Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven. Terdapat pula salib Militaire Willems-Orde & Medaille voor Moed en Trouw.
Perang Aceh Kedua

Pada Perang Aceh Kedua [1874-1880], di bawah Jend. Jan van Swieten, Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, & dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yg dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indragiri.

Perang Aceh Kedua diumumkan oleh KNIL terhadap Aceh pada tanggal 20 November 1873 sesudah kegagalan serangan pertama. Pada saat itu, Belanda sedang mencoba menguasai seluruh Nusantara. Ekspedisi yg dipimpin oleh Jan van Swieten itu terdiri atas 8. 500 prajurit, 4. 500 pembantu & kuli, & belakangan ditambahkan 1. 500 pasukan. Pasukan Belanda & Aceh sama-sama menderita kolera. Sekitar 1. 400 prajurit kolonial meninggal antara bulan November 1873 sampai April 1874.

Setelah Banda Aceh ditinggalkan, Belanda bergerak pada bulan Januari 1874 & berpikir mereka telah menang perang. Mereka mengumumkan bahwa Kesultanan Aceh dibubarkan & dianeksasi. Namun, kuasa asing menahan diri ikut campur, sehingga masih ada serangan yg dilancarkan oleh pihak Aceh. Sultan Mahmud Syah & pengikutnya menarik diri ke bukit, & sultan meninggal di sana akibat kolera. Pihak Aceh mengumumkan cucu muda Tuanku Ibrahim yg bernama Tuanku Muhammad Daud Syah, sebagai Sultan Ibrahim Mansur Syah [berkuasa 1874-1903].

Perang pertama & kedua ini ialah perang total & frontal, dimana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, & tempat-tempat lain.
Perang Aceh Ketiga,

Perang ketiga [1881-1896], perang dilanjutkan secara gerilya & dikobarkan perang fisabilillah. Dimana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1904. Perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim & Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.
Perang Aceh Keempat

Perang keempat [1896-1910] ialah perang gerilya kelompok & perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan & pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.
Taktik Perang belanda Menghadapi Aceh

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, dimana dibentuk pasukan maréchaussée yg dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yg telah mampu & menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari & mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh. Taktik berikutnya yg dilakukan Belanda ialah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan & Tengku Putroe [1902].

Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli & berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya & beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata & menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yg menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yg dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yg menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh [14 Juni 1904] dimana 2. 922 orang dibunuhnya, yg terdiri dari 1. 773 laki-laki & 1. 149 perempuan. Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yg masih melakukan perlawanan secara gerilya, dimana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap & diasingkan ke Sumedang.
Surat perjanjian tanda menyerah Pemimpin Aceh

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek [korte verklaring, Traktat Pendek] tentang penyerahan yg harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yg telah tertangkap & menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja [Sultan] mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yg ditetapkan Belanda.

Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yg rumit & panjang dengan para pemimpin setempat. Walau demikian, wilayah Aceh tetap tak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang [masyarakat]. Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara & diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang [Nippon].

siasat belanda untuk mengatasi perlawanan rakyat aceh apa yang menjadi penyebab terjadinya peperangan antara belanda dengan rakyat aceh pemerintahan masa kolonial belanda di aceh pemerintahan masa kolonial belanda di aceh pemerintahan masa kolonial belanda di aceh pemimpin perlawanan rakyat aceh di daerah pidie dampak perlawanan aceh strategik yg dilakukan belanda dalam menghadapi perlawanan rakyat aceh makalah perang aceh (1873- 1904) taktik belanda dalam perang aceh kronologi kejadian perang rakyat aceh perjanjian- perjanjian pada masa belanda jumlah serdadu voc dalam expedisi ke aceh pemimpin perlawanan rakyat aceh di daerah pidie adalah perlawanan rakyat aceh dalam menghadapi voc menggunakan strategi

sumber artikel: http://www.sejarahnusantara.com/sejarah-aceh/sejarah-perang-aceh-melawan-belanda-1873-1904-10038.htm






KONDISI: BAGUS, CUMAN  ada halaman yg lepas pada hal 21 karena HALAMAN iii-iv hilang

KONDISI: BAGUS, CUMAN ADA HALAMAN iii-iv hilang (1 lembar) mungkin lembar judul saja, SEHINGGA ada halaman yg lepas pada hal 21 karena HALAMAN iii-iv hilang

MENARI DI ANGKASA. F. Djoko Poerwoko


HARGA: Rp.150.000 (blum ongkir)

“Mengecewakan! Rencana terbang yang susah payah kususun rapi langsung dibatalkan pagi-pagi. Aku mendapat perintah untuk menghadap komandan skadron. Yang terpikir, aku tidak lulus latihan terbang di Israel dan pulang ke Indonesia sebagai pilot pesakitan. Semua bayangan buruk musnah sudah. Aku ternyata menerima perintah baru untuk terbang dalam format sama, tetapi berbeda rute. Sebuah peta disodorkan lengkap dengan titik-titik rute. Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu dua belas menit harus kembali ke luar. Yang membuatku gugup, garis merah itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Suriah”
Cerita diatas adalah sepenggal kisah dari seorang pilot yang tergabung dalam operasi alpha, operasi alpha adalah operasi klandestin terbesar yang dilakukan oleh TNI AU, dimana TNI AU melatih pilot dan melakukan pembelian 32 pesawat A-4 Skyhawk dari Israel. Berikut adalah kutipan tentang operasi alpha yang diambil dari buku otobiografi Djoko F Poerwoko “Menari di Angkasa”.
Operasi Alpha
Memasuki tahun 1979, isu tentang bakal dilakukannya pergantian kekuatan pesawat-pesawat tempur TNI AU sudah mulai bergulir. Hal ini sebenarnya wajar saja, mengingat kondisi pesawat tempur F-86 dan T-33 memang sudah tua. Sehingga, kemudian pemerintah harus mencari negara produsen yang bisa menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat ternyata bisa memberikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Tetapi ini masih belum cukup untuk mengisi kekosongan skadron-skadron tempur Indonesia.
Dari penggalian intelijen, Mabes ABRI ternyata kemudian mendapatkan berita, bahwa Israel bermaksud akan melepaskan armada A-4 yang mereka miliki. Indonesia dan Israel memang tidak memiliki hubungan diplomatik. Tetapi pada sisi lain, pembelian armada pesawat tersebut akhirnya terus diupayakan secara klandestin, oleh karena pasti akan menjadi polemik dalam masyarakat apabila tersiar di media massa.
Menuju Arizona
Usai tugas menerbangkan F-86 Sabre aku sempat terbang lagi dengan T-33. Namun pada kenyataannya, kondisi kedua pesawat tempur tersebut sudah sangat jauh menurun. Kami semua akhirnya bersyukur, setelah dibuka dua proyek besar untuk mendatangkan kekuatan baru melalui Operasi Komodo yakni pesawat F-5 E/F Tiger II serta Operasi alpha untuk menghadirkan pesawat A-4 Skyhawk.
Kerahasiaan tingkat tinggi sudah terlihat dari tata cara pemberangkatan personel. Saat kami semua sudah siap untuk berangkat, tidak seorang pun tahu, kemana mereka harus pergi. Operasi Alpha dimulai dengan memberangkatkan para teknisi Skadron Udara 11. Setelah tujuh gelombang teknisi, maka berangkatlah rombongan terakhir yang terdiri dari sepuluh penerbang untuk belajar mengoperasikan pesawat.
Sebagai tim terakhir, kami mendapat pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awalnya hanya mengetahui bahwa para penerbang akan berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang disana. Informasi lain-lain masih sangat kabur.
Setelah mengurus segala macam surat-surat dan beragam kelengkapan berbau “Amerika”, akhirnya kami berangkat menuju Singapura, dengan menggunakan flight garuda dari Bandara Halim Perdanakusuma.
Kami mendarat pada senja hari di Bandara Paya Lebar, Singapura, langsung diantar menuju hotel Shangrila. Dihotel tersebut ternyata telah menunggu beberapa petugas intel dari Mabes ABRI, berikut sejumlah orang yang masih asing dan sama sekali tidak saling dikenalkan. Kami akhirnya mulai menemukan jawaban bahwa arah sebenarnya tujuan kami bukan ke Amerika Serikat melainkan ke Israel. Sebuah negara yang belum terbayangkan keadaannya dan mungkin paling dibenci oleh masyarakat Indonesia.
Saat itu salah satu perwira BIA (Badan Intelojen ABRI, BAIS sekarang) yang telah menunggu segera mengambil semua paspor yang kami miliki dan mereka ganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Keterkejutanku semakin bertambah dengan kehadiran Mayjen Benny Moerdani, waktu itu kepala BIA, mengajak rombongan kami makan malam. Dalam kesempatan tersebut beliau dengan wajah dingin dan kalimat lugas, tanpa basa-basi langsung saja mengatakan, ” Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silahkan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewarganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan dianggap berhasil apabila sang merpati telah hinggap…”
Mendengar ucapan beliau, perasaanku langsung bergetar. Wah, ini sudah menyangkut operasi rahasia beneran mirip James Bond. Bahkan sekalanya lebih besar. Bagaimana mungkin membawa satu armada pesawat tempur masuk ke Indonesia tanpa diketahui orang? Rasa terkejut semakin besar, oleh karena kami bersepuluh kemudian langsung berganti identitas yang mesti kuhapal diluar kepala saat itu juga.
Setelah acara makan malam, kami harus segera bergegas menuju Bandara Paya lebar dan terbang menuju Frankfurt dengan menggunakan Boeing 747 Lufthansa. Mulai sekarang, kami tidak boleh bertegur sapa, duduk saling terpisah, namun masih dalam batas jarak pandang.
Begitu mendarat di Bandara Frankfurt, kami harus berganti pesawat lagi untuk menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel. Semakin aneh perjalanan, baru berdiri bengong karena masih jet lag, tiba-tiba seseorang langsung menyodorkan boarding pass untuk penerbangan ke Tel Aviv pada penerbangan berikutnya. Sampai di Bandara Ben Gurion, sesudah terbang sekitar empat jam, aku pun turun bersama para penumpang lain dan teman-temanku. Saling pandang dan cuma melirik saja, harus kemana jalan, mengikuti arus penumpang lain menuju pintu keluar.
Tetapi tanpa terduga, kami malah mendapat perlakuan tidak menyenangkan, sebagai bagian dari operasi intelijen. Kami langsung ditangkap dan digiring petugas keamanan bandara. hanya pasrah, oleh karena memang tidak tahu skenario apalagi yang harus dijalankan, yang ada hanya manu dengan hati berdebar.
Tamat riwayatku kini. Kubayangkan, betapa hebatnya agen rahasi Mossad yang dapat dengan cepat mengendus penumpang gelap tanpa paspor, berusaha menyelundup masuk ke negaranya.Meski dengan sopan si Mossad memperlakukan kita, tetap saja kami berpikir buruk. Kami semua akan langsung dideportasi atau dihukum mati minimal dipenjara seumur hidup. Sebab tidak ada bukti, siapa memberi perintah datang ke Israel. Sampai diruang bawah tanah, persaan kami tenang setelah melihat para perwira BIA yang dilibatkan dalam Operasi Alpha. Kemudian baru aku tahu, kami memang sengaja diskenariokan untuk ditangkap dan justru bisa lewat jalur khusus, guna menghindari public show apabila harus ke luar lewat jalur umum.
Kami langsung menerima brifing singkat mengenai berbagai hal yang harus diperhatikan selama berada di Israel. Yang tidak enak adalah kegiatan sesudahnya yaitu sweeping segala macam barang bawaan yang berlabel made in Indonesia. Kami juga diajarkan untuk menghapal sejumlah kalimat bahasa Ibrani, Ani tayas mis Singapore yang artinya aku penerbang dari Singapura. Ada sapaan boken tof berarti selamat pagi dan shallom sebagai sapaan saat bertemu dengan kawan.
Eliat, pangkalan udara rahasia
Semalam tidur dihotel, kami kemudian diangkut dalam satu mobil van menuju arah selatan menyusuri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, kami sampai dikota Eliat. Perjalanan dilanjutkan kembali ditengah padang pasir, setelah melewati beberapa pos jaga, akhirnya van masuk ke sebuah pangkalan tempur besar diwilayah barat kota Eliat. Di Israel, pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah. Bisa saja nama pangkalan itu adalah base number nine di hari tertentu, namun esoknya bisa diganti dengan angka lain. Sesuai kesepakatan bersama, kami menyebut tempat ini dengan Arizona, oleh karena dalam skenario awal kami memang disebutkan akan berlatih terbang di Amerika.
Total waktu rencana pelatihan selama empat bulan. Selama itu para penerbang melaksanan kegiatan pelatihan, dari ground school hingga bina terbang, agar mampu mengendalikan pesawat A-4 Skyhawk. Latihan terbang diawali dengan general flying sebanyak dua jam, ditemani instruktur israel. Setelah itu, kami semua sudah boleh terbang solo. latihan kemudian dilanjutkan dengan pelajaran yang lebih tinggi tingkat kesulitannya. kali ini kami harus mampu mengoperasikan pesawat A-4 sebagai alat perang.
Selama di Eliat, walau terjadi berbagai macam masalah, namun tidak sampai mengganggu kelancaran latihan. Masalah utama tentunya bahasa, sebab tidak semua penerbang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris, sedangkan kami tidak diajari berbahasa Ibrani secara detail. Masalah lain adalah telalu ketatnya pengawasan yang diberlakukan kepada para penerbang. Bahkan kami semua selalu dikawani satu flight pesawat tempur selama berlatih.
Pelajaran terbang yang efektif. Misalnya terbang formasi tidak perlu jam khusus tetapi digabung latihan lain seperti saat terbang navigasi atau air to air. sehingga dengan jam yang hanya diberikan sebanyak 20 jam/20 sorti, kami semua dapat mengoperasikan A-4 sebagai alutsista. Dalam siklus ini pula, aku pernah menembus sistem radar Suriah dengan instruktur ku.
Latihan terbang kami berakhir tanggal 20 Mei 1980 dengan dihadiri oleh beberapa pejabat militer Indonesia yang semuanya hadir dengan berpakaian sipil. Kami mendapat brevet penerbang tempur A-4 Skyhawk dari IAF. Rasanya bangga, oleh karena kami dididik penerbang paling jago didunia. Namun kegembiraaan selesai pendidikan segera berubah sedih, oleh karena brevet dan ijasah langsung dibakar didepan mata kami oleh para perwira BIA yang bertindak sebagai perwira penghubung. kami dikumpulkan di depan mess dan barang-barang kami disita dan segera dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama dipangkalan ini. Mereka hanya berpesan, tidak ada bekas atau bukti kalau kalian pernah kesini. Maka hapalkan saja dikepala, semua pelajaran yang pernah diperoleh.
Wing day di Amerika
Selesai pendidikan di Israel, kami tidak langsung pulang ke Indonesia, namun diterbangkan dulu ke New York. semalam di New York, kemudian diajak ke Buffalo Hill di dekat air terjun Niagara. Ternyata kami sengaja dikirim kesana untuk bisa melupakan kenangan tentang Israel. kami diberi uang saku yang cukup banyak menurut hitungan seorang Letnan Satu.Aku juga dibelikan kamera merek Olympus F-1 lengkap dengan filmnya dan diwajibkan mengambil foto-foto dan mengirim surat atau kartu pos ke Indonesia, untuk menguatkan alibi bahwa kami semua benar-benar menjalani pendidikan terbang di AS.Akhirnya selama ada objek yang menunjukkan tanda medan atau bau AS, pasti langsung dipakai sebagai background foto. Tidak terkecuali pintu gerbang hotel, nama toko bahkan sampai tong sampah bila ada tulisan United State of America pasti dijadikan sasaran foto.
Aku dibawa lagi ke New York, para penerbang kemudian diberikan program tur keliling AS selama dua minggu, mencoba tidur di sepuluh hotel yang berbeda dan mencoba semua sarana transportasi dari pesawat terbang hingga kapal.
D Yuma, Arizona, kami telah diskenariokan masuk latihan di pangkalan US Marine Corps (USMC), Yuma Air Station. Tiga hari dipangkalan tersebut, kami dibekali dengan pengetahuan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan mengenal instrukturnya. Kami juga wajib berfoto, seakan-akan baru diwisuda sebagai penerbang A-4, skaligus menerima ijasah versi USMC. Ini sebagai penguat kamuflase intelijen, bahwa kami memang dididik di AS. Salah satu foto wajib adalah berfoto di depan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk USMC.
Sebelum pulang ke tanah air, aku juga mendapat perintah untuk menghapalkan hasil-hasil pertandingan bulu tangkis All England. Tambahannya, aku juga diharapkan menghapal beberapa peristiwa penting yang terjadi di dunia, selama aku diisolasi di Israel. Pelajaran mengenai situasi dunia luar tersebut terus diberikan, meskipun kami sudah berada di perut pesawat Branif Airways dengan tujuan Singapura.
Sang Merpati Hinggap
Tanggal 4 Mei 1980, persis sehari sebelum pesawat C-5 Galaxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun, mengangkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok. Pesawat-pesawat tersebut diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Dengan demikian, seakan-akan satu paket proyek kiriman pesawat terbang namun diangkut dengan media transportasi berbeda.
Nantinya, ketika sudah kembali lagi di Madiun, kepada atasan pun kukatakan bahwa pelatihan A-4 di Amerika. Sebagai bukti kuperlihatkan setumpuk fotoku selama berada di Amerika. Ingin melihat foto New York, aku punya. Mau melihat foto Akademe AU di Colorado, aku punya. Karena percaya, atasanku di Wing-300 malah sempat berkata, “Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak tahunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak benar ya?”
Last but not least, gelombang demi gelombang pesawat A-4 akhirnya datang ke Indonesia setiap lima minggu, lalu semuanya lengkap sekitar bulan September 1980.
Berprestasi Tapi Harus Menutup Diri
Saat F-5 datang ke Indonesia, ternyata masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedangkan A-4 justru sudah dipersenjatai dan langsung bisa digunakan dalam tugas-tugas operasional. Sehingga apa saja kegiatan TNI AU baik operasi maupun latihan selalu identik dengan F-5, walau kadang-kadang yang melakukannya adalah pesawat A-4.
A-4 tetaplah A-4 dan samasekali bukan F-5. Kondisi serba rahasia bagi armada A-4 bertahan samapi perayaan HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1980, dimana fly pass pesawat tempur ikut mewarnai acara tersebut. Pesawat A-4 tampil bersama-sama F-5 dimana untuk pertama kalinya pesawat A-4 dipublikasikan dalam event besar. Setelah ini, sedikit demi demi sedikit mulailah keberadaan A-4 dibuka secara jelas. Tidak ada lag tabir yang sengaja dipakai untuk menutupi keberadaan pesawat A-4 di mata rakyat Indonesia.
Mencari detail tentang operasi Alpha susahnya minta ampun, karena tidak ada penerbang yang berangkat ke Israel selain Djoko Poerwoko yang mau menceritakan pengalamannya. Terima kasih yang sebesar-besarnya untuk beliau yang mau menceritakan pengalamannya didalam 3 buku, walaupun mencari buku tersebut juga susahnya bukan main. Buku “My Home My Base” hanya untuk kalangan internal TNI AU, Buku “Fit Via Vi” yang merupakan otobiografi dari beliau juga merupakan cetakan untuk kalangan terbatas. Buku “Menari di Angkasa” adalah buku “Fit Via Vi” yang dicetak untuk umum, walaupun begitu tetep aja susah nyarinya (saya merasa beruntung memilikinya). Bahkan dibuku otobiografinya benny Moerdani ga dibahas sama sekali. Terimakasih juga untuk Metro tv yang beberapa bulan lalu juga menayangkan tentang operasi alpha dalam acara special operation (di liputan tersebut ada wawancara dengan Djoko Poerwoko dan satu orang pilot lagi, tapi lupa namanya).
Kontroversi tentang pengungkapan pembelian A-4 dari Israel ke publik juga diungkap oleh beliau dibukunya, beliau menulis:
“Saat buku “My Home My Base” diluncurkan, ada polemik yang menyisakan kenangan, yaitu cerita tentang keterlibatan ke Israel untuk mengambil A-4 Skyhawk. Banyak orang mempertanyakan, mengapa aku mengumbar rahasia negara. Dengan singkat hanya kujawab, “Siap, saya sudah minta ijin Kasau dan beliau mengijinkan, karena kita sebagai prajurit tidak boleh selamanya membohongi rakyat. Maka mereka yang bertanya punt idak lagi berkomentar.
Memang, didalam buku “My Home My Base” kutulis sedikit tentang perjalanan ke Israel untuk berlatih terbang A-4. Bukan untuk mencari sensasi, aku sudah menimbangnya masak-masak unung dan ruginya. Namun sebelumnya. tentu saja aku minta ijin KASAU sebagai salah satu senior A-4 dan pemimpin tertinggi Angkatan Udara. Beliau (pak Hanafie) ternyata mengizinkan, sehingga tulisan itu go ahead.”
Sebagai informasi tambahan, hingga saat ini bahkan setelah A-4 digrounded pada tahun 2004, Mabes TNI AU tidak pernah mengakui operasi alpha pernah terjadi.

Sumber: Poerwoko, Djoko F. Menari di Angkasa. Kata hasta pustaka. Jakarta. 2007

Sumber:  http://adiewicaksono.wordpress.com/2008/12/28/operasi-alpha/

Related Post

ShareThis