.

.

Jumat, 31 Agustus 2012

Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, Forum Mangunwijaya IV


Harga: Rp.25rb (blum ongkir)

Berisi pemikiran seseorang Mangunwijaya IV tentang humanisme, juga sumbangan tulisan dari para sahabat dan pemerhati gagasan-gagasan humanisme mangunwijaya yang berisi foto-foto, desain gambar serta kegiatan Mangunwijaya pada bidang sosial lainnya
Dalam buku ini, yang lebih jauh lagi sebenarnya merupakan kumpulan testimoni oleh para pakar di bidangnya meliputi Filsafat, sains, pendidikan, arsitektur, maupun sastra yang ditujukan kepada Romo Mangun yang tentu saja pernah bersinggungan dengan beliau secara langsung maupun tidak langsung berupa makalah memberikan begitu banyak manfaat agar kita para generasi muda agar lebih memahami diri sendiri dan memanusiakan orang-orang di sekitar kita. Sekaligus meyakinkan saya pula, bahwa kita akan hidup selamanya kalau kita berkarya dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita.

Buku ini merupakan himpunan makalah Forum Mangunwijaya yang diselenggarakan oleh Kompas dan Dinamika Edukasi Dasar. Selain itu, buku ini merupakan sumbangan tulisan para sahabat dan pemerhati gagasan Humanisme Mangunwijaya dis egala bidang.

Forum Mangunwijaya III: Negara Minus Nurani


Harga: Rp.25rb (blum ongkir)
Berat          0.39 kg
Tahun          2009
Halaman          338
Penerbit          Buku Kompas

Dalam era yang konon penuh semangat perjuangan untuk rakyat banyak ini, masih terjadi wakil rakyat terlibat suap dan korupsi; birokrat yang sewenang-wenang dan lebih propemilik modal daripada pro rakyat; rakyat kecil dibiarkan sendirian menghadapi ganasnya pemburu keuntungan. Dalam kondisi demikian, apa yang bisa disumbangkan dunia pendidikan?
Buku ini merupakan himpunan makalah berikut reportase dari tiga diskusi bertema hubungan negara dan warga yang diselenggarakan Harian Kompas dalam tiga kesempatan dan peserta yang berbeda-beda.
Makalah-makalah itu membahas tiga tema besar yang meliputi Hubungan Warga dan Negara, Peran Pendidikan, Kebijakan Negara terhadap Warga; ditulis oleh: Agus Suwignyo, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Francis Wahono, G Budi Subanar SJ, Heru Nugroho, Ignas Kleden, Mochtar Pabottingi, Moeslim Abdurrahman, Osbin Samosir, Poppy Ismalina, Sofian Effendi, Sri Adiningsih, Zuly Qodir.

Caldas, Gabriel Garcia Marquez


Harga: Rp.15.000 (blum ongkir)
Kondisi:lumayan bagus cet 24 tahun 2002
Judul : Caldas (diterjemahkan dari The Story of A Shipwrecked Sailor), Pengarang : Gabriel Garcia Marquez, Penerjemah : Rizadini, Penerbit : LKiS-Yogyakarta-cetakan I-2002, Halaman : 124 halaman
Tebal: 124 hal
Berat: 0,12 Kg

Stok: 2 biji
Menyinggung sedikit spirit Sumpah Pemuda yang baru saja berlalu momentumnya beberapa bulan lewat, kita dihadapkan pada nilai-nila kepahlawanan pendahulu kita. Bagaimana gigihnya mereka berjuang merebut kemerdekaan, baik dengan konfrontasi fisik ataupun secara diplomasi. Melalui Sumpah Pemuda, hawa kepahlawanan mereka sangat kentara dengan pengikraran satu bangsa, satu tanah air, dan dengan satu bahasa persatuan. Lantas bagaimana generasi muda seperti kita saat ini menyikapi kepahlawan? Rentang waktu masa bergejolak dengan kolonial memang telah berlalu, dan lantas apakah generasi muda tidak bisa merasakan hawa kepahlawan, baik pada dirinya sendiri atau terhadap orang di sekitarnya. Semakin menjauhnya zaman meninggalkan saat-saat heroik itulah yang perlu kita semua sadari, khususnya generasi muda. Barangkali kita tidak menemukan sosok muda Muh. Yamin, Hatta, atau pun Soekarno muda lagi yang sama persis nilai perjuangannya dengan para beliau-beliau itu, namun harus kita sesuaikan dengan konteks kita sekarang.

Menjadi pahlawan tak harus menjadi orang besar, punya pengaruh luas bagi orang sekitar, tapi paling tidak bisa menjadi pahlawan bagi diri sendiri sudahlah cukup besar artinya. Nah, berkenaan dengan itu ada baiknya kita semua mengambil secuil hikmah dari novel Caldas, karya hebat dari sastrawan Kolombia, Gabriel Garcia Marquez. Buku terjemahan LkiS ini walau pun tipis sederhana, nilai sastrawi dan pelajaran moralnya teramatlah baik, sangat pantas dibaca habis dikunyah tuntas.

Caldas menceritakan apa itu heroisme. Ya, apa arti kepahlawanan. Melalui watak tokoh Alejandro Velasco, G.G. Marquez tampaknya ingin menyiratkan makna dari sebuah kepahlawanan. Siapa dan apa peran watak utama Velasco? Apakah dia seorang kapiten perang yang dengan gagah berani menumpas kartel mafia narkoba Kolombia, atau Velasco adalah seorang tokoh kenamaan yang mempunyai pengaruh besar bagi rakyat Kolombia? Sama sekali bukan itu yang ada dalam Caldas ini. Disini hanya digambarkan seorang perwira rendah Angkatan Laut Kolombia yang berusaha mati-matian menyelamatkan nyawanya akibat kapal perang mereka tenggelam diamuk badai.

Ha! Sosok pahlawan seperti itulah yang digambarkan secara detil oleh G.G. Marquez. Pahlawan memang tidak harus selalu menyabung nyawa di medan perang, bermandikan darah, bertongkatkan senapan, atau beralaskan baju baju loreng ala tentara. Melalui Caldas, orang seperti Alejandro Velasco, pun dapat disebut pahlawan. Kapal perang yang tenggelam justru bukan karena tembakan meriam musuh, tapi karena hantaman badai, membuat Velasco yang terombang-ambing sendirian di dalam sekoci kecil berusaha agar tak senasib dengan tujuh rekan dekatnya.

Dalam Caldas ini, babak-babak dramatis memang terdapat pada terombang-ambingnya watak utama di lautan lepas selama berhari hari. Secara keseluruhan, secara lancar dan memikat G.G. Marquez mendeskripsikan watak utama novelnya. Bagaimana Velasco yang tak putus asa kendati sering diteror halusinasi, melawan dan mengakali hiu-hiu yang ganas, bagaimana daya survival Velasco di bawah alam yang tak bersahabat tanpa makanan dan minuman, otomatis sang tokoh selalu berada di bawah tekanan rasa haus dan lapar di samping kelelahan yang mendera juga tentunya. Caldas, pada babak tersebut, tidaklah selalu mengeksplotasi gambaran cerita kegetiran yang menyedihkan. Ada masanya pula kegetiran itu dibalut humor yang menentramkan, seolah menjadi semacam self escapism, bagi si tokoh utamanya, Velasco.

Caldas adalah cerita tentang survival. Cerita seorang perwira rendah Angkatan Laut yang bertarung hidup mati-matian melawan keganasan laut. Keberhasilan Velasco lolos dari terjangan maut laut itulah letak nilai heroik itu sendiri. Setuju atau tidak, melalui Caldas, kita menemukan perspektif lain tentang kepahlawanan. Yang belum baca, silahkan saja baca sendiri!*

Zamroni Rangkayu Itam

*Tulisan di atas sebelumnya dimuat di weblog palantakayu dengan titel yang sama….

Selasa, 28 Agustus 2012

Markesot Bertutur


TERJUAL BY BOJONEGORO
Kondisi: LUMAYAN
Markesot bukan pemimpin, bukan dedengkot suatu gerombolan. Ia sekadar membantu penumbuhan nilai-nilai mulia dalam diri manusia di sekitarnya, penumbuhan cinta kasih sosial dan pembelaan tegas terhadap kebenaran dan terhadap manusia yang dirugikan.

Ainun Nadjib, Emha. 1993 (Cet. Ke-1). Markesot Bertutur, Pohon Pionir. Bandung: Mizan. Hal. 253.

……… Itu teori Markesot. Tapi ia tak pernah bisa membuat orang lain percaya, karena setiap kali ia kemukakan, orang selalu bertanya: “Apa rujukan teorimu itu.” Maksudnya doktor atau profesor siapa yang mengatakan dan Markesot mengutipnya. Biasanya, terhadap pertanyaan semacam itu, Markesot menjawab dengan pertanyaan balik: “Lha, profesor yang pertama kali mengatakan hal itu—seandainya ada professor itu—merujuk pada pendapat siapa?
Orang-orang macam Markesot memang tidak dianggap memiliki kredibilitas ilmiah untuk menjadiu pangkal suatu ilmu atau pengetahuan. Sebabnya karena dia bukan ‘rakyat’ suatu ‘negara intelektual’ atau ‘negara akademis’. Dan lagi jelas ia tak punya pangkat professor, doktor, doktorandus, atau apa pun saja.
Tapi alhamdulillah hal itu tidak membuat Markesot sakit pathek atau kudisan. Yang penting ia terus mencari ilmu, dan ia tak berusaha tergantung kepada ‘ego’ sebagai penemu teori, inventor, atau pionir dari apa saja. Ilmu itu milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Kita semua hanya siswa TK yang sekali waktu dikasih tepuk tangan dan pujian sesudah menyanyikan lagu ‘balonku ada lima’.

sumber: http://kenduri-cinta.blogspot.com/2008/03/markesot-bertutur.html

AKAL SEHAT DAN ANCAMAN NUKLIR


 
Harga: Rp. 15.000,-(blum ongkir)
Kondisi: bagus, baru lepas segel
AKAL SEHAT DAN ANCAMAN NUKLIR; Penulis: Bertrand RUSSEL; Isi 100 hal, kertas HVS, soft cover (13 x 19,5 cm);
Common Sense and Nuclear Warfare tetap merupakan buku sangat penting mengenai ancaman nuklir. Dengan prakata baru dari Ken Coates, Ketua Badan Perdamaian Bertrand Russell, buku ini menjadi penting dan mesti dibaca oleh penduk
ung Russell dan semua orang yang tertarik pada sejarah pasca perang.

Common Sense and Nuclear Warfare mempersembahkan wawasan tajam Russell atas ancaman konflik nuklir dan apa yang harus dilakukan untuk mencegahnya. Ditulis pada masa puncak Perang Dingin, buku ini sangat penting untuk memahami keterlibatan Russell dalam Kampanye Perlucutan Senjata Nuklir dan hasratnya untuk mewujudkan perdamaian semasa hidupnya. Russell berpendapat satu-satunya jalan untuk menghentikan ancaman perang nuklir adalah menghentikan perang itu sendiri.[]

The Problems of Philosophy Terjemahan Persolan-Persoalan Seputar filsafat


Harga: Rp.25.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus, baru lepas segel
Judul; The Problems of Philosophy Terjemahan Persolan-Persoalan Seputar filsafat
Penulis: Bertrand Russel
Penerjemah: Ahmad Hasnawi

Editor: Tim Ikon Teralitera
Penerbit: Ikon Teralitera, Yogykarta
Terbit: I Pebruari, 2002
Halaman: viii + 201 Halaman


Persoalan-persoalan filsafat sesungguhnya acapkali dibahas dan dikritik dalam sudut pandang yang negatif. Alasan itu mendasari Bertrand Russel mengemukakan beberapa persoalan diseputar filsafat dalamkonteks yang positif dalam kritik-kritikannya. Sebagai seorang penulis filsafat yang kredibilitasnya tidak diragukan, Russel mencoba mengurai dan menarik benang merah dari semua persoalan-persoalan filsafat untuk memperoleh jalan tengah. Jika dalam bukunya meskipun terkesan "kasar" namun tetap pada koridor kritikan yang positif.

Hal pertama yang dikemukakan oleh Russel adalah tentang eksistensi pengetahuan itu sendiri. Ada pertanyaan mendasar yang dikemukakannya yaitu "Apakah ada pengetahuan di dunia yang begitu yakin bahwa tidak ada manusia yang berakal yang bisa meragukannya?" Pertanyaan ini kemudian menjadi dasar pokok kritik terhadap perlunya jawaban-jawaban yang hakiki dan tidak dogmatis. Kajian russel terpaku pada Esensi objek Fisik bahwa kumpulan semua objek fisik tersebut merupakan materi sebagai hasil dari pertimbangan data-indera. Russell menciptakan istilah "data-indera" dalam usahanya untuk melihat hubungan antara apa yang tampak dan kenyataan yang ada. Sehingga Russel berhipotesis bahwa benda-benda fisik menyebabkan data indera yang kita terima sesuai dengan kenyataan dan karena ada relasi yang signifikan antara kita dengan obyek. hal itulah yang diungkapkan Russel dalam mengetengahkan tentang Eksistensi MAteri, Hakikat Materi serta Idealisme.

Russell selanjutnya menguraikan tentang pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman dan deskripsi. Bahwa pengetahuan itu adalah pengalaman kita terhadap satu obyek materi yang kemudian kita melengkapi pengetahuan dengan deskripsi tehadap apa yang kita alami. Semua pengetahuan, dalam pandangan Russell, dibangun dari pengalaman. Tanpa pengetahuan dengan deskripsi, bagaimanapun, kita tidak akan pernah mengetahui secara individu sebuah pengetahuan. Jadi, persepsi dan pengetahuan apriori, pengetahuan dari pengalaman dan pengetahuan dengan deskripsi menyatu untuk menciptakan suatu totalitas pengetahuan manusia.
Analisis

Bahasan yang tidak kalah menariknya adalah tentang kebenaran dan kesesatan. Menurut pandangan Russel kebenaran tidak semudah memahami sebuah obyek materi atau untuk mengumpulkan pengalaman menjadi sebuah pengetahuan. Kebenaran sesunggunya adalah sebuah keyakinan terhadap kebenaran itu, dan kebenaran sesungguhnya adalah hubungan antara keyakina dan fakta. Akhirnya, masalah utama dalam Masalah Filsafat terletak pada kenyataan bahwa, semua pengetahuan dibangun dari pengetahuan yang bersumber dari pengalaman, atau hal yang kita tahu secara langsung, atau pengalaman pribadi. Dan terkhir bahwa russel tetap sepaham tentang pelajaran filsafat bukan untuk menemukan jawaba-jawaban pasti terhadap semua persoalan, akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang muncul akan meperluas konsepsi-konsepsi untuk memperkaya imajinasi intelektual dan menghilangkan jaminan dogmatis terhadap kebenaran sesuatu, dan yang pasti pikiran akan menjadi besar dan menjadi mampu untuk bersatu dengan alam semesta yang lebih besar yang merupakan kebaikan dari seluruh perenungan filsafat yang tertinggi.

sumber artikel: http://rumah-blog-baca.blogspot.com/2011/07/problems-of-phylosophi.html

Ecce Homo, Nietzsche


 
HARGA: Rp.70.000 (blum ongkir)
Kondisi: JILID FOTO COPY (BUKAN ASLINYA) , MIRIP SEPERTI ASLINYA
HARD COVER
Judul : Ecce Homo
Penulis : Nietzsche
Penerbit/Tahun : Pustaka Pelajar / 1997
Halaman : 174 Hal.

Akulah yang pertama menemukan
Kebenaran
… akulah yang pertama merasakan
dengan indera
-mencium-dusta sebagai
dusta
… telah kupilih untuk diriku sendiri kata
Imoralis
sebagai marka pembeda dan lencana
kehormatan
aku bangga memiliki kata ini
yang mempersiapkan aku
melawan segenap
kemanusiaan
(Friedrich Nietzsche: Mengapa Aku Adalah Takdir)

Nietszche merupakan filsuf yang luar biasa, hingga kini gagasan beliau tetap hidup meski sudah lebih dari 100 tahun beliau meninggal. Filsuf yang menjadi pelopor era posmodernisme, gagasan Nihilisme sangat berpengaruh di dunia hingga saat ini. Melalui karya-karyanya beliau juga menjungkirbalikkan semua nilai, dan moral. Karya Ecce Homo ini merupakan karya otobiografinya yang paling membingungkan dari penulisan otobigrafi yang ada.

Arti sebenarnya dari Ecce Homo adalah “Manusia” atau “Lihatlah Manusia”. Namun di buku ini ditulis “Lihatlah Dia” dia yang dimaksud adalah Nietzsche. Buku ini sangat menarik untuk menjelajahi renungan-renungan Nietzsche dalam perjalanan hidupnya sebelum divonis tidak waras.

sumber artikel: http://www.pustakakaji.com/2012/03/ecce-homo.html

GENEALOGI MORAL, Nietzsche


 
HARGA: Rp.70.000 (blum ongkir)
Kondisi: JILID FOTO COPY (BUKAN ASLINYA) , MIRIP SEPERTI ASLINYA
SOFT COVER
JALASUTRA, CET PERTAMA AGUSTUS 2001
TEBAL: 247 HAL

Buku Zur Genealogie der Moral terdiri dari satu Pendahuluan dan tiga Esai, masing-masing Esai merupakan pertanyaan radikal Nietzsche atas nilai-nilai moral, yang tujuan utamanya adalah untuk meneliti dasar konsep dan evolusi dari perkembangan nilai-nilai tersebut.
Dalam bab Pendahuluan, Nietzsche mencoba mendudukkan persoalan dengan menyampaikan maksud dan tujuannya, yakni usaha u
ntuk melacak asal-usul sejarah ide-ide moral manusia. Di sini, Nietzsche sebenarnya bukan sekedar merumuskan latar belakang, secara implisit ia juga telah mengilustrasikan tentang ‘proses’ bagaimana ia bisa sampai kepada pemikiran mengenai genealogi (silsilah) moral sebagai suatu cara untuk menyoroti hakikat moralitas. Bagi Nietzsche, moralitas bukan merupakan produk abadi dari alasan a priori (seperti halnya para Kantian), melainkan sebuah fenomena sosial, yang selalu berubah seiring waktu dengan perkembangan sejarah masyarakat. Nietzsche justru melihat bahwa perspektifnya yang historikal itu dapat mengungkap semua kontingensi[1] atas keyakinan moral manusia. Dalam Bagian 5 bab Pendahuluan, dengan merujuk kepada tulisan-tulisan sebelumnya yang telah membahas pertanyaan-pertanyaan historis, ia mengatakan: “Meski demikian kepedulian saya yang lebih nyata adalah kepada sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar menjajakan-hipotesis, entah itu kepada diri saya sendiri atau orang lain, tentang asal-usul moralitas (atau lebih tepatnya: yang pada akhirnya akan saya kaitkan semata-mata untuk tujuan kepentingan yang hanya merupakan salah satu di antara banyak cara). Apa yang dipertaruhkan adalah nilai moralitas.” Pernyataan ini, akan nampak menjadi lebih fundamental daripada hanya sekedar pandangan historikal, hal ini adalah apa yang dia sebut dalam tulisannya yang lain sebagai ‘suatu penilaian kembali nilai-nilai’. Pada awalnya hal itu disajikan sebagai evaluasi dari serangkaian nilai tertentu, yang dia usung di bawah judul ‘etika rasa iba’ (dicontohkan dengan teori etika Schopenhauer). “Apa yang terutama dikukuhkan adalah nilai ‘unegoistic’ (tidak egois), naluri rasa iba, pengorbanan-diri, penyerahan diri” (Pendahuluan: Bagian 5). Richard Norman (dalam buku The Moral Philosophers: an Introductions to Ethics: Oxford, 1998) melihat hal ini sebagai sebuah tujuan dari kontras yang sangat berbeda antara ‘the Ancients’ (yang kuno) dan ‘modern’ gagasan bahwa moralitas terutama telah dikaitan dengan kebutuhan altruisme, dan pertanyaan tentang mengapa tindakan altruistis harus dihargai. Namun demikian, Nietzsche melanjutkan dengan menunjukkan bahwa keprihatinan yang lebih luas daripada ini bukan hanya evaluasi atas moralitas rasa iba dan altruisme, tetapi evaluasi atas ‘semua moralitas.’ Ia mengatakan: “Kita perlu, sebuah kritik terhadap nilai-nilai moral, nilai dari nilai-nilai itu sendiri pertama-tama harus dipertanyakan.” (Pendahuluan: Bagian 6).

Esai pertama, “Good and Evil,” “Good and Bad” (“Baik dan Jahat,” “Baik dan Buruk”) mengupas tentang evolusi dari dua aspek atau kode moral yang berbeda. Yang pertama, “ksatria-aristokrat/bangsawan” atau “moralitas tuan/mulia,” (master/noble morality) yang berasal dari penguasa dan penakluk pada masa-masa awal, yang menilai kekuatan, kekayaan, dan keberhasilan mereka sendiri sebagai yang “baik” dan kemiskinan dan kemalangan dari orang-orang berkuasa yang lain sebagai yang “buruk.” Rekaan kedua Nietzsche, adalah “kepanditaan” atau “moralitas budak” (slave morality), terutama atas orang-orang Yahudi. Moralitas ini berawal dengan kasta pandita, yang membenci kasta ksatria dan mengutuk kekuatan penuh nafsu mereka (kasta ksatria) sebagai yang jahat, sementara menyebut posisi mereka sendiri yang miskin dan tertindas sebagai penyangkalan-diri yang baik. Didorong oleh ressentiment (kosa kata bahasa Perancis yang nampaknya memang sengaja dipilih oleh Nietzsche), atau rasa kebencian, moralitas budak adalah jauh lebih dalam dan lebih halus daripada moralitas tuan. Ini adalah semacam penobatan atas prestasi Kristiani, yang menyatakan bahwa kasih Kristiani sebenarnya telah lahir dari kebencian. Saat moralitas budak ini berkembang lebih mendalam dan lebih luas daripada kepercayaan diri yang biasa dari para penguasa, Nietzsche khawatir bahwa hal itu akan membuat kita semua akan merasa terbiasa. Manusia modern, yang telah mewarisi jubah moralitas budak, lebih menyukai keamanan dan kenyamanan daripada penaklukan dan risiko. Moralitas budak dari kasta pandita memusatkan perhatian pada kejahatan orang lain dan hukuman di akhirat, hal seperti ini tentu akan mengganggu banyak orang dari hasratnya untuk menikmati masa kini dan memperbaiki diri dalam pengertian moralitas ksatria aristokrat atau para penguasa dan penakluk di masa lalu.

Nietzsche mengilustrasikan kontras antara dua jenis moralitas tersebut dengan menggunakan perumpamaan antara burung pemangsa dan domba. Nietzsche membayangkan bahwa anak domba dapat menilai burung-burung pemangsa sebagai yang ‘jahat’ karena mengancam dan membunuh dan menganggap diri mereka sendiri sebagai yang ‘baik’ karena tidak membunuh. Namun, penilaian seperti ini tidaklah berarti bahwa: karena domba mampu menahan diri dari membunuh maka ia dapat keluar dari semacam perbuatan yang menyalahi moral, akan tetapi hanya karena mereka memang tidak mampu untuk membunuh (titik). Demikian pula, kita hanya bisa mengutuk burung pemangsa untuk membunuh jika kita berasumsi bahwa ‘perilaku,’ burung pemangsa tersebut, adalah suatu sifat yang dapat dilepaskan dari ‘perbuatan,’ pembunuhan. Nietzsche berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pelaku di balik perbuatan, ia juga mengambil sebagai contoh kalimat, ‘kilatan petir.’

Tidak ada petir yang terpisah dari cahaya kilat. Asumsi kita bahwa ada pelaku yang entah bagaimana berbeda dari perbuatannya sebenarnya hanyalah sebuah prasangka yang terinspirasi oleh subjek-predikat dalam bentuk tata bahasa. Moralitas budak melepaskan subyek dari predikat, pelaku dari perbuatan, dan mengidentifikasi subyek dengan ‘jiwa,’ yang kemudian harus bertanggung jawab dalam pengadilan akhir (akhirat). Sementara moralitas budak menjadi dominan di dunia modern, Nietzsche justru mengharapkan bahwa suatu saat nanti moralitas tuan akan memiliki kebangkitannya kembali.

Dalam esai kedua, “Guilt,” “Bad Concience,” and the Like (“Bersalah,” “Rasa Bersalah,” dan Semacamnya), Nietzsche mencoba menunjukkan bahwa pada awalnya konsep tentang bersalah itu tidak memiliki nada moral. Dengan mengidentifikasi beberapa kesamaan dalam kosa kata Jerman untuk bersalah (schuld/guilt) dan hutang (schulden/debts). Seseorang yang berhutang adalah ‘bersalah’ (schuld) dan kreditor bisa melakukan perbuatan baik lewat hutang dengan cara memberi hukuman kepada terhutang/debitur. Hukuman di sini tidak dimaksudkan untuk membuat sang debitur merasa buruk, melainkan hanya untuk mendatangkan kesenangan (rasa senang) kepada kreditor. Hukuman dengan demikian adalah kejam tetapi sekaligus ceria/menyenangkan/memberikan perasaan puas: tidak ada perasaan keras sesudahnya. Sebuah masyarakat yang memiliki sistem hukum mirip dengan kreditor: ketika seseorang melanggar hukum, maka mereka telah merugikan masyarakat dan pasti akan mendapat hukuman. Konsep keadilan dalam efeknya telah mengambil alih hukuman dari tangan individu untuk dapat diklaim sendiri secara langsung, dalam masyarakat, bukanlah individu-individu yang berwenang, tetapi melalui jalur hukum, dan karena itulah maka ada aturan hukum, bukan hukuman yang diberikan secara individual, untuk menentukan mengenai apakah sebuah hukuman itu tepat atau tidak. Hal ini tercermin pada berbagai hukuman dengan tujuan berbeda yang telah dijalankan selama berabad-abad, Nietzsche mengamati bahwa semua konsep-konsep memiliki sejarah yang panjang dan cair di mana konsep-konsep tersebut telah memiliki banyak makna yang berbeda-beda. Makna konsep-konsep yang didikte oleh suatu kehendak untuk berkuasa (will to power), dimana konsep-konsep tersebut telah diberi makna atau digunakan oleh kehendak yang berbeda-beda sesuai keinginan mereka masing-masing.

Nietzsche mengidentifikasi asal-usul rasa bersalah (bad consience) sebagai hal yang muncul dalam masa transisi dari masyarakat pemburu-pengumpul menuju masyarakat agraris. Insting hewani manusia akan menjadi tidak lagi menjadi berguna dalam masyarakat koperasi, dan kita dipaksa untuk memendamnya ke dalam. Dengan berjuang melawan dirinya sendiri, maka manusia mengukir kehidupan batin, rasa bersalah, sensibilitas tentang keindahan, dan rasa berhutang kepada nenek moyang mereka, proses inilah yang diasumsikan Nietzsche sebagai asal-usul dari agama. Saat ini, manusia mengarahkan rasa bersalahnya terutama terhadap naluri-naluri hewaninya, tetapi Nietzsche justru bukan bermaksud mendorong kita untuk mengarahkan rasa bersalah menjadi penyangkalan-kehidupan atau kekuatan yang menekan naluri kita.

Judul esai ketiga mengusung pertanyaan, What is the Meaning of Ascetic Ideals? (Apakah Makna dari Asketis Ideal?) Mengapa orang- orang dari berbagai latar budaya mengejar kehidupan seorang asketis penyangkalan-diri? Nietzsche menunjukkan bahwa asketisme sebenarnya meningkatkan perasaan berkuasa dengan memberikan seseorang sebuah kendali penuh atas dirinya sendiri. Dalam banyak kasus, kemudian, asketisme pada akhirnya adalah peneguhan-kehidupan daripada penyangkalan-hidup. Para Asketis Ideal mewujudkan diri secara berbeda di antara berbagai jenis orang. Semacam filsuf asketisme yang mengarah untuk mengklaim bahwa dunia di sekitar mereka hanyalah ilusi. Ini adalah salah satu cara memandang sesuatu, dan Nietzsche memuji cara memandang suatu masalah dari perspektif yang sebanyak mungkin. Tidak ada satu cara yang paling tepat untuk melihat kebenaran, jadi yang terbaik adalah menjadi lebih fleksibel dalam menentukan sudut pandang kita.

Nietzsche memandang kelahiran asketisme sebagai semacam penyakit rohani. Mereka yang menemukan perjuangan hidup terlalu keras berbalik melawan kehidupan dan menganggapnya tercela. Nietzsche melihat mayoritas umat manusia adalah sakit (secara rohani) dan pendeta/imam sebagai dokter yang sebenarnya juga sakit. Agama-agama mengarahkan sebagian penyakit rohani ini, bukan saja dengan jalan memadamkan kehendak melalui meditasi dan pekerjaan, tetapi juga melalui ‘pesta pora atau perayaan perasaan,’ hal ini terwujud di dalam kesadaran akan dosa dan rasa bersalah. Kita mengutuk diri sebagai orang-orang berdosa dan secara masokistis menghukum diri kita sendiri. Sementara itu, Nietzsche juga memandang sains dan sekularisasi sebagai bukanlah alternatif dari cita-cita asketis agama. Mereka hanya mengganti menyembah kepada Allah dengan penyembahan kepada kebenaran. Semangat yang sehat bagi Nietzsche justru harus berani mempertanyakan nilai kebenaran. Nietzsche menyimpulkan dengan mengamati bahwa sementara para asketis ideal mengarahkan kehendak-nya melawan kehidupan, tetapi sebenarnya mereka masih melakukan tempaan yang kuat untuk kehendak: ‘Manusia lebih suka menghendaki ketiadaan daripada tidak memiliki kehendak sama sekali.’

Tinjauan Kritis

Dalam esainya, “Nietzsche, Genealogy, History,” Michel Foucault mencatat beberapa perbedaan penting dalam karya Nietzsche mengenai konsep genealogi dan asal-usul (origin). Asal-usul merujuk kepada titik awal yang tetap dan, karenanya, esensi asal dari sesuatu yang terkait dengannya. Misalnya, kisah Adam dan Hawa menempatkan penciptaan asal-usul manusia di Taman Eden. Tentu saja, kita telah berubah sejak zaman Adam dan Hawa, tetapi beberapa fitur esensial tertentu, seperti dosa asal, akan tetap terbawa bersama kita. Genealogi lebih cocok dengan paradigma evolusi Darwin. lewat genealogi, tidak ada titik awal yang tetap tidak ada fitur esensial, hanya secara bertahap bahkan sering berkembang acak dari satu kondisi kepada yang lain. Kita mungkin memahami tujuan utama Nietzsche dalam buku ini sebagai usaha untuk menggeser pemahaman kita tentang moralitas dari model asal kepada model genealogi. Nietzsche berusaha untuk menunjukkan suatu model kepada kita. Artinya, kita cenderung untuk memikirkan konsep-konsep moral seperti kebaikan dan kejahatan sebagai sesuatu yang stabil, yang didasarkan pada beberapa konsep moral yang akan selalu cair, sampai-sampai kata yang baik, misalnya, telah bertentangan maknanya bagi orang yang berbeda. Konsep-konsep moral kita memiliki silsilah panjang dan tidak bermakna tetap. Dengan mencabut gagasan yang baik dan yang jahat yang muncul entah bagaimana secara independen dari kehendak kita, Nietzsche justru hendak mendorong sensibilitas yang lebih besar yang berkaitan dengan kehidupan moral kita.

Nietzsche menjelaskan fluiditas konsep-konsep moral dengan mengacu kepada kehendak untuk berkuasa. Menurut Nietzsche, kehendak untuk berkuasa adalah dorongan mendasar di alam semesta. Setiap kehendak memiliki hasrat untuk kemerdekaan dan untuk mendominasi kehendak yang lain, meskipun kehendak bekuasa ini akan mengungkapkan dirinya dalam berbagai cara. Sebagai contoh, pengacau di sekolah menguasai kekuatan fisik atas yang lain, sementara kutu buku belajar keras untuk mencapai semacam kekuasaan intelektual. Karena semua konsep-konsep adalah temuan manusia, Nietzsche berpendapat, semua konsep itu pada akhirnya adalah ekspresi dari beberapa kehendak atau yang lainnya. Sebagai contoh, konsep yang baik dapat berarti kekayaan dan kekuatan atau dapat berarti kelembutan dan amal, tergantung pada siapa yang menafsirkannya. Jika kita tampaknya telah memiliki konsep-konsep moral yang relatif tetap di zaman ini, itu hanya hasil dari kemenangan moralitas budak atas segala sudut pandang yang lain. Dengan mengasumsikan bahwa konsep-konsep ini memiliki makna yang tetap, kita menyerahkan kehendak kita kepada kehendak orang-orang yang dibatasi oleh konsep-konsep ini. Orang-orang berkemauan keras, menurut Nietzsche, akan menolak kategori-kategori pemikiran yang disisipkan pada mereka dan memiliki kemandirian dan kreativitas untuk melihat dunia dari perspektif khas mereka sendiri.

Meskipun Nietzsche sering terlihat seolah-olah memuji moralitas bangsawan kuno dan mengutuk budaya moralitas ‘budak’ Yudeo-Kristen, tetapi dia tidak bermaksud menganjurkan untuk hanya kembali begitu saja ke moralitas ‘tuan’ yang lebih tua. Walaupun efek luasnya telah ‘merugikan,’ namun moralitas budak juga terbukti telah membawa sejumlah manfaat. Sementara penakluk kuno memiliki kemurahan hati yang lebih jelas, namun mereka juga dangkal. Manusia telah berkembang menjadi lebih dalam dan licik dan hal inilah yang telah memungkinkan manusia untuk memperoleh karakteristik yang membedakan kita dari binatang, sebagai hasil dari budak yang berpaling ke dalam. Mereka yang tidak bisa menyelesaikan proyek kehendak berkuasa mereka akan ke luar dan justru mendominasi orang di sekitar proyek mereka itu ke dalam dan dan memperoleh kekuasaan yang lebih ‘mengerikan’ atas diri mereka sendiri. Dominasi moralitas Yahudi-Kristen di era modern merupakan bukti dari bagaimana kekuatan batin budak jauh lebih kuat daripada kekuatan luar penakluk. Nietzsche menaruh perhatian pada moralitas budak bukan karena hal itu telah membawa manusia untuk berpaling ke dalam, tetapi justru karena kita berada dalam bahaya kehilangan perjuangan batin kita. Perjuangan batin yang menyakitkan dan sulit, dan Nietzsche melihat dalam asketisme agama, sains, dan filsafat suatu keinginan untuk menyerah dari perjuangan atau untuk meminimalkan kesulitannya. Nietzsche menegaskan bahwa kita tidak boleh melihat kemanusiaan sebagai tujuan akhir yang harus diselesaikan untuk tetapi lebih sebagai sebuah jembatan untuk diseberangi antara hewan dan apa yang ia katakan sebagai istilah manusia-unggul (Ãœbermensch). Kritik Nietzsche memang ditujukan terhadap kekuatan penyangkalan-hidup di dalam diri kita, namun kekuatan batin yang dibawa oleh moralitas budak kita sebenarnya justru juga bisa menjadi anugerah terbesar.

Nietzsche sering menyesalkan bahwa bahasa tidak mampu mengungkapkan apa yang dia ingin ekspresikan, dan dia meletakkan kesalahan prinsipal itu kepada subjek-predikat dalam tata bahasa. Karena semua kalimat membagi menjadi subjek dan predikat, kita terbuai ke dalam pemikiran bahwa realitas, juga, menghasilkan bentuk ini dan bahwa ada pelaku dan perbuatan. Dalam pandangan Nietzsche hanya ada amal-perbuatan dan tidak ada pelaku, dan hal itu sama absurdnya dengan mengatakan bahwa keberadaan seekor elang adalah berbeda dari tindakan membunuh atau mengatakan bahwa keberadaan petir adalah berbeda dari percikan cahayanya. Elang adalah tindakan pembunuhan sama seperti kilat adalah kilatan cahaya: kita adalah apa yang kita lakukan. Kita dapat mengatakan Nietzsche adalah seorang metafisika itu sendiri (bukan metafisikus) kata kerja bukan metafisika kata benda. Sementara kebanyakan para metafisikus memahami alam semesta terdiri dari banyak hal (kateori-kategori), Nietzsche justru bahwa memahami alam semesta itu sebenarnya terbentuk dari kehendak. Kita cenderung untuk percaya bahwa ada subyek yang melakukan perbuatan karena tata bahasa kita menuntut agar kita memberikan subyek untuk kata verba. Faktanya, Nietzsche menyatakan, tidak ada ‘Aku’ yang membuat keputusan dan bertindak atas mereka. Melainkan, bahwa ‘Aku’ adalah forum di mana kehendak yang berbeda menyatakan diri dalam bentuk keputusan dan tindakan. Kerumitan ini terkadang memang membuat frustrasi, baik bagi Nietzsche dan para pembacanya, sangat sulit untuk membungkus pikiran kita di sekitar gagasan bahwa tidak ada pelaku di balik perbuatan karena setiap ekspresi yang tertulis dari gagasan ini bersandar pada struktur tata bahasa yang memperkuat ide sebaliknya.
[1] Dari kata dasar: kontingen; Inggris: contingent. Dari kata kerja bahasa Latin contingere (meraba/menyentuh seluruh bagian, terjadi), dari con (dengan) dan tangere (meraba). Dalam metafisika secara umum, kontingen adalah sesuatu yang bisa saja terjadi, tetapi tidak pasti terjadi: bisa saja terjadi dan tidak tergantung pada situasi. Sesuatu yang disebut kontingen mencakup semua hal yang tidak niscaya dan yang tidak mustahil. (Loren Bagus: 1996)

sumber RESUME: http://budiwibawa.wordpress.com/review/resume-buku-friedrich-nietzsche-zur-genealogie-der-moral-on-the-genealogy-of-morals-1887/

Jumat, 24 Agustus 2012

Babad Tanah Jawi: Galuh Mataram


TERJUAL

Kondisi: Lumayan. Kata Pengantar bertahun Sala 1970
Tebal:282 hal

Babad Tanah Jawi: Galuh Mataram
Oleh, Dr. Suwito Santoso

membaca buku ini membuat kita akan memahami berbagai catatan mengenai sejarah bangsa kita. sangat menarik...

Kabinet Ali-Roem-Idham, PROGRAM DAN PELAKSANAAN


Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi : lumayan.
Berat: 0,76 Kg
Tebal: 689 Halaman
Tahun: 1956


Kabinet Ali-Roem-Idham dilantik pada 24 Maret 1956, menggantikan Kabinet Burhanuddin Harahap. Sayang kabinet ini tidak berusia lama, tantangan yang dihadapinya datang bertubi-tubi, yang akhirnya mengakibatkan perpecahan antara PNI dan Masyumi , sebagai pendukung Kabinet dan perpecahan di tubuh Angkatan Darat yang menghadapkan kabinet kepada pilihan-pilihan yang pelik. Keadaan semakin parah setelah Bung Hatta meletakkan jabatan sebagai wakil Presiden pada akhir 1956. Akhirnya kabinet ini menyerahkan mandatnya kepada Presiden pada 14 Maret 1957. Kabinet ini merupakan kabinet yang terakhir dalam sejarah kontemporer Indonesia.

Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942


Harga: Rp.40.000 (blum ongkir)
Kondisi:lumayan bagus 2004
Berat: 0,31 Kg
Tebal: 244 hlm
Judul Perubahan politik dan hubungan kekuasaan Makassar 1906 - 1942

Penulis Edward Lambertus Poelinggomang
Penerbit OMBAK 2004

Makassar tempo dulu memang menakjubkan. Sekitar abad ke-16 telah tercatat sebagai 20 kota terbesar di dunia, memiliki armada laut yang berwibawa, dan sebagai salah satu bandar niaga dunia. Pada sisi kemajuan pengetahuan, tahun 1652 teleskop galileo telah hadir di Makassar. Tak banyak negeri yang bisa menyamai pencapaian Makassar masa itu.
Merujuk Edward L Poelinggomang dalam pengantar bukunya (Perubahan Politik & Hubungan Kekuasaan Makassar 1906-1942, Mei 2004), cerita masa lalu seperti ini disebut sejarah monumental (monument history). Disebut monumental sebab pusat perhatiannya berkisar pada kepahlawanan, peristiwa-peristiwa besar, dan kejayaan masa lalu. Sejarah monumental kurang memberi pelajaran tentang kelampaun sebab cenderung memuja akibat dan mengabaikan sebab, mengingat hasil dan melupakan proses.
Lazimnya sejarah monumental, mudah ditebak diskusi tersebut hanya menjadikan kejayaan masa lalu sebagi batu pijakan untuk meloncat ke masa depan. Masa kini dengan persoalan yang bertumpuk-tumpuk tiba-tiba kehilangan ruang untuk dibicarakan. Banjir rutin, kemiskinan, dan hidup yang makin senjang tak lagi diungkit. Masa depan dijadikan jawaban atas soal kekinian. Alih-alih jadi harapan, diskusi tersebut lebih berupa ilusi.

SUMBER ARTIKEL: http://ilhamfansclub.multiply.com/reviews/item/22?&show_interstitial=1&u=%2Freviews%2Fitem

Kamis, 23 Agustus 2012

SOEKARNO, Founding Father of Indonesia


TERJUAL
Kondisi: bagus HASTA MITRA 2003
TEBAL: 463 HAL
BAHASA: INGGRIS
SOEKARNO, Founding Father of Indonesia
Joesoef Isak

Prof. Bob Hering dalam waktu dekat akan mem­perkaya kepustakaan dunia dengan dua jilid bio­grafi Bung Karno dalam bahasa Inggris; jilid per­tama direncanakan sudah bisa diluncurkan pada bulan-bulan akhir tahun 2001 ini juga. Walaupun karya Bob Hering belum sampai di tangan, tetapi dia sudah meng­umumkan bahwa pen­dekatan­nya dalam menyu­sun biografi Bung Karno akan sepe­nuh­nya bersifat ana­litik dan interpretatif, bebas dari kultus individu, mitos dan romantisme yang selama ini dia anggap selalu menge­lilingi so­sok Soekarno. Kita berpendapat bahwa semua orang tentu bebas menulis me­ngenai Bung Karno, bebas juga memi­lih pendekat­an yang akan dipakai – kita ha­nya ingin menambahkan bahwa Bung Karno bukan saja dikelilingi pengkultusan individu, mitos dan romantisme, tetapi juga dikepung oleh salah-tafsir dan kerangka berpikir rancu, permu­suh­an dan pra-sangka, bahkan kebencian yang tidak ketolong­an. Dalam Liber Amicorum yang se­derhana ini ­– kumpul­an tulisan para sahabat menge­nang seorang manusia langka Indonesia –, kita ingin berhadap-hadap­an dengan pra-sangka dan pikir­an rancu itu yang selama ini tersebar berserakan di dalam mau pun luar negeri tanpa res­ponse yang memadai.
     Fokus serangan paling utama terhadap dosa Soekarno adalah bahwa dia dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menjadi se­orang diktator; lengkap de­ngan macam-macam adjektif se­perti: dia melin­dungi PKI, dia kejangkitan megalomania, dia tidak urus ekonomi, dia anti-Barat dan se­terusnya. Beberapa ‘ABG’ yang baru meraih gelar aka­demik, politici ingus­an yang baru saja dapat predikat “MP” – Member of Parliament, (anggota DPR/MPR) –, semua epigon kecil itu pada terburu-buru tidak ingin ketinggalan mendapatkan predikat “intelektual” se­perti para patron mereka, tak mau dianggap tidak mengerti demokrasi kalau tidak ikut-ikutan mengkritik Soekarno dan memamah-biak kredo “Soekarno diktator!”, “Demokrasi Terpimpinnya Soekarno otoriter!”

***
Sekarang baiklah kita letakkan terbuka di atas meja barang yang nama­nya “Demokrasi Terpimpin” itu. Digelar terbuka maka langsung kelihat­an dengan gamblang bahwa di atas meja bukan cuma ada satu barang – ter­nyata ada lebih dari satu barang, demokrasi terpim­pin rupanya ada macam-macam. Di sini kita catat beberapa saja yang pa­ling kentara, bahkan sangat mencolok karena tampil dengan telanjang bulat. Barang-barang itu tak mungkin ditutup-tutupi – walau­ pun tampak tum­pang-tindih seakan kusut me­nyatu –, namun masing-ma­sing me­nge­luarkan bu­nyi dan memperlihatkan diri sendiri secara transparan.
     Kusut tum­pang-tindih tidak peduli – para pakar politik yang tak suka pada Bung Karno dengan cara simpel saja menggantungkan satu label dengan satu nama saja bagi macam-macam barang yang masing­-masing sangat berbeda itu: “Demokrasi Terpim­pin”. Mereka merasa tidak perlu mengkaji lebih dalam atau mena­nya-nanya lebih lanjut: demo­krasi terpim­pin yang bagaimana, konsep siapa? Siapa yang diktator sesung­guh­nya? Rupa­nya biarlah dipikul oleh Soekarno saja semua itu! “Demokrasi Terpimpin” menjadi suatu nama kolektif, sebuah verzamelnaam, istilah tempat dikumpulkan segala macam yang jelek untuk digantungkan pada leher Soekarno. Tetapi marilah kita lihat apa yang ada di atas meja.

1. Demokrasi Terpimpin dalam Abstraksi

Yang pertama kita lihat adalah “Demokrasi Terpimpin” sebagaimana dipa­hami, diyakini dan ditafsirkan oleh para cendekia yang meng­anggap Soekarno diktator. “Demokrasi Terpimpin” dalam persepsi kategori pertama ini jelas diametral bertentangan dengan ke­yakinan “demokrasi” yang mereka sendiri anut. Menurut pemahaman kate­gori pertama ini, demokrasi adalah dunia bebas dan pasar bebas. Di luar itu, semua paham dan ideologi – komunisme, Islam fundamentalis atau bukan, netralisme, non-blok, Pancasila, pendek kata semua itu harus dikelompokkan dalam sejenis iblis yang wajib ditumpas.
     “Demokrasi Terpimpin” se­perti yang mengendap dalam benak kate­gori golongan pertama ini, jelas tidak ada urusan sama sekali de­ngan Soekarno. Sedikit pun tidak ada titik-singgung de­ngan wawasan demokrasi terpimpin sebagaimana dicita-citakan dan didambakan berjalan dalam praktek oleh Soekarno. “Demokrasi Terpimpin” yang dide­ngung-de­ngungkan oleh golongan kategori pertama ini tidak lain ha­nya suatu abstraksi. Tidak lebih daripada suatu reïfikasi, suatu produk kutak-katik otak mereka sendiri yang kemudian mereka anggap, mereka percayai, bahkan mereka terima seakan sebagai ke­nyataan yang ber­ada di luar eksistensi mereka. Meski abstrak, tetapi begitu­lah tuduhan yang ngotot dilempar ke muka Presi­den Soekarno, hujatan yang dikena-kenakan ke­pada konsep-konsep politik Soekarno yang sama sekali bukan konsep Soekarno. Peme­gang copyright Demokrasi Terpimpin sendiri sama sekali tidak pernah membayangkan demokrasi seperti yang ada dalam persepsi orang-orang dalam golongan pertama ini. Orang-orang ini dan semua kelompok anti-Soekarno tanpa kecuali, tidak tahu dan tidak mau tahu bahwa demokrasi terpimpin yang mereka kutuk itu sebenarnya ada­lah kreasi mereka sendiri.

2. Demokrasi Terpimpin Angkatan Darat

Kategori kedua yang juga tampak jelas dalam kekusut­an itu adalah “Demokrasi Terpimpin” yang didukung dan diupayakan dengan se­gala cara oleh militer/TNI, lebih khusus Angkatan Darat di bawah jenderal Nasution semasa periode Bung Karno, terutama sejak 1952 sampai 1965, kemudian dilanjutkan dengan mantap dan sukses gemilang oleh jenderal Soeharto semasa rejim Orde Barunya. Demokrasi Terpim­pin konsep Ang­katan Darat ini bukan fiktif, tidak abstrak tetapi nyata berjalan dalam praktek dan “100 persen mendukung Soekarno”, Pre­siden/Panglima Ter­tinggi/Pemimpin Besar Revolusi. Memang terdapat titik-singgung de­ngan Demokrasi Terpimpin konsep Bung Karno, akan tetapi tidak lebih daripada sebatas permainan semantik saja, sebab sama-sama dua barang yang total berbeda itu memakai satu nama yang sama: “demokrasi terpimpin”. Dari segi substansi, hakekat dan semangat, dua macam Demokrasi Terpimpin ini sepenuhnya sa­ling berten­tangan. Mekanisme pelak­sanaan atau kendaraan yang dipakai guna mereali­sasi konsep demokrasi à la Angkatan Darat ini, ada­lah garis hiëarki skala nasional dari pusat sampai ke daerah, mulai dari markas besar, kodam, kodim, koramil, dan babinsa – itulah yang dinamakan konsep pengua­saan teritorial. Semua berjalan sepenuhnya sejajar dengan mekanisme kekuasaan birokrasi sipil dalam skala nasional, mulai dari pusat pada tingkat propinsi, turun ke kabupaten, kecamatan dan kelurahan.
     Jenis demokrasi terpimpin yang didukung Angkatan Darat dengan Demokrasi Terpimpin Bung Karno sesungguhnya merupakan dua tubuh, dua roh ber­beda. Soekarno dan Angkatan Da­rat sebagai insan, sebagai wacana, sebagai state of mind ada­lah dua entity yang saling bertentang­an. Pada titik itulah kekisruh­an mulai muncul: orang-­orang yang tidak menyukai Soekarno di sini mulai menggunakan kriteria ganda. Mereka tidak prinsipiil menentang demokrasi terpim­pin, asal saja dalam konsep demokrasi seperti itu yang memimpin adalah Angkat­an Da­rat, bukan Soekarno. Asal demokrasi terpim­pin seperti itu mengga­nyang atau pa­ling tidak menghambat komunisme dan PKI, maka demokrasi terpimpin seper­ti itu absah dan halal sekali ada­nya!
     Kita tidak usah jadi pakar politik dengan gelar PhD untuk mengetahui bahwa siapa yang sebenarnya berkuasa semasa Soekarno jadi Presi­den. Soekarno memang oleh militer ditolerir pegang kekuasaan formal, tetapi kekuasaan rieel selalu berada di ta­ngan kekuatan yang memang betul-be­tul rieel berkuasa sesungguhnya, yaitu: Angkatan Darat. Angkatan Darat yang pegang kekuasaan konkret dengan senjata di tangan, de­ngan landasan legal yang mensahkan konsep “pengua­saan teritorial” untuk me­ngontrol seluruh kegiatan masya­rakat si­pil. Kita akan memerlukan bebera­pa bab untuk mengurai struktur kekuasaan dan mekanisme kekuasaan yang berjalan semasa periode-periode tertentu Soekarno, sejak 1945 sampai 1950, mulai 1950 sampai 1957, dan lebih-lebih lagi sesudah 1957 sampai 1965. Kita perlu sekali mengajukan satu pertanyaan kunci: betulkah Soekarno berkuasa apalagi sangat berkuasa untuk berbuat kesewenangan bagaikan seorang diktator?
     Uraian pengantar ini bukanlah suatu discourse ilmiah, tetapi penga­lam­an nyata jurnalistik yang ingin menjelaskan masalah di sekitar “demokrasi terpimpin” yang segala­nya mau digeser pada tanggung-jawab Soekarno. Untuk itu kita catat di sini beberapa butir kejadian saja yang telah menentukan perjalanan sejarah Republik kita. Para pembaca ingin kita ajak melacak le­bih dalam dan le­bih serius siapa yang sebenarnya pegang kekuasaan rieel dalam Repu­blik kita ini. Bagaimana pro­ses Demokrasi Terpimpin konsep Ang­katan Da­rat tahap demi tahap menjadi terealisasi dalam praktek. Bagaimana oposisi diberangus, penang­kap­an an­tara lain Pramoedya Ananta Toer dan Sutan Sjahrir dkk., pengekangan pers, bahkan pada akhirnya menamatkan riwayat kekuasaan Soekarno.

– 1945-50. Pemberlakuan sistem kabinet parlementer, yang jelas bertentangan dengan Konstitusi R.I. yang menganut azas kabinet presi­densial. Demi demokrasi, demi persatuan dan kesatuan, Bung Karno merelakan melepas kekuasaannya sebagai Presiden. Pesta demokrasi liberal se­perti itu ujung-ujungnya sempat melahirkan sampai 50 partai politik lebih.

– Peristiwa 17 Oktober 1952: tuntutan terbuka Angkatan Darat untuk membubarkan parlemen. Ketika itu Bung Karno masih menolak karena dia tetap setia pada Konstitusi.

– Pemberontakan PRRI/Permesta, pemberlakuan SOB, keadaan darurat pe­rang, dalam kaitan perjuangan merebut kembali Irian Barat. Siapa diuntungkan dengan pemberontakan PRRI/Permesta dan SOB ini?

– Nasionalisasi perusahaan-perusahaan raksasa Belanda (The Big Five), awal masuknya Angkatan Darat ke bidang ekonomi, mulainya jenderal-jenderal jadi direktur utama perusahaan negara, mula-mula di bidang niaga, meningkat ke industri sampai menguasai ladang-ladang mi­nyak dan mine­ral lainnya.

– Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD-45, dengan Ang­katan Darat menjadi pendukung dan motor penggerak utama. Maka kesempatan terbuka luas untuk melansir demokrasi terpimpin versi Angkatan Darat de­ngan label konsepsi Soekarno. Jangan dilupakan juga peng­angkatan Soekarno sebagai Presiden seumur hidup oleh Soksi sebagai komponen kekuatan Angkatan Darat. (Sesudah 1965, gunjingan politik beredar bahwa semua itu menunjukkan ambisi Soekarno yang gila kekuasaan dengan dukung­an PKI).

– Konfrontasi Irian Barat dan Konfrontasi Malaysia – kesempatan emas bagi Angkatan Darat yang mengontrol seluruh negeri lewat konsep pengua­saan teritorial, untuk lebih leluasa lagi menguasai anggaran belanja dan meme­gang mandat-blanko untuk mengadakan pembelian senjata besar-besaran.

Belum lagi kita lihat bagaimana Angkatan Darat menunggangi budayawan, sastrawan dan wartawan dengan konsep Manikebu dan BPS; semua itu dalam satu grand scenario Perang Dingin yang mengemban missi menying­kirkan PKI sampai kepada Soekarno. (Baca: Peter Dale Scott, hal. 278 buku 100 tahun Bung Karno). Kita tidak mempersoalkan di sini sikap politik atau sikap budaya para sastrawan dan wartawan yang menentang doktrin-doktrin komunis, karena hal itu menjadi hak mereka yang sah-sah saja. Masalahnya terlalu jelas sekali bagaimana Angkatan Darat menunggangi – bila tidak mau dikatakan mendalangi – quote unquote peristiwa kebudayaan ini. Begitu PKI bubar dan Soekarno jatuh, Manikebu dan BPS (Barisan Pendukung Soekarno) sebenar­nya bisa hidup aktif kembali bila memang mempunyai missi mengemban suatu konsep kebudayaan, tetapi rupa­nya Mani­kebu dan BPS sudah tidak diperlukan lagi sebab PKI dan Soekarno sudah hancur. Mission Accomplish!
     Begitulah kiprah Demokrasi Terpimpin versi Ang­katan Darat yang berlangsung dengan sukses besar. Setiap orang yang peduli demokrasi bersikap benar bila menolak tegas demokrasi terpimpin se­perti itu! Yang keliru sama sekali di sini adalah bahwa segala kutukan dan sum­pah­-serapah menjadi salah alamat, sebab semua itu dilemparkan kepada Soekarno yang secara konsepsional sama sekali tidak ada kaitan dengan demokrasi terpim­pin terkutuk itu. Orang-­orang yang à priori anti Soekarno tidak bisa atau tidak mau membedakan antara konsep-konsep sosial-politik Soekarno dan manuver-manuver so­sial-politik militer cq Angkat­an Darat yang jalin-menjalin dengan konsep-konsep Soekarno itu, karena militer memang selalu “loyal mendukung” Presiden dan Pang­lima Tertinggi­nya. Soekarno di satu pihak dan Nasution/Soeharto sebagai militer di lain pihak sama-sama mendukung demokrasi terpimpin dan wawasan persatuan/kesatuan bangsa dan negeri. Tetapi ke­­samaan itu cuma me­nyangkut kulit, sama sekali berbeda dalam isi dan motivasi. Soekarno melansir demokrasi terpimpin untuk membela rakyat yang selalu dikalahkan oleh mayo­ritas politisi di DPR (Parlemen); militer juga mendukung demokrasi terpimpin tetapi karena memerlukan kepemimpinan ketat demi mengontrol pe­nguasaan teritorialnya. Soekarno menganjur-anjurkan persatuan dan kesatuan untuk menggalang kekuatan dan memberdayakan segenap rakyat memba­ngun dan mewujudkan cita-cita sosial-politiknya. Militer juga berwawasan persatuan dan kesatuan, tetapi beda­nya lagi-lagi untuk me­ngontrol seluruh wilayah Indonesia yang mereka anggap sebagai lahan sumber kekayaan yang perlu mereka kuasai. Ini sudah berjalan sejak SOB pertengahan 50-an, dan menjadi terbuka tanpa malu-malu lagi semasa Orde Baru sesudah Soekarno di­singkirkan.

3. Demokrasi konsep PKI

Kita tahu bahwa sebelum 1965, dua organisasi besar paling kuat dan terorganisir paling baik adalah Angkatan Darat dan PKI – bila memin­jam nomenklatur Bung Karno, dua organisasi itu mestinya sama-sama positif merupakan komponen potensi nasional – namun dua kekuat­an itu justru bersaing sengit dengan niat akan merasa senang sekali bila mereka berhasil mematahkan batang leher saingan­nya. Angkat­an Darat dan PKI yang saling bersaing, sama-sama menjadi “pendu­kung” Presiden/Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi. Bila diterjemahkan de­ngan bebas, itu berarti masing-masing punya skenario sendiri-sendiri tetapi sama-sama mencoba meng­ambil hati Pre­siden, atau lebih tepat: sama-sama menunggangi wibawa Presiden Soekarno untuk mencapai keuntungan politik. Dalam praktek, Ang­kat­an Darat berada dalam posisi menang yang jauh lebih meng­untungkan ketimbang PKI yang sebenar­nya kelebihan ber-wishfulthinking bahwa mereka sudah mencapai hegemoni politik dalam pertarungan se­ngit itu. Ekonomi sama sekali tidak di tangan PKI, sebaliknya Ang­katan Darat punya akses terhadap roda perekonomian dan mereka lebih leluasa menggunakan aparatur dan mekanisme birokrasi; yang terpenting tentulah bahwa Angkatan Darat pegang senjata dan mengontrol seluruh teritorial Indonesia, di kota mau pun di desa.
     PKI seperti juga Angkatan Darat mendukung Demokrasi Terpim­pin, dan sebagai partai yang percaya bahwa revolusi harus diusahakan bertahap dan me­ningkat, maka mereka secara teoretis cenderung memilih suatu bentuk demokrasi yang cukup progresif tetapi tidak radikal. Rujuk­an PKI mengarah pada suatu pola “demokrasi nasio­nal”, pola pengalih­an kekuasaan bertahap dengan mendudukkan tokoh nasionalis progresif sebagai penguasa/pimpinan pemerintahan. Rujukan di sini mengarah kepada peng­alihan kekuasaan pola Czekoslowakia dari Masaryk kepada Gott­wald, pola Kuba dari Batista kepada Castro dan terakhir pola Aljazair dari Ben Bella kepada Boumediènne. Ben Bella semula diteri­ma sebagai seorang revo­lu­sioner, tetapi dianggap kemudian mengalami dekadensi borjuis. Sebagai wacana teoretis, wawasan “demo­krasi nasio­nal” tersebut memanglah menarik tetapi tidak relevan dalam praktek, karena dalam kondisi Indonesia pimpinan nasionalnya berbeda sekali dari tiga negeri yang disebut sebelumnya. Presiden Soekarno bukanlah pim­pinan yang perlu digeser, dia bahkan bukan sekedar nasionalis tetapi nasio­nalis kiri yang membela rakyat-rakyat tertindas Asia-Afrika menentang kolonialisme dan imperialisme.
     Kita sekedar memberikan gambaran di atas agar menjadi jelas, bahwa Soekarno dengan konsep-konsepnya – termasuk Demokrasi Terpimpin – menghadapi 1965 tidak berjalan mulus sendiri tanpa intervensi dan macam-macam gangguan dari kanan dan kiri.

4. Demokrasi Terpimpin yang sebenarnya

Yang ada di atas meja walaupun tertindih bermacam barang rongsok­an adalah Demokrasi Terpimpin yang sebenarnya, yang asli atau demokrasi sebagaimana dimaksudkan dan dicita-citakan Soekarno, bapak rohani­nya sendiri, sang author pemegang copyright yang sah. Ini pun berlangsung lewat proses dan kurun waktu yang panjang. Sejak Soekarno muda terjun ke dunia politik di akhir tahun 20-an dan awal 30-an, dia sudah punya wacana tentang demokrasi sebagaimana yang dia idealisasi. Sudah jelas demokrasi Barat atau demokrasi liberal sejak semu­la dengan tegas dia tolak. Sebutlah masa itu sebagai periode “meraba-raba”, sebab Soekarno muda tegas tahu apa yang dia tolak tetapi di lain pihak belum jelas merumus demokrasi bagaimana yang dia ingini. Sepanjang mengikuti karier politiknya, Soekarno dalam tulisan dan pidatonya yang berjumlah jutaan kata, nyaris kita tidak jumpai istilah “demokrasi terpim­pin”, juga tidak kita jumpai istilah itu dalam pidato puncak­nya sebagai pemikir dan pemimpin nasion ketika dia meng­ucapkan Pidato Pancasila pada 1 Juni 1945. Sebagai istilah politik, mulai kita kenal “demo­krasi terpim­pin” (guided democracy, geleide democratie, democracy with leadership, dsb.) menjelang Soekarno terpaksa meng­adakan sane­ring atas inflasi 50 lebih partai politik; itu pun tidak dibabat sampai tiga partai se­perti yang dilakukan Soeharto, melainkan masih sebelas parpol di­biarkan hidup.
     Mempelajari konsep-konsep dan wawasan pemikir­an Soekarno secara utuh dalam totalitasnya, maka kita lihat bahwa konsep demokrasi Bung Karno erat sekali berkait dengan suatu wawasan dwitunggal, yaitu perjuangan di satu pihak dan persatuan dan kesatuan nasion di lain pihak. Demokrasi dianggap kosong tak ada gunanya bila tidak bisa memperjuang­kan kemerdekaan, keadilan dan kesejahteraan rakyat, selanjutnya perjuang­an pun akan sia-sia bila tak mampu menyelenggarakan kesatuan dan persatuan yang sangat diperlukan untuk menggalang kekuatan yang akan mampu mewujudkan kemerdekaan, keadilan dan kesejah­tera­an rakyat itu.
     Seorang penulis biografi politik Soekarno dari Jerman keliru sekali ketika ia mengatakan bahwa kesalahan besar Soekarno yang menyebabkan kejatuhannya adalah karena ia coûte que coûte anti Barat. Tetapi pakar Jerman itu akan benar sekali bila dia mengatakan bahwa Soekarno digulingkan dari kekuasaannya karena dia tidak berpihak ke kubu kapitalisme Barat, tegas menolak sistem demokrasi Barat. Soekarno tidak percaya bahwa sesudah mekanisme demokrasi berjalan, sesudah 50% tambah satu anggota di Parlemen meng­ambil keputusan, maka jutaan rakyat yang tertindas harus senang dan puas menerima nasib mereka yang sudah diputuskan secara demokratis oleh mayo­ritas di dewan perwakilan rakyat itu. Soekarno sama sekali bukan anti Ba­rat, tidak pernah capèk ia membangkitkan kesadaran politik massa sebelum dan sesudah Indonesia merdeka dengan membesar-besarkan makna revolusi Prancis dan Amerika, founding fathers kemerdekaan Amerika seperti Abraham Lincoln dan Thomas Jefferson yang dia puja. Soekarno secara terbuka tegas mengakui sumbang­an pencerahan para pemikir Barat itu bagi kemerdekaan nasional dan hak inidividu atau hak-hak azasi manusia. Tetapi Soekarno juga menyadari setelah menelusuri sepanjang sejarah politik modern di mana pun di dunia, bahwa rakyat tertindas yang ingin memper­baiki nasibnya umumnya selalu pada akhirnya berada di pihak yang kalah – kaum pemodal/kapitalisme selalu menang dan berhasil memulihkan kembali status quo kepada kondisi yang menguntungkan bagi­nya. Tetapi menurut Bung Karno rakyat pasti bisa menang, hanya apabila mereka dapat membangun kekuatan dengan menggalang persatuan dan kesatuan di an­tara mereka. Di sini kita lihat bahwa persatuan dan kesatuan nasion menurut konsep Bung Karno bukanlah suatu mega­lomania untuk mencapai kejayaan “Indonesia Raya”, tetapi memang merupakan prasyarat dan bagian dari konsep demokra­si Bung Karno dan perjuangan menegakkan demokrasi itu sendiri.

Konsep Demokrasi Terpimpin mana yang berjalan?

Apa yang dapat disimpulkan dari deskripsi bebera­pa wajah “demokrasi terpimpin” yang diuraikan di atas?

Yang berjalan dan terlaksana dalam praktek ada­lah demokrasi terpimpin yang otoriter dan represif, demokrasi terpimpin konsep Ang­katan Darat yang memakai label “Soekarno”. Fakta ini terbuka dan menjadi le­bih jelas pada saat Soekarno sudah berhasil disingkirkan. Demokrasi Terpimpin Angkatan Darat kemudian leluasa berkiprah dalam optima forma di bawah pimpinan jendral Soeharto, dan sekali lagi di sini terjadi permainan semantik. Demokrasi Terpimpin yang otoriter dan represif itu sekarang memakai nama baru: “Demokrasi Pancasila”, dan menurut dunia Barat yang menyebut diri “dunia bebas”, demokrasinya jenderal Soeharto itu sepenuhnya akseptabel karena dia sudah berjalan di garis yang benar: menying­kirkan Soekarno, menghabisi PKI dan semua kekuatan kiri.
***

Lantas bagaimana dengan Demokrasi Terpimpinnya Soekarno?

Pene­liti yang jeli dan jujur akan sampai kepada kesimpulan bahwa konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno sebenarnya tak pernah ber­kesempat­an membuktikan diri kegunaan dan kebaikannya untuk masyarakat. Jangan­kan mencapai usia dewasa atau remaja, dia sudah mati dalam masa embrio­nya. Di situlah tragedi besar pejuang pembebas dan pemersatu nasion Indonesia itu. Demi demokrasi dan persatuan bangsa, sejak 1945 dia rela dan membiar­kan wewenang-wewenang formal­nya sebagai Presi­den dipreteli. Soekarno selama resmi jadi Pre­siden dari tahun 1945 sampai 1965 sebenarnya baru enam tahun terakhir memegang kekuasaan efektif secara formal, yaitu dalam kurun waktu yang disebut periode Demokrasi Terpim­pin. Itu pun “didampingi” oleh kekuasaan teri­torial militer yang efisien dan efektif, dan dikepung global oleh kekuatan Pe­rang Dingin yang berkepentingan menyingkirkan PKI sekalian berikut Soekarno sendiri.
     Pakar politik berikut epigon-epigon ingusan yang tidak bisa melihat fakta gajah di depan mata seperti itu, lantas tak berhenti-henti sampai sekarang menuding-nuding Soekarno diktator dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya itu. Kebutaan seperti itu, tentu hanya bisa kita simpulkan disebabkan oleh beberapa kemungkinan: para pakar itu keliru kerangka berpikir­ mereka, terdapat “denkfout” pada ana­lisis mereka, atau memang bodohnya sudah tidak ketolongan, atau memang tahu semua ini tetapi sengaja memelintir kebenaran.
     Berbicara tentang memelintir kebenaran, patut kita catat di sini sesuatu yang luar biasa sekali sejak berdirinya Republik kita ini. Militerisme Indonesia yang dipimpin jendral Nasution dan dilanjutkan oleh jenderal Soeharto telah mewarisi kepada bangsa Indonesia suatu keterampilan sangat canggih dan pa­ling orijinal. Yaitu: bagaimana de­ngan cara yang sah, legal dan konstitusional merebut kekuasaan dan membungkam lawan guna melanggengkan ke­kuasa­an itu. Pakai peluru atau masukkan lawan dalam penjara tidak menjadi masalah, asal serba konstitusional. Itulah warisan militerisme Indonesia yang sampai sekarang masih sekali-sekali dipraktekkan.
     Setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidato pelengkap Nawaksara-nya pada bulan Januari 1967, MPRS di bawah pimpinan jendral Nasution tetap memecat (impeach) Soekarno dari fungsi kepresidenannya. Presiden Soekarno dengan segala kemauan baik­nya tentu tidak bisa menduga politik dan mo­ral komplotan yang sedang dia hadapi ketika itu. Dengan atau tanpa pidato pelengkap Nawaksara, bahkan andai­kata Bung Karno bersedia meninggalkan prinsip-prinsip­nya sendiri dengan mendekritkan pembubaran PKI, dia tetap tidak punya jamin­an apa pun bahwa dia tidak akan dipecat dari fungsinya sebagai Presi­den. Sebaliknya kita sudah bisa melihat langkah tahap demi tahap bagaimana jenderal Nasution dan jenderal Soeharto mengerahkan segenap kekuasaan teritorial­nya untuk memani­pulasi konstituante dan konstitusi segera setelah mereka berhasil menum­pas gerakan 30 September letkol Untung. Dalam sejarah Repu­blik kita untuk selamanya akan tercatat satu Perio­de militerisme Indonesia, periode di mana perebutan kekuasaan, pelanggaran hak-hak azasi dan perkosaan kebebasan individu dan menya­takan pendapat, bisa berlangsung resmi, sah secara konstitusional, legal sesuai hukum dan prosedur; selanjutnya azas impunity berlaku juga bagi korupsi skala mil­yaran dan trilyunan.
     “Elit” kita yang vokal dan yang sekarang duduk di DPR  (Parlemen) rupanya menjadi pewaris sah dari para senior mereka di tahun 1966-1967 yang melancarkan makar/coup terhadap Presiden Soekarno dengan memperkosa konstitusi secara sah sesuai hukum dan prosedur. Walaupun begitu, yang diktator tetaplah Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya!
     Kita semua tahu Demokrasi Barat punya kesem­pat­an hidup dan praktek seabad lebih sebelum dia mantap dan mapan diterima sebagai sistem politik dan berlaku dalam tata hidup bernegara – tetapi dari Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang masih bayi merah dan dibantai pula dalam pembunuhan massal, oleh “para pakar demokrasi” diharapkan sudah bisa memberikan hasil instant seperti orang menyedu kopi tubruk. Karena tak mungkin memunculkan ke­ajaiban seperti itu, maka Soekarno adalah diktator ....
     Pada saat Presiden Soekarno menganggap fase pembenahan politik sudah selesai, Irian Barat sudah kembali ke pangkuan "Ibu Pertiwi", maka Soekarno menganggap sudah waktunya untuk membenah­i masalah-masalah ekonomi. Dengan bantuan antara lain para teknokrat PSI, pada 1963 disusunlah strategi pola pembangunan yang rumusannya dinamakan "Dekon" (Deklarasi Ekonomi). Dekon ini pun mati dalam masa janinnya, terminasi dadakan terjadi akibat Peristiwa 30 September yang di­susul oleh pembantaian massal, tetapi para pemfitnah tetap memaki Bung Karno tidak urus ekonomi. Rupanya mukjizat masyarakat makmur dan adil diharapkan harus bisa terwujud dalam masa dua tahun ....
     Sebenarnya lebih kejam daripada fitnah dan pembunuhan sekaligus, ada­lah kebodohan. Bagaimana berargumentasi dengan orang bodoh yang tidak mampu melihat bahwa Soekarno jelas-jelas tidak punya bakat menjadi diktator. Orang bodoh pun rupanya tidak bisa tahu apa artinya diktator, apa syarat-syarat menjadi diktator. Bukankah orang hanya bisa menjadi diktator bila dia tidak memiliki hati-nurani, bila dia tegar tanpa ragu mampu me­ngirim lawan-lawannya ke akherat, atau paling kurang mengeram mereka di penjara tanpa ada urusan pengadilan segala. Mampukah Soekarno melakukan kekerasan dan kekejaman seperti itu?
     Untuk ikut menjawab pertanyaan itu kita merujuk kepada Sitor Situmorang yang juga menyumbang tulisan dalam Liber Amicorum ini. Dalam perjalanan kehidupan politiknya, kita dapat mencatat apa yang dikatakan Sitor sebagai “Moments of Truth Bung Karno”. Di awal tahun 1966 berlangsung suatu adegan di istana Bogor yang patut dicatat sebagai puncak The Moment of Truth Soekarno. Dalam suasana genting dan berbahaya, Willem Oltmans, wartawan Belanda yang dekat de­ngan Bung Karno berkata kepada Bung Karno: “Bapak, keadaan berbahaya sekali bagi bapak. Penuhi sajalah tuntut­an para jenderal, bubarkan PKI!”, demikian ucapan sang wartawan de­ngan segala kemauan baik. Bung Karno dengan sinar mata yang tajam langsung menyambar pergelangan tangan Willem Oltmans, sambil berkata dalam bahasa Belanda: “Wim, kamu kira aku tidak tahu apa yang sedang terjadi sekarang? Aku belum ucapkan satu patah kata pun, sudah ribuan orang dibantai habis! Apa jadi­nya kalau aku omong bubarkan PKI?!” Kira-kira begitulah dialog yang terjadi antara Soekarno dan sang wartawan. Kisah yang sama bisa kita dengar juga dari Roeslan Abdulgani. Demi negeri dan nasion, bagi Bung Karno persatuan dan kesatuan menjadi di atas segala­-galanya! Bung Karno memi­lih jadi tumbal, meski punah sebagai pribadi dan hancur karier politiknya. Itulah yang kita sebut puncak The Moment of Truth of Soekarno, itulah Soekarno yang sebenarnya, utuh dalam totalitas kebenarannya.
     Walaupun hanya omongan post factum – bila Soekarno mau ber­lawan ketika itu –, pastilah Soeharto dan Kostrad mampu dilindas habis oleh massa rakyat bersama mayo­ritas prajurit TNI, KKO-ALRI, PGT-AURI, apalagi masih cukup banyak jenderal yang ketika itu tetap se­tia bulat kepada "Pemimpin Besar"/Panglima Tertinggi­nya. Tetapi kemenangan seperti itu pasti dicapai hanya sesudah lewat perang saudara dan pertum­pahan darah. Kalau ada setitik saja mengalir pikiran diktator pada Bung Karno, jalan sejarah tentu akan berbeda. Seperti dikatakan Sitor The Moment of Truth Soekarno memilih Kebenaran di atas keselamatan pribadi, memi­lih teguh pada prinsip persatuan dan kesatuan nasion di atas segalanya. Ke­kerasan dan pertumpahan darah coûte que coûte dihindari walaupun kemenangan jelas berada di depan mata – melihat semua kenyataan itu, apakah bukan fitnah rendah menuduh Soekarno diktator?
     Pramoedya Ananta Toer pernah mengucapkan kata-kata bersayap, dia berkata: “Bung Karno adalah politikus dan negarawan satu-satunya dalam sejarah politik modern dunia, yang menyatukan negeri dan nasion tanpa mengalirkan setetes darah pun!” Pramoedya lalu membandingkannya dengan “demo­krat pancasilais” Soeharto. Untuk memba­ngun Orde Barunya, jenderal Angkatan Darat itu membantai dan menjebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan berjuta warga-negara­nya sendiri! Sulit berargumentasi dengan orang-orang yang tak mampu melihat semua itu, tidak melihat srigala di depan matanya, apa­lagi melihat srigala itu sebagai kelinci.
     Di awal pengantar ini, kita sudah mengutip Prof. Bob Hering yang dalam biografi Bung Karno, in­­­gin membebaskan tulisannya dari sega­la pemujaan pri­badi, mitos dan romantisme yang dia anggap menge­lilingi Soekarno. Liber Amicorum ini pun dengan rendah hati ingin mengibas segala fitnah, kotoran dan ke­rancuan berpikir yang bukan saja menge­lilingi Bung Karno, akan tetapi melekat di tubuhnya karena dicampakkan kepadanya.
     Uraian yang agak panjang tentang “demokrasi terpimpin” ini tidak lain mau mengimbau terutama kepada mereka yang selama ini bersikap kurang kritis, hanya menelan mentah-mentah rujuk­an “para pakar, politikus, wartawan” yang kerjanya tidak lain hanya bertujuan mendiskreditkan Soekarno. Bila hal itu terjadi 50 atau 30 tahun yang lalu, barangkali kekeliruan sikap seperti itu masih bisa dimaklumi sebagai ketidak-tahuan, ignorance, atau latah takut dianggap tidak intelektual, takut tidak dihitung sebagai pendukung orde baru, bila tidak ikut-ikutan mengkritik Soekarno. Tetapi setelah meng­alami 32 tahun rejim Orde Barunya Soeharto, mestinya kesadar­an berpikir sudah harus timbul untuk bisa menentukan mana yang demokratis dan mana yang diktator – sudah cukup lama tersedia kesem­pat­an untuk bisa membanding-banding, bukan? Setelah melihat prilaku jenderal Soeharto, anak-anaknya dan kroni-kroninya menge­nai kekuasaan, me­­nge­nai kekejaman, mengenai kesera­kahan, masih ada yang sang­gup memfitnah Soekarno dengan demokrasi terpim­pinnya sebagai diktator? Masih tetap saja mau nyanyi lagu lama yang itu-itu juga? Tak sanggup berubah lagi karena membenci Soekarno sudah mendarah-daging, sudah terlanjur jadi hobby berat? Orang Belanda bilang: “het zelfde deuntje zingen en het stokpaardje be­rijden?”
     Sepertiga abad lamanya, Soekarno didiskreditkan dan dibakukan sebagai diktator dengan memobilisasi secara masif mesin propaganda Orde Baru, menggunakan seluruh potensi mass-media dan mencekoki segenap strata dunia pendidikan kita. Selama 30 tahun lebih ter­bangun dan ter­bentuk suatu public-opinion yang mapan tentang Soekarno, tanpa ada kesempatan sama sekali bagi Soekarno atau para pembela­nya untuk menya­takan pendapat yang lain. Hukum-kelambanan atau inertia kemudian berlaku di sini: kebanyakan sudah tidak sanggup lagi membebaskan diri dari kemalas­an berpikir yang sudah membeku itu.


Maka permanen Soekarno jadi diktator!


Soekarno dan Konsep-konsep
Sosial-Politiknya Sudah Barang Fosil?

Mengakhiri pengantar ini, kita masih menyampaikan di sini dua hal, butir pertama mengenai ucapan sementara intelektual kita bahwa “Soekarno dan konsep-konsepnya sudah jadi barang fosil”, butir ke­dua menyangkut manuver pemecah-belahan yang dilansir di antara founding fathers kemerdekaan dan Republik kita.
     Seorang dekan pada suatu universitas swasta di Jakarta, pernah berkata bahwa konsep-konsep pemikiran Soekarno sudah jadi fosil, sudah tidak re­levan, usang ketinggalan untuk zaman yang sudah jauh maju se­perti sekarang ini. Entah apa maksud ucapan seperti itu – apakah mau menunjukkan super intelektualitasnya yang maju sekali?
     Dengan pasti bisa kita katakan, dekan itu sendiri dan semua orang yang berpendapat sama dengan sang dekan, memiliki benak fosil yang tak mampu berpikir dinamis dan dialektis. Semua orang yang masih da­pat berfikir normal tentu tahu bahwa semua konsep dan teori ilmu sosial mana pun tidak akan benar – mandek – bila ditangani se­perti dogma­-dogma mati. Bukan saja Marx atau Keynes, Mao Tse Tung atau teori koperasi Hatta, bahkan agama apa pun menjadi fosil bila ditangani oleh para pemilik benak fosil.
     Kita tahu bahwa setiap molekul dalam darah-daging Bung Karno sampai ke ujung rambutnya yang pa­ling halus mengandung: gerak, dinamika, emansipasi dan revolusi! Dapatkah insan yang menerima wahyu Illahi seperti itu, melahirkan Pancasila yang fosil? Trisakti yang fosil? Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, berkepri­badian dalam kebudayaan – apakah semua itu barang fosil? Wawasan The New Emerging Forces kontra The Old Established Forces*, apakah itu juga fosil? Bukankah itu semua nilai-nilai universal yang tak terikat pada ruang dan waktu?
     Diskredit terhadap Soekarno memang dilakukan dengan macam-macam cara dan bergerak dari berbagai jurusan. Mula-mula kam­panye besar-besaran de-soekarnoisasi dan penggelapan sejarah oleh Soeharto, Orde Baru dan orang-orang se­perti Nugroho Notosusanto; lalu fitnah dan kerancuan berfikir sampai-sampai menu­ding Soekarno diktator, terlibat G30S; dan usaha kalap paling belakang ada­lah fo­silkan Soekarno dan konsep-konsep sosial-politiknya yang cemerlang. Barusan saja di bulan Juni, di seluruh pelosok tanah-air kita saksikan Bung Karno yang dikatakan fosil, yang dikurung, di­diskreditkan, dan dihina habis-habisan 30 tahun le­bih, bangkit kembali dalam segala kebesarannya.

Mana dan siapa sebenarnya yang fosil?

The Founding Fathers Republik: Asset Nasional Sangat Bernilai
Akhirnya ingin kita ingatkan pada kesempatan ini pada gejala atau manuver tertentu yang jelas dan sadar mempertentangkan founding fathers kemerdekaan dan Republik kita. Mempertentangkan founding fathers Republik kita di ujung-ujung jalan akhirnya akan berarti mempercepat pro­ses desintegrasi dan memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Bila hal ini dilakukan oleh Van Mook, Van der Plas atau Joseph Luns di tahun-tahun revolusi karena mereka dalam bentuk apa pun tak bisa menerima ke­nyataan bahwa bekas jajahannya memproklamirkan diri merdeka dan membangun Negara Republik sendiri, maka hal itu wajarlah – sang majikan kolonialis tentu sulit menelan kekalahan mereka. Soekarno, Hatta, Sjahrir dan para bapak bangsa kita lainnya, oleh Belanda dengan segala cara dicoba diadu-domba dan dipecah-belah. Tetapi apabila adu-domba ini dikerjakan oleh bangsa kita sendiri – terutama dengan menggunakan mass-media –, yang notabene masih berjalan terus sampai hari ini se­telah kita merdeka lebih dari sete­ngah abad, maka ini adalah satu tragedi besar.
     Kita melihat gejala ini muncul dalam berbagai kesempatan. Orang­-orang Indonesia yang sudah berkarat anti-Soekarno pada saat terpaksa ikut memperingati 100 Tahun Bung Karno, yang mereka tulis, mereka ­per­ingati dan mereka sanjung-sanjung adalah justru kebesaran ­Hatta, sambil mengedepankan kelemahan Soekarno.
     Kita tahu betul bahwa Bung Hatta, Bung Sjah­rir, mempunyai kelebih­an dan keunggulan tertentu yang tak mungkin disamai atau dimiliki oleh Soekarno. Sebaliknya pun demikian! Bung Karno mempu­nyai keung­gul­an dan kelebihan yang tak mungkin diimbangi oleh Hatta dan Sjahrir berdua sekaligus. Mereka memang jelas mempunyai perbedaan, tetapi apakah sekarang ini hal itu masih relevan untuk dibesar-besarkan? Bahkan dipertentangkan untuk melecehkan yang satu terhadap yang lainnya? Apakah bukannya sudah tiba waktunya dibangunkan kesadaran baru pada peringatan 100 Tahun Bung Karno dan 100 Tahun Bung Hatta tahun depan ini, untuk menerima founding fathers Republik kita dengan kesadaran penuh sebagai asset nasional yang tak ternilai harga­nya, demi persatuan/kesatuan dan integrasi nasion Indonesia, demi memba­ngun dan mewujudkan cita-cita yang belum sempat diwujudkan oleh founding fathers kita itu : keadilan dan kemakmuran bagi segenap rakyat kita?
     Pada saat-saat seperti sekarang ini, penulis teringat kepada se­orang tokoh tua yang usianya masih di bawah generasi Soekarno-Hatta yang sa­yang sekali sudah lebih dulu mendahului kita semua, yaitu Soebadio Sastrosatomo. Semua kenal dia sebagai tokoh PSI, pengagum, pewaris, dan penerus cita-cita Sutan Sjahrir. Pada saat jenderal Soeharto masih berkuasa penuh, dia pernah berkata kepada penulis: Berhentilah melecehkan Soekarno! Berhenti melecehkan Hatta-Sjahrir! Bangkitkan strategi persatuan Soekarno-Hatta-Sjahrir untuk me­lawan fasisme Soeharto! Sebagai seorang Sjahririst dia berkata: “Soekarno adalah Presiden ku! Soekarno adalah Indonesia – Indonesia adalah Soekarno!” Pada saat Soebadio mengucapkan kata-kata bertuah itu, sedetik pun dia tidak bermaksud mengecilkan apalagi me­ning­galkan Hatta-Sjahrir. Yang terbayang di hadapannya mungkin adalah kawan-kawannya dalam partai, para Sukarnoist dan anggota-anggota PKI yang berjalan seakan tanpa arah.
     Wawasan Soebadio transcendental melintas zig zag di alam fikir­an founding fathers Republik kita, tidak ada lagi batas-batas pemi­sah apalagi pemecah – dia sudah tumbuh mengembang besar menga­tasi segala kedang­kalan dan kekerdilan berpikir. Kaum intelektual kita, terutama para cendekia muda, sebaiknya merenungi dan meneladani sikap dan kearifan politik Soebadio itu. Gejala negatif yang mencemaskan pada kaum intelektual kita, ya muda ya tua, adalah bahwa mereka menelan mentah-mentah dan memamah-biak pendapat para pakar asing yang dijadikan rujukan yang akhirnya mengurung daya kemandirian berpikir mereka sendiri. Seperti misal­nya pemikiran yang membagi para pemimpin kita dalam “the solidarity makers” dan “the administrators”. Rumusan seperti itu tidak usah otomatis salah, akan tetapi dia menjadi rancu dan salah besar pada saat rumus itu mulai dianggap sebagai primbon, ditafsirkan dangkal hitam-putih.
     “The solidarity makers” – di situlah Soekarno dikelompokkan – lantas menjadi identik dengan tidak rasional, bukan intelek­tual, dan agitator tukang teriak-teriak di depan mikrofon. “The administrators” – di situ tempat Hatta dan Sjahrir –, merekalah dianggap yang pa­ling berpikir rasional, nuchter, dan intelektual sejati. Kontan kita dengar reaksi seorang Sukarnoist, bukankah justru Soekarno yang lebih ba­nyak baca buku daripada Hatta dan Sjahrir digabung jadi satu? Jus­tru Soekarno intelektual sejati, me­nguasai ilmu tetapi bersedia turun ke bawah berbicara langsung dengan rakyat. Lalu sang Sukarnoist bertanya: apakah Indonesia kira-kira sekarang sudah merdeka, kalau perjuang­an kemerdekaan dipim­pin oleh para “administrators” dari belakang meja tulis? Tugas melepaskan diri dari kekuasaan Belanda bolehlah mulai diusahakan secara gra­dual, tetapi jauh­kanlah diri dari revo­lusi-revolusian. Yang lebih pen­ting kita bangun lebih dulu ba­nyak sekolah dan banyak universitas untuk menghasilkan SDM (Sumber Daya Manusia), kader­-kader akademisi bermutu untuk memimpin departemen, dan sebagainya.
     Kita menganggap komentar dan reaksi seperti itu – oleh ilmuwan, wartawan atau siapa pun berbangsa Indonesia – adalah vul­ger, tidak akan membawa kita ke mana-mana ke­cuali kepada nihil yang serba kontra-produktif. Itulah maksud kita menyebut nama Soebadio, karena dia­lah yang telah mampu mengatasi segala kekerdilan dan kedang­kalan yang mubasir dan sia-sia itu. Jelas Soekarno, Hatta, Sjahrir, deretan nama ini masih bisa diperpanjang dengan para pemimpin nasional lain, seperti Amir Sjarifuddin, Agus Salim, Moh. Natsir, Sudirman, Tan Malaka, Moh.Roem dan seterusnya. Masing­-masing mempunyai bakat, kemampuan, dan fitrah masing-masing. Jelas mereka saling berbeda, tetapi persatuan dalam perbedaan yang saling mengisi dan melengkapi itu­lah menjadi potensi dan asset nasional kita yang sa­ngat berharga, modal untuk membangun dan menempuh masa depan.
     Tahun depan akan kita peringati dan rayakan 100 Tahun Bung ­Hatta, anggota Dwitunggal kita yang legendaris. Kita sangat meng­harapkan ­peringatan itu akan berlangsung produktif, bermartabat sesuai watak dan kebesaran Hatta. Bung Karno selalu meng­ajarkan: “Hanya bangsa besar, tahu menghormati pahlawan-pahlawannya!” Dan rakyat pun tahu siapa yang harus dia hormati meski tidak ada kriteria tertulis apapun.
     Berhentilah membesar-besarkan Soekarno hanya untuk meleceh­kan Hatta! Berhenti membesar-besarkan Hatta hanya untuk meleceh­kan Soekarno! Begitulah kita akhiri pengantar Liber Amicorum ini dalam kata-kata, semangat dan kearifan politik Soebadio – demi persatuan dan kesatuan negeri dan nasion Indonesia! ***

RUNTUHNJA KERADJAAN HINDU-DJAWA DAN TIMBULNJA NEGARA2 ISLAM DI NUSANTARA


Harga: Rp.200.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
CET VIII DESEMBER 2009
TEBAL: 301 HAL

RUNTUHNJA KERADJAAN HINDU-DJAWA DAN TIMBULNJA NEGARA2 ISLAM DI NUSANTARA
Prof. Dr. Slamet Muljana
Penerbit: LkiS

Karya-karya Slamet Muljana dalam ilmu Sejarah tidak jarang mengundang kontroversi dari para pembacanya. Misalnya dalam buku Runtuhnja keradjaan Hindu-Djawa dan timbulnja negara-negara Islam di Nusantara (1968) dengan berani ia menyatakan bahwa Walisongo adalah para ulama keturunan Cina. Pendapat tersebut mengundang reaksi keras karena kepercayaan masyarakat yang sudah terlanjur kuat, bahwa anggota-anggota Walisongo adalah keturunan Arab. Tidak hanya itu, pemerintah Orde Baru bahkan melarang terbit buku tersebut, karena saat itu sedang maraknya sentimen anti Cina.

Sriwijaya


Harga: Rp.175.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
C4 tahun 2011
tebal: 306 hal

Sejarah Sriwijaya, kerajaan maritim terbesar di tanah Sumatra, sejak lama terkubur dalam berbagai prasasti dan piagam peninggalan masa lalu. Belum banyak penggalian sejarah yang dilakukan.Padahal, inilah pusat lalu-lintas niaga yang paling tua sekaligus urat nadi ekonomi terpenting di Asia Tenggara. Sriwijaya mencapai kejayaan berkat kekayaan laut dan keterbukaannya kepada dunia luar. Ia jadi saksi bisu pergerakan arus global yang merambah masuk ke pelataran Nusantara.

Tafsir Sejarah - Nagara Kretagama


Harga: Rp.200.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
tebal: 456 hal
Cet V tahun 2011

Tafsir Sejarah - Nagara Kretagama
by Slamet Muljana

Nagarakretagama tetap menduduki tempat utama sebagai karya sejarah tentang Majapahit dalam abad empat belas dan merupakan karya sejarah yang tertua pula dalam sastra Jawa kuna.

Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit


 
Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
Cetakan ke V Maret tahun 2011
Tebal: 275 hal

Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit
by Slamet Muljana

Sumpah amukti palapa telah mengantar Majapahit ke gerbang kejayaan untuk pertama kalinya dalam sejarah. Majapahit menjadi kerajaan yang paling disegani di seantero Nusantara, setelah sekian lama dihantui ancaman perang dan perpecahan

Selasa, 21 Agustus 2012

1000 Wajah Pram dalam Kata dan Sketsa


Harga: Rp.105 rb (blum ongkir)
Kondisi: bagus 2009
tebal: 504 hal

Buku ini disusun sebagai usaha kecil menggarisbawahi bagaimana nama Pramoedya Ananta Toer tak pernah habis. Banyak suara dan kesaksian yang terangkum. Ditulis dari pelbagai penjuru pandangan.

Pram selalu punya pembaca yang fanatik, pemerhati yang tekun, dan sekaligus lawan-lawan teks maupun lawan atas politik kebudayaan yang sudah dipilihnya dengan sikap yang penuh tanggung jawab.

Demikianlah posisi pengarang itu menurutnya. Selalu ada yang mendukung. Selalu ada yang memusuhi. Dan biasanya itu berlaku sama kuatnya. Tapi setiap pengarang harus menghadapi semua-mua konsekuensi itu dengan gagah berani; seorang diri tanpa serdadu. Setiap pengarang, dalam posisi itu, mestilah bertanggung jawab atas semua yang ditulisnya. Tak boleh lari. Pengarang yang lari dari tanggung jawab bukan jenis pengarang yang dimauinya--pengarang pesolek yang mencederai irasionalitas pembacanya.

Dan tanggung jawab itu telah dipikul Pram sepenuh-penuhnya. Dengan peluh dan keringatnya. Pertanggungjawaban yang dijalankan secara konsisten itu kemudian melahirkan kredibilitas. Kredibilitas itulah yang menanamkan kepercayaan pada pembacanya bahwa ia boleh diguguh, bahwa ia boleh dibaca dengan sepenuh takzim.


Related Post

ShareThis