.

.

Sabtu, 29 Desember 2012

Penembak Misterius


TERJUAL
Harga: Rp.40.000 (blum ongkir)
kondisi: bagus
berat: 0,21 kg
tebal: 214 hal
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)

Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Membaca 'Penembak Misterius', mungkin anda akan merasa takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki. Tapi di saat yang bersamaan, seluruh peristiwa yang tergambar dalam kisah-kisah di buku ini terasa familiar dengan keadaan kita. Keadaan negara kita. Atau suatu masa di negara kita. Itulah kekuatan cerita, ketika peristiwa dinyatakan dalam satuan waktu hingga tinggal menjadi sejarah atau kenangan tak berarti, cerita adalah cerita; ia tak lekang oleh waktu. Ia tak benar, tapi tak juga salah. Kalau saya bilang setting 'Penembak Misterius' adalah negara kita di masa orde baru, mungkin saya salah. Tapi pada satu titik pertemuan waktu, negara kita pernah menjadi suatu negeri yang amat mengerikan bagi rakyatnya, atau: bagi mereka yang menentang pemerintahnya. Ketika itu, perasaan takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki mungkin terasa lebih riil karena itulah realita. Dan di situ pula kekuatan sastra: seharusnya kita tak boleh menghakimi penulisnya karena membuat cerita yang mirip dengan realita. Mungkin ia hanya menyortir sebagian realita dan mewujudkannya dalam dunia imajinasinya; dunia yang mirip dengan kenyataan. Sah-sah saja, bukan?

Setidaknya hal itu yang saya tangkap ketika membaca 'Penembak Misterius'. Dunia paralel yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma begitu mirip dengan dunia kita; dengan rakyat miskin yang kelaparan, dengan ketidakadilan, dengan becak-becak yang digusur (“Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)”), dengan istri-istri yang menanti suaminya membanting tulang di kota besar (“Tragedi Asih Istrinya Sukab”), dengan budaya tak tahu antre (“Loket”), dengan budaya pamer kekayaan dan bermegah-megahan dengan harta tak seberapa - atau bahkan malah tak berpunya (“Helikopter”). Semua disajikan secara satir; komedi dan tragedi saling selit-belit hingga saya mau tak mau harus meringis kala membacanya - tersenyum pahit. Karena sekali lagi, semuanya begitu familiar di mata dan telinga. Entah, mungkin saya pernah membacanya di koran atau mendengar di berita. Buku ini diterbitkan tahun 1993, berarti dunia belum berubah banyak sejak saat itu.

Terkadang Seno juga mengajak kita tertawa pada kebodohan manusia, kebodohan kita sendiri, yang sering larut dalam pembodohan padahal tahu sedang dibodohi (“Srengenge”). Mungkin juga Seno hanya sedang menulis ulang sejarah. Mungkin di dunianya, inilah yang terjadi pada manusia-manusianya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya membodohi yang miskin.

Satu kisah yang ringan dan paling saya suka adalah yang berjudul "Melati dalam Pot” yang bercerita tentang kenangan dalam objek bunga melati. Sadar atau tidak, dalam hidup ini kita akan meninggalkan jejak. Apakah kita ingin seharum bunga melati, atau sebusuk mayat yang jadi zombie (“Grhhh!”,), tergantung bagaimana kita melangkah dalam hidup dan meninggalkan jejak. Bersama Seno Gumira Ajidarma, sejarah, fenomena, pembenaran dan realita semua ditayangkan ulang ke dalam ingatan kita, agar kita dapat tertawa bersama, tertampar bersama dan menangis bersama; dalam kisah-kisah yang tak akan lekang oleh waktu dan lebih mudah diingat daripada pelajaran sejarah di sekolah.

Linguae, SGA


 
Harga: Rp.45.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus . cet 1 maret 2007
Tebal: 130 hal

Linguae artinya lidah. Cerpen `Linguae` dalam kumcer berjudul sama karya Seno Gumira Ajidarma ini bercerita tentang makna lidah bagi manusia. Bagaimana nasib para pecinta jika organ tubuh yang satu ini hilang? Begitu banyak peran lidah yang tak dapat digantikan oleh organ lain seperti dengkul, misalnya. Cerpen ini berkisah, dalam sebuah percintaan, lidah memang menyatakan segalanya dengan lebih nyata daripada kata-kata dalam tatabahasa sempurna mana pun di dunia. Tiga belas cerpen lainnya mengungkapkan beraneka kisah. `Cintaku Jauh di Komodo` bercerita tentang cinta yang tak pernah hilang di antara dua manusia yang terus bereinkarnasi sepanjang masa. Bahkan, sampai salah satu dari mereka berubah wujud menjadi komodo! `Rembulan dalam Cappucino` mengisahkan seorang perempuan yang baru cerai dengan suaminya memesan capucinno dengan rembulan terapung di dalam cangkirnya. Silakan menerjemahkan dengan bebas metafora rembulan yang diungkap SGA dalam cerpen ini. Sementara, cerpen `Joko Swiwi` adalah cerpen yang sangat imanjinatif dalam buku ini. Dikisahkan, seorang anak lahir dengan sayap di tubuhnya. Ia menjadi pahlawan di kampungnya, namun pada akhirnya mesti terusir dari sana karena suatu pengkhianatan. Cerpen-cerpen lainnya ditulis dengan gaya bercerita SGA yang khas, unik, dan penuh imajinasi yang tak terduga.

Penembak Misterius


TERJUAL
Harga: Rp.40.000 (blum ongkir)
kondisi: LUMAYAN GRAFITI 1993
berat: 0,13 kg
tebal: 176 hal
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)

Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Membaca 'Penembak Misterius', mungkin anda akan merasa takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki. Tapi di saat yang bersamaan, seluruh peristiwa yang tergambar dalam kisah-kisah di buku ini terasa familiar dengan keadaan kita. Keadaan negara kita. Atau suatu masa di negara kita. Itulah kekuatan cerita, ketika peristiwa dinyatakan dalam satuan waktu hingga tinggal menjadi sejarah atau kenangan tak berarti, cerita adalah cerita; ia tak lekang oleh waktu. Ia tak benar, tapi tak juga salah. Kalau saya bilang setting 'Penembak Misterius' adalah negara kita di masa orde baru, mungkin saya salah. Tapi pada satu titik pertemuan waktu, negara kita pernah menjadi suatu negeri yang amat mengerikan bagi rakyatnya, atau: bagi mereka yang menentang pemerintahnya. Ketika itu, perasaan takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki mungkin terasa lebih riil karena itulah realita. Dan di situ pula kekuatan sastra: seharusnya kita tak boleh menghakimi penulisnya karena membuat cerita yang mirip dengan realita. Mungkin ia hanya menyortir sebagian realita dan mewujudkannya dalam dunia imajinasinya; dunia yang mirip dengan kenyataan. Sah-sah saja, bukan?

Setidaknya hal itu yang saya tangkap ketika membaca 'Penembak Misterius'. Dunia paralel yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma begitu mirip dengan dunia kita; dengan rakyat miskin yang kelaparan, dengan ketidakadilan, dengan becak-becak yang digusur (“Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)”), dengan istri-istri yang menanti suaminya membanting tulang di kota besar (“Tragedi Asih Istrinya Sukab”), dengan budaya tak tahu antre (“Loket”), dengan budaya pamer kekayaan dan bermegah-megahan dengan harta tak seberapa - atau bahkan malah tak berpunya (“Helikopter”). Semua disajikan secara satir; komedi dan tragedi saling selit-belit hingga saya mau tak mau harus meringis kala membacanya - tersenyum pahit. Karena sekali lagi, semuanya begitu familiar di mata dan telinga. Entah, mungkin saya pernah membacanya di koran atau mendengar di berita. Buku ini diterbitkan tahun 1993, berarti dunia belum berubah banyak sejak saat itu.

Terkadang Seno juga mengajak kita tertawa pada kebodohan manusia, kebodohan kita sendiri, yang sering larut dalam pembodohan padahal tahu sedang dibodohi (“Srengenge”). Mungkin juga Seno hanya sedang menulis ulang sejarah. Mungkin di dunianya, inilah yang terjadi pada manusia-manusianya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya membodohi yang miskin.

Satu kisah yang ringan dan paling saya suka adalah yang berjudul "Melati dalam Pot” yang bercerita tentang kenangan dalam objek bunga melati. Sadar atau tidak, dalam hidup ini kita akan meninggalkan jejak. Apakah kita ingin seharum bunga melati, atau sebusuk mayat yang jadi zombie (“Grhhh!”,), tergantung bagaimana kita melangkah dalam hidup dan meninggalkan jejak. Bersama Seno Gumira Ajidarma, sejarah, fenomena, pembenaran dan realita semua ditayangkan ulang ke dalam ingatan kita, agar kita dapat tertawa bersama, tertampar bersama dan menangis bersama; dalam kisah-kisah yang tak akan lekang oleh waktu dan lebih mudah diingat daripada pelajaran sejarah di sekolah.

Sastra dan Politik (Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma)


 
Harga: Rp.40rb (BLUM ONGKIR)
Judul buku : Sastra dan Politik
(Membaca Karya-karya Seno Gumira Ajidarma)
Penulis : Andy Fuller
Penerjemah : Anton Kurnia
Penerbit : Insist Press
Cetakan 1 : Desember 2011
Tebal buku : 128 halaman
KRITIK terhadap penguasa bisa disampaikan melalui apa saja. Bagi seniman tentu melalui karya-karyanya. Salah satunya Seno Gumira Ajidarma. Sebagai cerpenis, novelis sekaligus jurnalis, Seno menyampaikan kritik tajamnya kepada penguasa melalui tulisan-tulisannya. Balutan kalimat Seno dengan bahasa yang lugas selalu bisa diikuti pembaca dengan enak, meski ujung-ujungnya mengajak pembaca ke sebuah kisah suram. Meninggalnya seseorang dengan tidak wajar, kondisi sosial yang mengenaskan serta pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.
Cerpen-cerpen yang dihasilkan Seno mengukuhkan dia sebagai oposan bagi penguasa Orde Baru. Ia mulai mengkritisi Orba sejak 1980-an. Cerpen-cerpen Seno memang menyuarakan perlawanan, dan menentang budaya Orba. Jauh sebelum kejatuhan rezim Soeharto, Seno menuliskan hal-hal yang tabu untuk ditulis pada masa itu, seperti tema-tema yang mengangkat persoalan ras, suku, korupsi, ketamakan manusia, kebohongan, penindasan manusia atas lainnya, serta perbedaan kelas.
Meskipun karya-karya sastra yang mengkritisi arogansi dan dominasi penguasa sebenarnya tidak hanya ditulis Seno. Sejumlah sastrawan juga melakukan hal serupa. Kita bisa menyebut nama-nama seperti Pramoedya Ananta Toer, penyair Wiji Thukul, Emha Ainun Nadjib, Y.B Mangunwijaya, Putu Wijaya. Mereka punya cara masing-masing untuk menyampaikan kritiknya. Dan karya-karya Seno menduduki salah satu titik penting dalam khasanah sastra yang menggugat politik kekuasaan.
Cerpen Telepon dari Aceh, Saksi Mata, Jakarta 2039, Seorang Wanita di Halte Bis, juga Sarman hanyalah sedikit dari banyaknya karya-karya Seno yang bersikap kritis terhadap realitas Orde Baru yang begitu mendominasi dan mengakar sekaligus menebar ketakutan. Ia mengajak pembaca untuk menyaksikan peristiwa itu sambil mendorongnya untuk melakukan refleksi terhadap itu. Peristiwa-peristiwa dalam cerpennya mampu membuka hati dan pikiran pembaca untuk menyadari bahwa di luar sana, tak jauh dari tempat pembaca terjadi peristiwa memilukan.
Karya-karya Seno yang berani dan rasa simpatinya kepada orang-orang yang menderita, lalu dikemas dengan gaya posmodern ini seringkali membuat pembaca mendapatkan akhir cerita yang tak terduga. Selalu ada yang membekas disetiap karya Seno. Hingga tak berlebihan jika Andy Fuller, peneliti sastra Indonesia, tertarik dengan karya-karya Seno dan menggunakannya sebagai obyek penulisan tesis S2 di The University of Melbourne (2004). Tesis itulah yang kemudian diterbitkan menjadi buku ini.
Perkenalan Fuller dengan karya-karya Seno tak sengaja. Ketika sedang berburu buku di Yogyakarta, pandangannya tertuju pada buku berjudul Jazz, Parfum dan Insiden. Semula ia belum tertarik dengan tema insiden atau pembantaian yang diangkat Seno. Tetapi Jazz, Parfum dan Insiden yang menghadirkan perenungan impresionistis tentang Jazz dan parfum, menjadi magnet bagi Fuller untuk terus membaca karya-karya Seno selanjutnya.
Ketertarikan Fuller adalah pada tema yang diangkat dalam karya Seno. Menurut Fuller, Seno melibatkan karya dan dirinya pada masalah-masalah Indonesia di masa Orde Baru kemudian berperan membangun wacana politik di masa itu. Seno melalui karyanya telah berusaha membangkitkan dialog yang kritis, membangun kesadaran diri, untuk kemudian menyelesaikan krisis politik dan krisis budaya.
Karya Seno yang banyak mendapat sorotan dan perhatian para akademisi adalah Saksi Mata dan Jazz. Karya ini menuturkan penindasan Orde Baru terhadap rakyat Timor Timur. Bagi Fuller, meski tokoh-tokoh cerpen Seno itu absurd, tetapi sejatinya nyata. Ini karena karya-karya Seno selalu mengambil dari peristiwa nyata.
Kelebihan Seno adalah pada cara dia bercerita. Biarpun memuati kritisme, cerpen-cerpennya tetap tersaji ringan. Ini menunjukkan betapa Seno seorang pendongeng yang mahir dalam tehnik dan punya banyak cara untuk bercerita.
Karya-karya Seno yang selalu mengkritik penguasa bisa jadi dipengaruhi oleh kegiatan yang ia akrabi. Seno disamping cerpenis, adalah seorang jurnalis. Karyanya pun tak sebatas cerpen saja, tetapi juga laporan jurnalistik, puisi, kritik film, juga novel. Karyanya tersebar di berbagai media dan mendapat sambutan baik di tanah air.
Namun Seno tak hanya menulis karya-karya yang melulu menghantam penguasa orde baru. Ada sejumlah cerpen yang bersifat surealis romantis, seperti cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku. Dan tak jarang Seno menyajikan karyanya dengan gaya metropolitan bahkan seperti “keluar” dari sastra. Agaknya Seno tak terlampau memikirkan apakah karyanya bisa disebut karya sastra atau bukan.
Menurut Fuller, watak dari karya Seno adalah posmodern. Buku ini juga hendak menyampaikan bagaimana gaya posmodern mampu berkelindan dengan karya sastra. Buku ini kemudian memberi identifikasi teknik-teknik estetika posmodern. Teknik-teknik tersebut, menurut Faruk dalam pengantar buku itu, digunakan untuk menyampaikan pendapat dan sikap terhadap penguasa Orde Baru yang represif.
Michael Bodden juga mengukuhkan Seno sebagai salah satu cerpenis bergaya posmodern. Menurut Bodden, tampilnya karya posmodernisme di Indonesia merupakan usaha untuk menciptakan tulisan baru, sekaligus merupakan metode perlawanan terhadap menyebarnya manifestasi sosial dan budaya dari rezim otoriter Presiden Soeharto (Halaman 61). Michael Bodden juga akademisi yang melakukan penelitian terhadap karya-karya Seno.
Buku ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama menyajikan seluk beluk posmodernisme. Bagian kedua mengetengahkan tentang politik kebudayaan Orde Baru, lalu bagian ketiga adalah tinjauan Karya sastra Seno. Kemudian bagian empat menyajikan pembahasan tentang metafiksi dan budaya populer. Sejumlah kesimpulan, yang termaktup di bagian kelima, menutup buku ini. ***
* Dimuat di harian Detik, Minggu 18 Maret 2012

SURAT DARI PALMERAH



 TERJUAL
Harga: Rp.80.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus Cet. 1 APRIL 2002
Tebal: 287 hal

Kompilasi tajuk rencana majalah Jakarta-Jakarta yg diltulis oleh Seno Gumira Ajidarma menjelang & sesudah runtuhnya Orde Baru. Masuk dalam kompilasi ini beberapa tajuk yg dilarang dipublikasikan.

Sabtu, 10 November 2012

Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam

  TERJUAL
Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi: Kurang begitu bagus covernya. isi dalam buku bagus 1970
Tebal: 33 hal
Hubungan antara Agama dengan Negara menurut Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1970

Sabtu, 20 Oktober 2012

Tuanku Rao, M.O. Parlindungan. LKiS


 TERJUAL BY JABAR
HARGA: Rp.55.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus Hard cover ada jacket buku 2007
tebal:692 hal

“Tak ada fakta, yang ada hanyalah tafsir,” begitu kata Nietzsche berkenaan dengan masalah kebenaran dan pengetahuan. Katakata itu tampaknya berlaku juga untuk sejarah, sebab sejarah erat kaitannya dengan serpihan-serpihan kebenaran dan pengetahuan, yang supaya bermakna perlu ditata dan ditafsir kembali. Ka
rena itu, sejarah juga merupakan tafsir, dan sebuah tafsir bukanlah segumpal kebenaran mutlak. Ia baru merupakan upaya untuk mendekati kebenaran.
Buku Tuanku Rao karya M.O. Parlindungan ini merupakan salah satu upaya menggali dan menafsirkan kembali serpihan-serpihan pengalaman masa lalu itu, terutama yang terkait dengan Perang Paderi. Melalui buku ini, penulis mengajak kita mengunjungi kembali ke masa lalu Tanah Batak secara gamblang dengan berupaya memahami proses-proses yang terjadi di balik teror kekerasan penyebaran agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak pada 1816-1833.
Berbeda dengan sejarawan lain, penulis memilih untuk menuliskan sejarah Batak dengan gaya bertutur (story telling style), yang semula memang ditujukan kepada anak-anaknya. Di sinilah sesungguhnya letak daya tarik buku ini. Ia muncul orisinal karena fokusnya lebih diletakkan pada praktik penciptaan sejarah Batak itu sendiri ketimbang menjajarkan peristiwa-peristiwa kesejarahan naratif seperti praktik sejarawan konvensional selama ini.
Menurut penulis, setidaknya ada dua alasan mengapa penyerbuan ke Tanah Batak tersebut dilakukan dengan kekerasan. Selain menyebarkan Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, penyerbuan itu juga dipicu oleh dendam keturunan marga Siregar terhadap Raja Oloan Sorba Dibanua, dinasti Singamangaraja, yang pernah mengusirnya dari Tanah Batak. Togar Natigor Siregar, pemimpin marga Siregar, pun sampai mengucapkan sumpah yang diikuti seluruh marga Siregar, akan kembali ke Batak untuk membunuh Raja Oloan Sorba Dibanua dan seluruh keturunannya.
Agama Islam Mazhab Hambali yang masuk ke Mandailing dinamakan penduduk setempat sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol) karena para penyerbunya datang dari Bonjol, meski dipimpin orang-orang Batak sendiri, seperti Pongkinangolngolan Sinambela (Tuanku Rao), Idris Nasution (Tuanku Nelo), dan Jatengger Siregar (Tuanku Ali Sakti). Dalam silsilah yang terlampir di buku ini, disebutkan bahwa Pongkinangolngolan adalah anak hasil hubungan gelap antara Gana Sinambela (putri Singamangaraja IX) dengan pamannya, Pangeran Gindoporang Sinambela (adik Singamangaraja IX). Gindoporang dan Singamangaraja IX adalah putra Singamangaraja VIII, sedangkan Gana Sinambela adalah kakak Singamangaraja X. Walaupun terlahir sebagai anak di luar nikah, Singamangaraja X sangat mengasihi dan memanjakan keponakannya (hlm. 355).
Namun kelahiran di luar nikah ini diketahui oleh tiga orang Datu (tokoh spiritual) yang dipimpin Datu Amantagor Manurung. Sesuai hukum adat, Singamangaraja X terpaksa menjatuhkan hukuman mati kepada keponakan yang disayanginya dengan menenggelamkandi Danau Toba. Tapi, bukannya mati tenggelam, Pongkinangolngolan terselamatkan arus hingga mencapai Sungai Asahan dan ditolong seorang nelayan bernama Lintong Marpaung. Setelah bertahun-tahun berada di daerah Angkola dan Sipirok, Pongkinangolngolan memutuskan pergi ke Minangkabau karena takut dikenali sebagai orang yang telah dijatuhi hukuman mati oleh Raja Batak.
Di Minangkabau, pada 1804, Pongkinangolngolan diislamkan oleh Tuanku Nan Renceh, lalu dikirim ke Makkah dan Syria serta sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan kavaleri Janitsar Turki. Sekembalinya, pada 1815, Pongkinangolngolan diangkat menjadi perwira tentara Paderi dan mendapat gelar Tuanku Rao.
Ternyata Tuanku Nan Renceh menjalankan politik divide et impera seperti Belanda, yaitu menggunakan orang Batak untuk menyerang Tanah Batak. Penyerbuan ke Tanah Batak dimulai pada 1 Ramadan 1231 H (1816 M) terhadap benteng Muarasipongi yang dipertahankan Marga Lubis. Muarasipongi berhasil diluluhlantakkan dan seluruh penduduknya dibantai tanpa menyisakan seorang pun. Kekejaman ini sengaja dilakukan dan disebarluaskan untuk menebarkan teror dan rasa takut agar memudahkan penaklukan guna penyebaran agama Islam Mazhab Hambali.
Setelah itu, penyerbuan terhadap Singamangaraja X di Benteng Bakkara dilaksanakan 1819. Orang-orang Siregar Salak dari Sipirok dipimpin Jatengger Siregar ikut dalam pasukan penyerang untuk memenuhi sumpah Togar Natigor Siregar dan membalas dendam kepada keturunan Raja Oloan Sorba Dibanua, yaitu Singamangaraja X. Jatengger Siregar menantang Singamangaraja untuk melakukan perang tanding satu lawan satu. Singamangaraja kalah dan kepalanya dipenggal pedang Jatengger Siregar. Terpenuhi sudah dendam yang tersimpan selama 26 generasi.
Penyerbuan pasukan Paderi terhenti pada 1820, karena berjangkitnya penyakit kolera dan epidemi penyakit pes. Dari 150.000 orang tentara Paderi yang memasuki Tanah Batak pada 1818, hanya tersisa sekitar 30.000orang. Sebagian terbesar bukan tewas di medan pertempuran, melainkan mati karena berbagai penyakit. Untuk menyelamatkan sisa pasukannya, pada 1820 Tuanku Rao bermaksud menarik mundur seluruh pasukannya dari Tanah Batak Utara, sehingga rencana pengislaman seluruh Tanah Batak tak dapat diteruskan. Sementara itu, Tuanku Imam Bonjol memerintahkan agar Tuanku Rao bersama pasukannya tetap di Tanah Batak untuk menghadang masuknya tentara Belanda. Akhirnya, Tuanku Rao tewas dalam pertempuran di Air Bangis pada 5 September 1821, sedangkan Tuanku Lelo tewas dipenggal kepalanya, sedangkan tubuhnya dicincang oleh Halimah Rangkuti, salah satu tawanan yang dijadikan selirnya.
Akhirnya, buku yang terbagi dalam tiga bagian besar dan berisi 34 lampiran ini jelas memiliki tempat khusus di dalam penulisan sejarah berdasarkan fakta dan representasi historiografi sebagai interpretasi yang tidak mutlak.
Penulis telah menunjukkan adanya kekuatan pada naskah tertulis dalam merekonstruksi visi sejarah Batak bagi perkembangan politik, sosial, dan budaya. Tak dapat disangkal, kontribusi utama buku ini terletak pada temuannya atas faktor lain di luar domain historiografi konvensional. Hal itu jelas akan berdampak luas dalam perdebatan mengenai historiografi Indonesia. (*)

Oleh: TASYRIQ HIFZHILLAH Peminat sejarah asal Probolinggo, bergiat di Lembaga Studi Pembebasan (LSP), Jogjakarta.
Sumber: Kiriman dari AHMAD ALI AFANDI (DI JAWA POS, MINGGU, 24 JUNI 2007)

Minggu, 23 September 2012

Biografi Singkat 1925-2006, Pramoedya Ananta Toer


Harga: Rp.60.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus. cet 1 tahun 2010
Tebal: 299 hal

Membincangkan Pramoedya Ananta Toer atau lebih dikenal Pram memang tak ada habis-habisnya, terbukti satu lagi buku biografi menambah khasanah dalam hal itu. Pram memang menarik untuk dibahas, dari sudut manapun terlebih jalan hidupnya yang berliku tak sewajarnya sebagai seorang tokoh perjuangan yang pada akhirnya lebih memainkan penanya dari pada terjun langsung dalam kancah politik nasional. Tapi jangan dikira, menjadi pengarang, menjadi sastrawan justru Pram telah membuat jalur sendiri dan menarik lawan politiknya untuk ikut dalam konsep permainan tinta hitamnya.
Buku Muhammad Rifai, dengan judul Pramoedya Ananta Toer ini memang tidak menghadirkan kebaruan baik data maupun fakta-fakta sejarah, dia hanya merangkumnya, meramunya serta menghimpun cerita-cerita yang berserakan disekitar Pram. Tapi ini patut diapresiasi khususnya bagi mereka yang hendak melakukan penelitian mengenai sosok pram maupun bagi Pramis sendiri. Ada beberapa yang menarik perhatian, selain sejumlah karya baik yang dapat terselamatkan ataupun karya-karya yang dihilangkan penguasa sampai cerita dinominasikannya Pram untuk hadiah Nobel Sastra, hal itu pertama, ada dua periode yang menjadi pertentangan besar kalangan sastrawan sebut saja Kelompok Manikebu dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang didalamnya ada Pram, yaitu ketika Lekra memenangkan pertaruangan politik dengan ujung dilarangnya kelompok Manikebu oleh Soekarno karena menghalangi cita-cita Revolusi, satu kemenangan Pram secara nyata dengan realisme sosialisnya; dan kelompok Manikebu juga kemudian bersitegang kembali dengan Pram ketika Pram akan dianugerani hadiah Magsaysay Award, tokoh sastra seperti Muchtar Lubis, H.B. Jassin, Asrul Sani, Rendra, Taufik Ismail, Ikranagara da 26 pengarang lainnya melakukan protes terhadap keputusan Yayasan dan mendesaknya membatalkan keputusan tersebut. Alasan mereka peran terkemuka yang selama bertahun-tahun dimainkan Pram sebagai pemuka lekra dalam penindasan terhadap seniman yang tidak sepaham dengan dia, mereka juga berkata “dia memimpin penindasan kreativitas penulis, dramawan, sineas, pelukis dan musikus non komunis, melecehkan kebebasan ekpresi, menyambut pelarangan buku dan piringan hitam dan mengelu-elukan pembakaran buku besar-besaran di Jakarta dan Surabaya. Disebut juga sebagai faktor pemberat bahwa ‘sebegitu jauh Pramoedya tidak pernah menyesalkan peran yang dilakukannya dahulu, tidak pernah mengakui seluruh sepak-terjangnya dimasa itu sebagai tindakan pemberangusan kemerdekaan kreatif yang dilakukan secara sistematik’, saya menyangkan pendapat Rifai dalam hal ini, dia seolah memberikan simpulan dari kejadian masa lalu yang masih abu-abu itu. Rifai berkata “Pram tetap keras kepala menolak bertobat dan meminta maaf atas kelakuannya sebagai pemuka Lekra. Ia tetap penuh amarah terhadap perlakuan yang ia derita selama 20 tahun lebih.” Pernyataan ini dapat disimpulkan oleh pembaca bahwa Pram benar melakukan apa seperti yang dituduhkan kelompok Manikebu yang minus Goenawan Mohamad, Arif Budiman dan Ajip Rosidi karena mereka justru berada pada kelompok yang kembali memberikan ruang bagi pencarian jalan tengah.
Saya tertarik dengan pernyataan Arif Budian yang bijaksana “kita menciptakan budaya baru dimana kita saling menghormati martabat orang lain, meskipun dia berlainan pendapat dengan kita. Saya terntu berharap bahwa karena sikap saya ini, Pram akana menjadi setuju dengan saya, bahwa bagi seorang intelektual, kebebasan manusia lebih bernilai  ketimbang kekuasaan” bahkan Goenawan Muhamad sendiri mempunyai alasan dan tidak menandatangani nota protes tersebut yaitu bahwa pram masih belum bebas, belum dipulihkan hak-hak sipilnya, masih ada pelarangan terhadap bukunya, pelarangan bepergian ke luar negeri, dan lain-lain. Jadi simpulan yang masih wilayah kontroversi itu malah akan membuat kontoversi lain lagi. Kedua, pelakuan penindasan, penyiksaan dan tahanan tanpa proses pengadilan yang diterima Pram baik pada masa Orde Soekarno maupun Orde Soeharto oleh Pram tidak dibalas dengan menjelek-jelekan Indonesia begitu bahasa penulis buku tersebut, dalam karya-karyanya Pram mengajak seluruh rakyat dan penguasa Indonesia untuk tidak melupakan para pahlawan yang memberikan sumbangan tenaga, pikiran, harta dan nyawanya untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa Indonesia. Dengan Pram-lah nama Indonesia menjadi terkenal di dunia Internasional lewat buku-buku yang humanisnya serta sarat dengan ajaran-ajaran kemanusiaan, keadilan dan perjuangan HAM-nya. Pertanyaannya, selain Pram pada kedua era tersebut siapa lagi Sastrawan yang dapat kita banggakan, mengharumkan nama bangsanya, kelompok Manikebu yang tetap menghirup udara bebas pun tak mampu melakukannya! Itu fakta sejarah yang harus dicatat dengan tinta emas, bahwa bangsa Indonesia bangga pernah memiliki seorang sastrawan yang mencapai tingkatan paripurna.  Dan bagi saya, bintang mahaputra itu harus segera disematkan pada dada kirinya walau beliau kini telah tiada, penghargaan terbaik dari bangsa untuk sastrawan yang jadi pahlawan. Jadi, gelar pahlawan itu tak hanya kita berikan pada mereka yang pernah mengangkat senjata bertempur walau jadi tukang bawa peluru tapi bagi sastrawan yang benar-benar telah berjasa memberikan pencerahan dan petunjuk jalan, jadi lentera bagi bangsanya, dalam hal ini saya setuju dengan yang dikemukakan penulis dalam hal nasionalisme Pram yaitu Pram tidak menyetujui penjajahan karena penjajahan telah merusak sendi kehidupan masyarakat, berbangsa termasuk sendi kehidupan keluarga dan menyengsarakan kehidupan manusia, konsepsi nasionalisme Pram dipengaruhi oleh pemikiran revolusi sosialis atau nasionalisme kiri, hal tersebut terlihat dari aspek humanisme, sosialisme, kebencian terhadap barat-asing nasionalisme dari spirit rakyat yang minoritas dan tertindas. Dan perkembangan konsepsi nasionalisme Pram di era Orba bagaimana nasionalisme keindonesiaan dikontektualkan dengan perlawanan atau penentangan adanya kekuasaan yang absolut, tiran, korup, formalis, dan administratif, dimana Pram berkeinginan kekuasaan yang memberikan kebebasan berekspresi dan berkreasi dan terutama memikirkan kemiskinan warganya; ketiga, berkaitan dengan pelarangan buku yang pernah diderita Pram selama perode kepengaranganya, yang dalam hal ini dimulai semenjak penyerbuan rumah yang sekaligus perpustakaannya pada medio Oktober 1965 dan beberapa buku yang dilarang pihak Kejaksaan, dalam buku ini masih ditulis adanya pelarangan buku tetapi semenjak diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 13 Oktober lalu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. Putusan ini merupakan tanggapan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materi terhadap UU No 4/PNPS/1963 yang diajukan oleh sejumlah penulis, penerbit, dan peminat bahan bacaan sejak akhir tahun lalu sampai awal tahun ini.
Menanggapi hal tersbeut, saya sependapat dengan Atmakusumah (Kompas, 18 Oktober 2010) bahwa larangan peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun. Termasuk pada 30 tahun masa pemerintahan otoriter Orde Baru dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir masa Orde Lama. Buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru walaupun dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meski seorang penjual eceran buku Pramoedya di Yogyakarta ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, ada keluarga pembaca yang memiliki tiga sampai empat eksemplar dari setiap karya Pramoedya. Ini karena semua anggota keluarga berminat membaca buku—yang terbit selama masa pelarangan—pada waktu bersamaan tanpa harus bergiliran. Kita lihat saja faktanya, buku-buku Pramoedya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa Orde Baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya, yang diterbitkan di Malaysia, memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya sastra Pramoedya. Jadi seperti dikatakan Dr. Yudi Latif yang tampil sebagai ahli dalam persidangan putusan tentang nasib buku, beliau mengatakan “[Hari ini kita menarik] garis batas antara masa lalu dan masa depan, antara otoritarianisme dan demokrasi, antara masyarakat beradab dan masyarakat biadab.” Dan kini saatnya buku-buku Pram menjadi bacaan wajib juga anak-anak negeri ini, tentunya dengan satu tujuan agar jika kelak jadi penguasa tak berlaku keliru bahkan salah seperti yang pernah dilakukan masa Orde Lama maupun Orde Baru dan terakhir Orde Reformasi. ©

*) Rama Prabu, Peneliti di Dewantara Institute, Dewan Pembaca Indonesia Buku
SUMBER:  http://ramaprabu.org/?page_id=154

Tempo Doeloe. Hasta Mitra 1982

TERJUAL BY JAKARTA
Kondisi: LUMAYAN
Pengarang: Pramoedya Ananta Toer
Penerbit: Hasta Mitra
Cetakan: 1982
Tebal: 347 hlm

Buku ini merupakan antologi sastra pra-Indonesia yang ditulis oleh empat penulis dengan delapan cerita : F. Wiggers (Dari Boedak Sampe Djadi Radja), Tio Ie Soei (Peter Elberveld), F.D.J Pangemanan (Tjerita Rossina dan Tjerita Si Tjonat), G. Francis (Tjerita Njai Dasima), dan H. Kommer (Tjerita Kong Hong Nio dan Tjerita Nji Paina).

Jumat, 14 September 2012

MENGGELINDING 1. Pramoedya Ananta Toer. Editor: Astuti Ananta Toer


TERJUAL BY RIAU
Kondisi: Lumayan bagus cet.1 tahun 2004
tebal: 548 hal

MENGGELINDING 1
Pramoedya Ananta Toer
Buku ini dihadirkan untuk menjadi kilas balik proses kepengarangan Pram yang panjang selama rentang 1947 - 1956. Terdiri dari esai, sajak, cerita serta tulisan lainnya lengkap dengan komedi dan tragedinya.
Pada awal karirnya sebagai penulis, Pram menghasilkan berbagai bentuk karya tulis: prosa, puisi, cerita pendek, dan esai. Karya-karya tersebut tersebar pada berbagai majalah dan media lainnya, dan baru belakangan in dirangkum oleh Astuti Ananta Toer menjadi buku yang diberi nama Menggelinding. Sebuah buku yang dengan apik menggambarkan perjalanan seorang penulis dalam mencari suara dan pemikirannya sendiri

Selasa, 11 September 2012

SEKADAR MENDAHULUI, GUS DUR 2011

TERJUAL
Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus. cet 1 mei 2011
tebal: 343

Kata-kata pengantar sekian puluh buku dari berbagai disiplin maupun gaya yang dikumpulkan dalam bunga-rampai ini sebenarnya bukan hanya mengantar para pembacanya, akan tetapi lebih dari itu: satu per satu merupakan kuliah berharga dan saran-saran yang berhikmah yang menyangkut topik bersangkutan.
--Y.B. Mangunwijaya

Tata nilai yang ditawarkan (dan terlebih dahulu dilakoninya) menjadikan Gus Dur sosok yang kontroversial sekaligus ditunggu masyarakat. Membaca buku ini menyadarkan kita untuk merelakan diri dalam terlibat dalam â€Å“keanehanâ€? Gus Dur yang pada akhirnya menjadikan bangsa ini lebih hidup karena kiprah dan pemikirannya.
--Gus Muhammad Alvan Almuhasiby,
Pengasuh Pesantren Nailul Muna
Muntilan, Magelang

Buku ini membantu mengingatkan pembaca akan tindakan Gus Dur dalam sejarah memajukan bangsanya, yaitu membangun tata dunia baru yang bebas kendali Barat. Memang belum tercapai karena langkah Gus Dur itu harus dibayar dengan dilengserkan dari kursi kepresidenan. Sang Revisionis Soekarno itu telah meninggalkan pekerjaan besar yang mesti kita teruskan.
--Khatibul Umam Wiranu,
Murid, Ketua PP GP Anshor

sumber artikel: http://gramediaonline.com/moreinfo.cfm?Product_ID=736131&CFID=89701263&CFTOKEN=96407158

TUHAN TIDAK PERLU DIBELA, GUS DUR 2010

TERJUAL
Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi: lumayan. CET v JANUARI 2010
tebal: 312 hal

Sarjana X yang baru menamatkan studi di luar negeri pulang ke tanah air. Delapan tahun ia tinggal di negara yang tak ada orang muslimnya sama sekali. Di sana juga tak satu pun media massa Islam mencapainya.
Jadi pantas  sekali  X terkejut ketika kembali ke tanah air. Di mana saja ia berada, selalu dilihatnya ekspresi kemarahan orang muslim. Dalam khotbah Jum'at yang didengarnya seminggu sekali. Dalam majalah Islam dan pidato para mubaligh dan da'i.
Terakhir ia mengikuti sebuah lokakarya. Di sana diikutinya dengan bingung uraian seorang ilmuan eksata tingkat top, yang menolak wawasan ilmiah yang diikuti mayoritas para ilmuwan seluruh dunia, dan mengajukan 'teori ilmu' pengetahuan Islam ' sebagai alternatif.
Bukan penampilan alternatif itu sendiri yang merisaukan sarjana yang baru pulang itu, melainkan kepahitan kepada wawasan ilmu pengetahuan moderen yang terasa di sana. Juga idealisasi wawasan Islam yang juga belum jelas benar apa batasannya bagi ilmuwan yang berbicara itu.
Semakin jauh X merambah 'rimba kemarahan' kaum muslimin itu semakin luas dilihatnya wilayah yang dipersengketakan antara wawasan ideal kaum muslimin dan tuntutan modernisasi. Dilihatnya wajah berang dimana-mana: di arsip proses pelarangan cerpen Ki Panji Kusmin Langit Makin Mendung. Dalam desah napas  putus asa dari seorang aktivis organisasi Islam ketika ia mendapati X tetap saja tidak mau tunduk kepada keharusan  menempatkan 'merk Islam' pada kedudukan tertinggi atas semua aspek kehidupan. X bahkan melihat wajah kemarahan itu dalam serangan yang tidak kunjung habis terhadap 'informasi salah' yang ditakuti  akan menghancurkan Islam. Termasuk semua jenis ekspresi diri, dari soal berpakaian hingga Tari Jaipongan.
Walaupun  gelar Doktor diperolehnya dalam salah satu cabang disiplin ilmu-ilmu sosial, X masih dihadapkan pada kepusingan memberikan penilaian atas keadaan itu. Ia mampu memahami sebab-sebab munculnya gejala 'merasa terancam selalu' yang demikian itu. Ia mampu menerangkannya dari mulut dari sudut pandangan ilmiah, namun ia tidak mampu menjawab bagaimana kaum muslimin sendiri dapat menyelesaikan sendiri 'keberangan' itu menyangkut aspek ajaran agama yang paling inti. Diluar kompetensinya, keluhnya dalam hati.
Karena itu diputuskannya untuk pulang kampung asal, menemui pamannya yang jadi kiai pesantren. Jagoan ilmu fiqh ini disegani karena pengakuan ulama lain atas ketepatan keputusan agama yang dikeluarkannya. Si 'paman kiai' juga merupakan perwujudan kesempurnaan perilaku beragama di mata orang banyak.
Apa jawab yang diperoleh X ketika ia mengajukan 'kemusykilan' yang dihadapinya itu? "Kau sendiri yang tidak tabah, Nak. Kau harus tahu, semua sikap yang kau anggap kemarahan itu adalah pelaksanaan tugas amar ma'ruf nahi munkar," ujar sang paman dengan kelembutan yang mematikan. "Seharusnya kaupun bersikap begitu pula, jangan lalu menyalahkan mereka".
Terdiam tidak dapat menjawab, X tetap tidak menemukan apa yang dicarinya. Orang muda ini lalu kembali ke ibu kota. Mencari seorang cendekiawan muslim kelas kakap, siapa tahu  dapat memberikan jawaban yang memuaskan hati. Dicari yang moderat, yang dianggap mampu menjembatani antara formalisme agama dan tantangan dunia modern kepada agama.
Ternyata lagi-lagi kecewa,"Sebenarnya kita harus bersyukur mereka masih mengemukakan gagasan alternatif parsial ideologis terhadap tatanan yang ada!" demikian jawaban yang diperolehnya. Ia tidak mampu mengerti mengapa kemarahan  itu masih lebih baik dari kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.
Orang muda yang satu ini tercenung tanpa mampu merumuskan apa yang seharusnya ia pikirkan. Haruskah pola berpikirnya diubah secara mendasar, mengikuti keberangan itu sendiri?
Akhirnya, ia diajak  seorang kawan seprofesi untuk menemui seorang guru tarekat. Dari situlah ia memperoleh kepuasan. Jawabannya ternyata sederhana saja. "Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.
Al-Hujwiri mengatakan: bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia "menyulitkan" kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya."
Kalau diikuti jalan pikiran kiai tarekat itu, informasi dan ekspresi diri yang dianggap merugikan Islam sebenarnya tidak perlu 'dilayani'. Cukup diimbangi dengan informasi dan ekspresi diri yang "positif konstruktif". Kalau  gawat cukup dengan jawaban yang mendudukan persoalan secara dewasa dan biasa-biasa saja. Tidak perlu dicari-cari.
Islam perlu dikembangkan, tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka iapun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak  dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan.

sumber: http://gusdurnet.tripod.com/klasik/82/820628ag.htm

(Sumber: TEMPO, 28 Juni 1982)

Muslim di Tengah Pergumulan. Gus Dur, cet pertama 1981

TERJUAL
Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi: Lumayan bagus cet pertama 1981
Tebal: 111 hal
Berat: 0,13 Kg

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam b uku Muslim di Tengah Pergumulan , bahwa Indonesia yang memiliki umat Islam terbesar di dunia, diramalkan akan menjadi pelopor kebangkitan Islam. Fenomena yang ada saat ini tampaknya sudah mulai mendukung pendapat Gus Dur tersebut. Fenomenanya dapat dilihat pada pendidikan Islam yang sudah mulai berkembang pesat dewasa ini. Dalam hal ini IAIN merupakan motor penggeraknya.

Islam Kosmopolitan : Nilai-Nilai Indonesia & Transformasi Kebudayaan


TERJUAL
Rp.100 rb (blum ongkir)
KONDISI: BAGUS .
Judul Buku: Islam Kosmopolitan, Nilai-Nilai Indonesia Transformasi dan Kebudayaan
Penulis: KH Abdurrahman Wahid
Editor: Agus Maftuh Abegebriel
Penerbit: The Wahid Institute
Cetakan: I, 2007
Tebal: xxxviii+397 halaman
Peresensi: Noviana Herliyanti*

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bukanlah Gus Dur bila dalam berbicara tidak kontroversial, nyeleneh, nyentrik dan menyelipkan kritik. Maka, tak heran bila di sana-sini, dalam tulisannya, kita temukan saja kritik-kritiknya yang tajam, mulai mengkritik pemerintah, politisi hingga kelompoknya sendiri. Namun, di balik sikap kontroversinya, kenyelenehan dan kenyentrikannya selalu menjadi angin segar terhadap perkembagan Islam di Indonesia.

Dan, sampai saat ini, Gus Dur telah dikenal banyak kalangan, ia terkadang tampil sebagai sosok pemikir, penulis, sastrawan, budayawan bahkan menjadi seorang politisi Islam Indonesia. KH Solahuddin Wahid (Gus Solah), adik kandung Gus Dur, dalam acara bedah buku ini yang diselenggarakan Komunitas Tabayun di Jawa Pos 29/11/2007 kemarin, menyebutkan, Gus Dur termasuk saudara yang paling cerdas, pandai, dan berani berbicara.

Sebagai salah satu tokoh pejuang demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan antikekerasan, Gus Dur mampu memberikan warna tersendiri terhadap pandangan-pandangan ke-Islam-an, budaya, sosial, ekonomi dan politik, khususnya di Indonesia. Tidak hanya itu, ia juga telah mendapat pengakuan dari dunia bahwa komitmen dan perjuangan Gus Dur menegakkan demokrasi, HAM, membela kaum minoritas dan toleransi, sudah diakui luas (Baca: Umaruddin Masdar hal. 159).

Bahkan, dalam kelompoknya sendiri, tokoh NU seperti KH M. Cholil Bisri dan KH Muchith Muzadi mengakui, Gus Dur disebut sebagai azimat atau jimatnya NU. Karena Gus Dur hadir ke tengah-tengah NU di saat ormas itu dalam kondisi lemah. Sehingga dengan kehadiran Gus Dur di NU, mampu menyelematkan NU menjadi ormas keagamaan yang berpengaruh dan menjadikan organisasi terbesar di Indonesia.

Jadi, hal yang digagas Gus Dur selama ini, tidak lepas dari lima konsep dan nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang dianut NU, yakni tawasuth, ta'adul, tasamuh, tawazun, dan amar ma'ruf nahi mungkar. Melalui konsep inilah, Gus Dur mampu mengimplementasikan apa yang terkandung dalam nilai-nilai Islam itu sendiri. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya melalui teks saja, tapi dengan "tafsirul kitab bil kitub" (Menafsir kitab dengan buku yang lain). Karena, kalau hanya berhenti di teks, maka kita bisa jadi penyembah huruf-huruf. Pemikiran ke-Islam-an Gus Dur, adalah Islam yang membawa kedamaian, kesejukan, ketenteraman, dan Islam yang bisa berdialog dengan lingkungannya.

Membaca pemikiran dan gagasan Gus Dur, tidak bisa didekati dengan satu sudut pandang saja. Karena, ia ibarat membaca sebuah teks yang multitafsir dan ketika membacanya sulit dipahami. Inilah salah satu sepak terjang Gus Dur, ketika melihat fenomena sosial yang terjadi di Indonesia.

Buku berjudul "Islam Kosmopolitan, Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan ini, merupakan pemikiran Gus Dur dalam merespon isu-isu yang dianggap aktual sejak 1980 hingga 1990-an. Selain itu, buku ini berisi kumpulan tulisan-tulisan Gus Dur yang telah berserakan di media lokal maupun nasional.

Ada beberapa pemikiran dan gagasan Gus Dur yang menarik dalam buku ini, yakni mengenai "Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam". Dalam tulisannya, Gus Dur menggarisbawahi tentang ajaran moralitas Islam yang secara teoritik bertumpu pada adanya lima buah jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik pada perorangan maupun kelompok.

Pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifdzu an-nafs). Karena, menurut Gus Dur, Islam tidak mengajarkan kekerasan dan hal-hal yang sifatnya anarkis. Kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din). Ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl). Keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal). Dan, kelima, keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-milk). (hal. xxi-xxii).

Menurut Gus Dur, jika dari lima jaminan dasar di atas itu tampil sebagai pandangan hidup, maka tidak mustahil negara akan bisa dikelola oleh pemerintah yang berdasarkan hukum, adanya persamaan derajat dan sikap tegang rasa terhadap perbedaan pandangan. Di samping itu, secara fungsional, misi Islam terhadap perbaikan sosial akan secara efektif bisa dikendalikan yang pada akhirnya terciptalah budaya toleransi, keterbukaan sikap, peduli terhadap kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan umat Islam sendiri.

Dengan demikian, Islam seperti itulah yang selama ini diperjuangkan Gus Dur. Islam yang ada di tangan Gus Dur, adalah Islam yang bisa tampil sejuk, pluralis, serta demokratis. Agama Islam menjadi agama yang melindungi umat manusia, bukan agama yang malah menebar ketakutan kepada umat agama lain.

Terlepas dari kekurangan buku yang merupakan kumpulan tulisan dan kerap terjadi pengulangan, sehingga dikatakan kurang sistematis, buku ini tetaplah layak dan menarik untuk dijadikan bahan bacaan, referensi, dan penyelamatan "Islam Kita" dari pemaksaan pemahaman yang selama ini sering menyerang kita semua. Bagi Gus Dur, memahami Islam tidak hanya dipahami secara tekstual aja, melainkan dengan dengan konteks yang saat ini terjadi.

Peresensi adalah penikmat buku, mahasiswa Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Kini aktif di lembaga Komunitas Baca (Kombas) Surabaya.

sumber artikel: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,10923-lang,id-c,buku-t,Gus+Dur+dan+Islam+Kosmopolitan-.phpx

Islamku, Islam Anda dan Islam Kita. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)


 Terjual
Harga: Rp.100.000 (blum ongkir)
KONDISI: BAGUS. CET 1 AGUSTUS 2006
TEBAL: 412 HAL
Oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa kejayaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturalization). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”.

Ketidaksetujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misalnya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur menafsirkan kata tersebut dengan “perdamaian”. Menurut Gus Dur, kon¬sekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada upaya-upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non-Muslim menjadi warga negara kelas dua.

Bagi Gus Dur, untuk menjadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima prinsip-prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar ketika menghadapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.

SUMBER ARTIKEL: http://membumikantoleransi.wordpress.com/2012/05/04/buku-islamku-islam-anda-islam-kita/

Minggu, 09 September 2012

Dari Pojok Sejarah, Emha Ainun Nadjib. cetakan ketiga 1992


TERJUALKondisi: LUMAYAN . cetakan ketiga 1992
tebal: 284 halaman
Berat: 0,43 Kg
Buku ini, mencerminkan pergolakan hidup Emha tatkala dia sedang menghadapi berbagai realitas yang selama ini dihadapi. Cukup panjang hidup dalam dunia pesantren, pindah ke Jogja bergaul dengan dunia sastra dan kesenian pada umumnya lalu ada kesempatan ke Eropa bergaul dengan dunia pemikiran s
osial, ketemu dengan berbagai aktifis dari yang beraliran kiri sampai yang ekstrim kiri, dari yang aliran kanan sampai ekstrim kanan dan sebagainya.

Nampaknya selama Emha di Eropa menuntut keras untuk menciptakan ruang pergumulan sendiri, sehingga tercipta proses belajar, proses penalaran yang hasilnya tidak sempat membikin Emha gegar otak (gegar otak sosial, budaya maupun intelektual). Bahkan Emha semakin memperkokoh kebanggaannya sebagai manusia yang dilahirkan dari Desa Menturo Jombang. Dia mengatakan “sangat susah menemukan bahkan satu kata yang tepat di tengah kancah sejarah yang penuh dengan paradoks, ironi, dan maju kena mundur kena. Di sebuah Institut Ilmu-ilmu Sosial di Belanda, di mana pegawai negri dan para ORNOP-ORNOP dunia ketiga pada berdatangan untuk mendapatkan master-master, di mana kemiskinan beratus juta manusia tiap saat dibicarakan sampai melimpah ruah, di mana penderitaan yang menggergaji berbagai bangsa dan mengepung hari-hari sejarah dipercakapkan sambil minum WINE, di mana film-film tentang darah dan kelaparan hampir tiap hari diputar, di mana kaum melarat hina papa sungguh-sungguh merupakan objek proyek-proyek basah yang tak henti-hentinya memberikan ilham—terdapatlah sebuah gagasan yang terpojok, karena naif: Pernahkah diteliti berapa sudah sarjana, master dan doctor yang dihasilkan oleh tema kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan keprihatinan manusia? Berapa persen usaha-usaha atau upaya-upaya melawan itu semua? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan dsb berkat pengaruh makin banyaknya para piawai yang “makanan utamanya” masalah kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dsb itu? ………………”

Buku Dari Pojok Sejarah, merupakan catatan penting pergumulan Emha dalam meletakkan segala pemikiran sesuai pada tempatnya, Emha tidak membiarkan hal-hal yang nampaknya menjadi informasi baru menjadi dewa, dia tetap menemukan bahwa sesuatu yang ditemui, perbedaan-perbedaan selalu dicari akar asal muasalnya.

Buku ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada pertengahan 1985-an dan sekarang diterbitkan oleh Progress dikarenakan kami memandang bahwa generasi muda sekarang, yang telah berjarak hampir seperempat abad dengan tatkala buku ini kali pertama diterbitkan, sangat memerlukan buku ini sebagai bagian dari upaya untuk menghindari keterputusan sejarah pemikiran antargenerasi.

Faktanya memang banyak sekali jamaah atau anak muda di lingkar kegiatan Emha yang kerap menanyakan kapan buku ini bisa hadir di tengah-tengah mereka. Karena itu, kami sepakat untuk menerbitkan buku ini secara terbatas untuk keperluan keilmuan dan komunikasi intelektual di antara jamaah Emha. Apalagi, di tengah makin minimnya karya-karya “liar” tetapi cerdas dan sarat kedalaman perspektif serta ke-liyan-an dalam memandang dan memaknai proses-proses sejarah yang mengitari manusia Indonesia, buku ini terasa sangat relevan dan urgen untuk dihadirkan kembali.

Selamat Membaca.

Yogyakarta, 11 April 2008

TOTO RAHARDJO

sumber artikel: http://tunggullawe.multiply.com/journal/item/27/DARI_POJOK_SEJARAH_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Dari Pojok Sejarah, Emha Ainun Nadjib. cetakan pertama november 1985


 SOLD
Kondisi: LUMAYAN , POJOK KIRI ATAS PUNGGUNG BUKU AGAK SOBEK SEDIKIT. cetakan pertama november 1985
tebal: 284 halaman
Berat: 0,44 Kg

Buku ini, mencerminkan pergolakan hidup Emha tatkala dia sedang menghadapi berbagai realitas yang selama ini dihadapi. Cukup panjang hidup dalam dunia pesantren, pindah ke Jogja bergaul dengan dunia sastra dan kesenian pada umumnya lalu
ada kesempatan ke Eropa bergaul dengan dunia pemikiran sosial, ketemu dengan berbagai aktifis dari yang beraliran kiri sampai yang ekstrim kiri, dari yang aliran kanan sampai ekstrim kanan dan sebagainya.

Nampaknya selama Emha di Eropa menuntut keras untuk menciptakan ruang pergumulan sendiri, sehingga tercipta proses belajar, proses penalaran yang hasilnya tidak sempat membikin Emha gegar otak (gegar otak sosial, budaya maupun intelektual). Bahkan Emha semakin memperkokoh kebanggaannya sebagai manusia yang dilahirkan dari Desa Menturo Jombang. Dia mengatakan “sangat susah menemukan bahkan satu kata yang tepat di tengah kancah sejarah yang penuh dengan paradoks, ironi, dan maju kena mundur kena. Di sebuah Institut Ilmu-ilmu Sosial di Belanda, di mana pegawai negri dan para ORNOP-ORNOP dunia ketiga pada berdatangan untuk mendapatkan master-master, di mana kemiskinan beratus juta manusia tiap saat dibicarakan sampai melimpah ruah, di mana penderitaan yang menggergaji berbagai bangsa dan mengepung hari-hari sejarah dipercakapkan sambil minum WINE, di mana film-film tentang darah dan kelaparan hampir tiap hari diputar, di mana kaum melarat hina papa sungguh-sungguh merupakan objek proyek-proyek basah yang tak henti-hentinya memberikan ilham—terdapatlah sebuah gagasan yang terpojok, karena naif: Pernahkah diteliti berapa sudah sarjana, master dan doctor yang dihasilkan oleh tema kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dan keprihatinan manusia? Berapa persen usaha-usaha atau upaya-upaya melawan itu semua? Berapakah derajat penurunan atau kenaikan kemiskinan dsb berkat pengaruh makin banyaknya para piawai yang “makanan utamanya” masalah kemiskinan, ketidakadilan, penindasan dsb itu? ………………”

Buku Dari Pojok Sejarah, merupakan catatan penting pergumulan Emha dalam meletakkan segala pemikiran sesuai pada tempatnya, Emha tidak membiarkan hal-hal yang nampaknya menjadi informasi baru menjadi dewa, dia tetap menemukan bahwa sesuatu yang ditemui, perbedaan-perbedaan selalu dicari akar asal muasalnya.

Buku ini sebelumnya pernah diterbitkan oleh Penerbit Mizan Bandung pada pertengahan 1985-an dan sekarang diterbitkan oleh Progress dikarenakan kami memandang bahwa generasi muda sekarang, yang telah berjarak hampir seperempat abad dengan tatkala buku ini kali pertama diterbitkan, sangat memerlukan buku ini sebagai bagian dari upaya untuk menghindari keterputusan sejarah pemikiran antargenerasi.

Faktanya memang banyak sekali jamaah atau anak muda di lingkar kegiatan Emha yang kerap menanyakan kapan buku ini bisa hadir di tengah-tengah mereka. Karena itu, kami sepakat untuk menerbitkan buku ini secara terbatas untuk keperluan keilmuan dan komunikasi intelektual di antara jamaah Emha. Apalagi, di tengah makin minimnya karya-karya “liar” tetapi cerdas dan sarat kedalaman perspektif serta ke-liyan-an dalam memandang dan memaknai proses-proses sejarah yang mengitari manusia Indonesia, buku ini terasa sangat relevan dan urgen untuk dihadirkan kembali.

Selamat Membaca.

Yogyakarta, 11 April 2008

TOTO RAHARDJO

sumber artikel: http://tunggullawe.multiply.com/journal/item/27/DARI_POJOK_SEJARAH_?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem

Doa Mohon Kutukan, Emha Ainun Nadjib


Harga: Rp.35.000 (blum ongkir)
Kondisi: BAGUS.CETAKAN PERTAMA, FEBRUARI 1995.
Tebal: 81 hal
Berat: 0,9 Kg

Doa Mohon Kutukan
Oleh: EMHA AINUN NADJIB
Sumber: Kumpulan Puisi "Doa Mohon Kutukan' - 1994

dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan
jika itu merupakan salah satu syarat agar pemimpin-pemimpinku
mulai berpikir untuk mencari kemuliaan hidup.
mencari derajat tinggi dihadapanMu sambil merasa cukup atas kekuasaan
dan kekayaan yang telah ditumpuknya

dengan sangat kumohon kutukanMu, ya Tuhan
untuk membersihkan kecurangan dari kiri kananku
untuk mengahalau dengki ari bumi
meNANAM POHON-POHONmY YANG BARU

AMBIL HIDUPKU SEKARANG JUGA
JIKA ITU MEMANG DIPERLUKAN UNTUK MENGNGKOSI TUMBUHNYA KETULUSAN HATI
kejernihan jiwa dan keadilan pikiran hamba-hambaMu di dunia
hardiklah aku di muka bumi, perhinakan aku di atas tanah panas ini
jadikan duka deritaku ini makanan bagi kegembiraan seluruh sahabat-sahabatku dalam kehidupan
asalkan sesudah kenyang, mereka menjadi lebih dekat denganMU

jika untuk mensirnakan segumpal rasa dengki di ahti satu orang hambaMu
diperlukan tumbal sebatang jari-jari tangaku, maka potonglah

potonglah sepeuluh batangku, kemudian tumbuhkan sepeuluh berikutnya seratus berikutnya seribu berikutnya, sehingga lubuk jiwa berribu-ribu hambaMu
menjadi terang benderang karena keikhlasan.

jika untuk menyembuhkan pikiran hambaMu dari kesombongan
dibutuhkan kekalahan pada hambaMu yang lain
maka kalahkanlah aku, asalkan sesudah kemenangan itu ia menundukan wajahnya dihadapanMu

jika untuk mengusir muatan kedunguan dibalik kepandaian hamaMu
diperlukan kehancuran pada hamaMu yang lain
maka hancurkan dan permalukan aku

asalkan kemudian Engkau tanamkan kesadaran fakih dihatinya

jika syarat untuk mendapatakan kebahagiaan
bagi manusia adalah kesengsaraan manusia lainnya
maka sengasarakanlah aku

jika jalan mizanMu di langit dan di bumi memerlukan kekalahan dan kerendahanku
maka unggulkanlah mereka, tinggikan derajata mereke di atasku

jika syarat untuk memperoleh pencahayaan dariMu
adalah penyadsaran akan kegelapan, maka gelapkanlah aku.

demi pesta cahaya di ubun-ubun para hambaMu
demi Engakau wahai Tuhan yang aku ada kecuali keran kemauanMu

aku berikrar dengan sungguh-sungguh
bahwa bukan kejayaan dan kemenangan yang aku dambakan
bukan keunggulan dan kehebatan yang kulaparkan
serta bukan kebahagiaan dan kekayaan yang aku hauskan

demi Engkau wahai Tuhan tambatan hatiku
aku tidak menempuh dunia, aku tidak memburu akhirat
hidupku hanalah memandangMu
sampai kembali hakikat tiadaku.

Terus Mencoba Budaya Tanding, Emha Ainun Nadjib

TERJUAL BY BOJONEGOROKondisi: Bagus Cet. pertama Januari 1995
Tebal: 290 hal

Seperti yang dikatakan Emha Ainun Nadjib dalam bukunya “ Terus Mencoba Budaya Tanding “ bahwa “ budaya tanding tak bisa tak ada, dalm dimensi yang manapun dari hidup ini. Konflik diperlukan untuk mementaskan sejarah dari kehidupan. Bahkan untuk supaya alam ini barnama alam. Dialektika abadi“

Raden Saleh, Anak Belanda, Mooi Indie & Nasionalisme-


Harga: Rp.75.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus 2009
Tebal: 194 hal

 Biografi Raden Saleh, sang maestro seni lukis Indonesia yang juga bangsawan dan ilmuwan. Raden Saleh telah mewariskan sesuatu yang luar biasa mengejutkan pengaruhnya dalam sejarah pemikiran kebangsaan Indonesia dan mungkin jauh di luar bayangannya sendiri. Harsja W. Bachtiar, Peter B.R. Carey, Onghokham dan JJ Rizal adalah sejarawan yang mencoba menguak warisan itu seraya menilai tentang siapa dia dan kedudukannya dalam sejarah.

KOMPAS.com - Masyarakat mengenal Raden Saleh Sjarif Bustaman sebagai seniman lukis. Padahal, dia juga ilmuwan yang berperan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan di negeri ini.
Baru ada dua ruang yang diperbaiki untuk kantor.
-- Rosiana
Untuk mengungkap sosok Raden Saleh, Komunitas Bambu menggelar wisata sejarah ”Jejak Langkah Raden Saleh”, Minggu (31/10/2010). Perjalanan sesuai dengan merunut fakta dalam buku Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme karya Harsja W Bachtiar, Peter BR Carey, dan Onghokham, terbitan Komunitas Bambu, 2009.
Sekitar 30 peserta mengunjungi beberapa karya dan situs peninggalan Raden Saleh di Jakarta dan Bogor yang tercantum dalam buku itu. Mulai dari vila mewah yang dibangun Raden Saleh yang kini menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, berlanjut ke Istana Negara, Istana Bogor, dan makam Raden Saleh.
Vila mewah itu kini menjadi aula dan kantor direksi RS PGI Cikini. Detail dan ornamen bangunan bergaya arsitektur Gotik Moor itu tetap dipertahankan.
Salah satu ruangan di gedung berlantai dua itu didedikasikan kepada Raden Saleh untuk menyimpan beberapa perabot asli milik Raden Saleh seperti meja, kursi, dan lemari.
Namun, kondisi ruang-ruang di lantai dua memprihatinkan. Tujuh ruang, termasuk kamar tidur Raden Saleh di situ, rusak dengan lantai kayu berlubang.
”Baru ada dua ruang yang diperbaiki untuk kantor,” kata Kepala Bidang Humas RS PGI Cikini Rosiana. Untuk ruang lainnya, pihak rumah sakit masih menunggu bantuan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta karena bangunan ini termasuk benda cagar budaya.
Di Istana Negara tujuannya hanya melihat lukisan adikarya Raden Saleh ”Penangkapan Diponegoro” yang dibuat 1857.
Sebelum melihat lukisan itu, peserta melewati Ruang Raden Saleh, yang dipakai Ibu Ani Susilo Yudhoyono menerima tamu istimewa. Peserta kaget mendengar penjelasan pemandu, di ruang itu Ibu Ani Yudhoyono memindahkan beberapa lukisan Raden Saleh ke Istana Bogor dan menggantinya dengan lukisan pemandangan.
”Lukisan seorang seniman besar kenapa dipindahkan. Sayang sekali,” kata Direktur Komunitas Bambu JJ Rizal.
Di Istana Bogor, peserta tidak dapat melihat lukisan yang dipindahkan itu. Rupanya, lukisan itu belum dipajang, masih tersimpan di gudang.
Kekecewaan peserta terobati karena dapat menikmati lukisan mengagumkan Raden Saleh lainnya, ”Perkelahian dengan Singa” yang dibuat tahun 1870. Peserta mengagumi kepiawaian Raden Saleh melukiskan ekspresi dalam karyanya.
Perjalanan berakhir di Makam Raden Saleh. Peserta pun ternganga saat mengetahui makam tokoh besar itu ada di Gang Makam Raden Saleh, di Jalan Pahlawan, Kota Bogor.
Kegiatan ilmiah
Menurut JJ Rizal, para ahli sejarah menemukan Raden Saleh terlibat dalam banyak kegiatan ilmiah. Misalnya, Desember 1865, Raden Saleh mencari fosil di Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah.
Di bidang pertanian, Raden Saleh aktif dalam kegiatan ilmiah bersama pakar terkemuka dari Belanda. Dia juga bergabung dengan Leopoldinisch-Carolinische Deutsche Akademie der Naturforscher, yakni lembaga yang memiliki minat sama dengan kebun botani Reinwardt di Bogor.
Mantan pengajar sejarah budaya di Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung dan Institut Kesenian Jakarta, Rahmat Rukhiyat, mengatakan, Raden Saleh berjasa bagi warga Sunda. Salah satunya, menemukan Prasasti Sultan Agung di kandang sapi di Karawang Selatan.
Rizal mengatakan, peran besar Raden Saleh itu kini terlupakan. ”Katalog karya Raden Saleh pun sampai saat ini belum ada,” katanya. (Herpin Dewanto)

Sumber :
Kompas Cetak

Editor :
I Made Asdhiana

Eksistensialisme dan Humanisme. Jean paul Sartre

 
Harga: Rp.45.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
Eksistensialisme dan Humanisme. Jean paul Sartre.  
Penerbit Pustaka Pelajar. Cet 1 tahun 200
Tebal: 148 hlm

Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernahsampai kepada suatu pengertian yang pasti tentang apa itu kebebasan, karena terminologikebebasan memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, apabila kebebasan difokuskan pada manusia, maka kebebasan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkandari manusia, karena melalui kebebasan manusia berusaha mengaktualisasikan ataumerealisir dirinya sebagai individu yang bereksistensi. Dengan kata lain, kebebasan tidak hanya mencakup salah satu aspek dari manusia untuk diaktualisasikan atau direalisir tetapi seluruh hidup manusia itu adalah kebebasan atau kebebasan mencakup seluruheksistensi manusia.Tilikan kebebasan dicetuskan oleh Jean Paul Sartre dalam bukunya yang berjuduleksistensialisme humanisme. Sartre menggagas bahwa manusia adalah kebebasan.Konsep kebebasan yang mengalir dari Sartre tidak dapat dipahami lepas dari gagasannyamengenai cara berada manusia di dunia yang dia lukiskan secara radikal dalam dua bentuk, antara lain
“etre-pour-soi (being-for-itself)
dan
etre-en-soi (being-in-itself).
Bagaimana Sartre menggagas “kebebasan” dengan bertolak dari cara berada manusiaakan kami uraikan berikut ini.
II.
Latar Belakang Pemikiran Jean Paul Sartre

Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dari pandangannya tentang manusia.Menurut Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi, artinya bahwa manusia itu bukanlah sesuatu yang konseptual melainkan sesuatu yang aktual.Dengan demikian, eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Olehkarena eksistensi bertolak dari manusia sebagai subjek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-objek yang lain, karena eksistensi manusia tidak dihasilkan darisesuatu yang ditentukan melainkan suatu penyangkalan terhadap objek tertentu.Pemahaman ini bertolak dari apa yang dicetuskan oleh Sartre bahwa eksistensimendahului esensi. Artinya, manusia itu berada dulu baru ada. Berada dulu baru adahendak mengatakan suatu pengertian bahwa manusia pada awalnya adalah kosong.Tetapi, oleh karena pilihan bebasnya manusia menjadi ada. Dengan kata lain, kebebasanmanusia untuk memilih menjadikan kekosongannya bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya sebagai satu-satunya individu yang bebas. Dengandemikian dapat dikatakan bahwa manusia itu “ada” sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan untuk dirinya sendiri adalah lahir darikebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang menyadari sesuatu yang berarti bagidirinya.Eksistensialisme humanisme Sartre lahir sebagai gugatan terhadap aliran filsafatyang menganut paham idealisme dan materialisme. Filsafat idealisme yang berpuncak  pada Hegel mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar “roh” yang sedang berkembang dan bergerak menuju kesempurnaan diri. Manusia dalam pandangan Hegel bukanlah individu yang memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanyalah suatu proses penyempurnaan diri dari Roh untuk menjadi absolut. Oleh karena itu, menurutHegel, manusia tidak mencerminkan suatu kehidupan yang konkrit karena makna dankedudukannya terserap dalam kesadaran Roh Absolut. Demikian pula kaum materialis berpendapat bahwa manusia tidak lebih dari sekadar materi sebagai berada di ataskesadaran manusia.Berangkat dari gagasan di atas, Sartre berpendapat bahwa para filsuf idealis danmeterialis telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang bereksistensi ke dalam proses dialektik kesadaran roh dan materi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat
direduksir ke dalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksistensi.
sumber:  http://www.scribd.com/doc/23717452/KEBEBASAN-MENURUT-JEAN-PAUL-SARTRE

Related Post

ShareThis