.

.

Kamis, 10 Januari 2013

Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur)


TERJUAL
Kondisi: bagus 2002
Tebal: 406 hal

PROF. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasan tentang pluralisme menjadikan Cak Nur intelektual muslim garda depan. Terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di ambang kemelelehan dan disintegrasi bangsa, entah akibat keragaman etnisitas, subkultur, identitas agama, dan disorientasi politik. Nur Khalik Ridwan, melalui buku Pluralisme Borjuis (Kritik atas Nalar Pluralisme Cak Nur) ini, melakukan kajian kritis atas gagasan pluralisme Cak Nur.

Peneliti jebolan IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, ini menganggap pemikiran Cak Nur, kendati memiliki tingkat liberalisasi tinggi, serta didukung penguasaan khazanah Islam klasik dan modern, telah menjadi semacam rezim kebenaran atau hegemoni intelektual bercorak logosentris. Pribadinya cenderung dikultuskan, dan gagasannya "disakralkan". Nah, pluralisme Cak Nur inilah yang dikaji Khalik dengan perspektif lain.

Cak Nur lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 1939. Ayahnya, KH Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan khalam Ibnu Taimiya.

Berdasarkan hasil lacakan atas genealogi keluarga dan komunitas sosialnya, Khalik menyebut Cak Nur berasal dari lingkaran Islam borjuis. Tipologi Islam borjuis digunakan Khalik untuk mengidentifikasi kelas mengengah atas muslim perkotaan yang secara ekonomi mapan, ideologinya condong ke Masyumi-HMI, dan cenderung mengusung simbol-simbol Islam formal. Menurut Khalik, pluralisme Cak Nur, yang bertumpu pada gagasan Islam agama universal, tetap berputar di orbit komunal partikular karena masih melihat kebenaran agama lain dengan perspektif agama sendiri.

Dalam konteks ahlulkitab, Cak Nur hanya terpaku pada agama formal dan mengesampingkan "paham-paham keagamaan" masyarakat adat yang terkesan primitif namun kaya kearifan. Gagasan Cak Nur tentang sekularisasi (menghindarkan umat dari kecenderungan mengukhrawikan persoalan duniawi tanpa kecuali gagasan negara Islam) dan modernisasi (menganjurkan umat berpikir rasional dengan mendukung pembangunan) dinilai Khalik sebagai strategi buat mengelabui rezim otoritarian Orde Baru. Agar komunitas Islam borjuis tidak terus-menerus larut dalam trauma kepahitan politik dibubarkannya Masyumi.

Ide Islam yes, partai Islam no, yang diintroduksi Cak Nur saat Soeharto mengebiri partai berbasis agama dan ideologi pada awal 1970-an, dinilai Khalik sebagai strategi neo-Masyumi untuk bersimbiosis dengan kepentingan rezim, agar mereka tidak lagi dituduh mengusung formalisme Islam ke arena politik. Dan agar Soeharto memandang pewaris Masyumi menyantuni Islam substantif. Tak mengheran bila mereka banyak yang jadi petinggi Golkar dan terserap ke birokrasi pemerintahan.

Pluralisme Cak Nur, di mata Khalik, tidak memiliki sensitivitas pembebasan bagi kaum buruh, petani miskin di pedesaan, penghuni kampung kumuh, gelandangan, dan "sampah masyarakat" perkotaan lainnya yang rentan ketidakadilan sekaligus pengambinghitaman. Konsepsi Cak Nur tentang Islam sebagai agama keadilan, agama kemanusiaan, dan agama peradaban hanya bisa diakses kaum profesional dan eksekutif muda bergelimang duit, namun kerontang spiritual, melalui berbagai kursus filsafat keagamaan yang diselenggarakan Paramadina di hotel-hotel berbintang. Tak mengherankan pula bila Khalik menyebut kinerja Cak Nur sebagai pluralisme borjuis.

Sayang, kerangka sosiologi pengetahuan John B. Thompson, dalam Studies in the Theory of Ideology (1985), kurang didayagunakan Khalik untuk mempertajam hasil analisis. Kendati disajikan dengan langgam subjektivitas yang meledak-ledak, buku ini tergolong karya teologi pembebasan tahap keempat. Refleksinya sudah menggunakan metode analisis nonmarxis, berangkat bukan dari dogmatisme agama, melainkan keprihatinan iman wong kesrakat, dan menyantuni heterogenitas agama dalam perjumpaannya dengan Islam.

[J. Sumardianta, Pustakawan, tinggal di Yogyakarta]
[Buku, GATRA, Nomor 36 Beredar Senin 22 Juli 2002]

Bung Karno - Penjambung Lidah Rakjat Indonesia


Buku "Bung Karno - Penjambung Lidah Rakjat Indonesia" karya Cindy Adams ,
. Merupakan otobiografi terjemahan dari buku "Sukarno, an auto biography as told to Cindy Adams" edisi amerika serikat yang diterbitkan oleh The Bobbs Merrill Company Inc.,New York tahun 1965.

Buku langka yang layak untuk dikoleksi
Penerbit: PT gunung Agung  DJAKARTA MCMLXVI
Edisi : Soft Cover
Halaman: 470
Bahasa: Indonesia Ejaan Lama
Alih Bahasa: Major  ABDUL BAR SALIM
Cetakan : Pertama th 1966
TERJUAL
HARGA: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi:  bagus MULUS, eks kolpri

TJARA jang paling mudah untuk melukiskan tentang diri Sukarno ialah dengan menamakannja seorang jang maha-pentjinta. Ia mentjintai negerinja, ia mentjintai rakjatnja, ia mentjintai wanita, ia mentjintai seni dan melebihi daripada segala-galanya ia tjinta kepada dirinya sendiri.
Sukarno adalah seorang manusia perasaan. Seorang pengagum. Ia menarik napas pandjang apabila menjaksikan pemandangan jang indah. Djiwanja bergetar memandangi matahari terbenam di Indonesia. Ia menangis dikala menjanjikan lagu spirituil orang negro.
Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banjak memiliki darah seorang seniman."Akan tetapi aku bersjukur kepada Jang Maha Pentjipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa mendjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 djuta rakjat menjebutku ? Kalau tidak demikian, bagairnana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak-azasinja, setelah tiga setengah abad dibawan pendjadjahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi ditahun 1945 dan mentjiptakan suatu Negara Indonesia jang bersatu, jang terdiri dari pulau Djawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda ?
Irama suatu-revolusi adalah mendjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki djiwa seorang arsitek. Dan didalam djiwa arsitek terdapatlah unsur-unsur perasaan dan djiwa seni. Kepandaian memimpin suatu revolusi hanja dapat ditjapai dengan rnentjari ilham dalam segala sesuatu jang dilihat. Dapatkah orang memperoleh ilham dalam sesuatu, bilamana ia bukan seorang manusia-perasaan dan bukan manusia-seni barang sedikit ?
Namun tidak setiap arang setudju dengan gambaran Sukarno tentang diri Sukarno. Tidak semua orang menjadari, bahwa djalan untuk mendekatiku adalah semata-mata melalui hati jang ichlas. Tidak semua orang menjadari, bahwa aku ini tak ubahnja seperti anak ketjil. Berilah aku sebuah pisang dengan sedikit simpati jang keluar dari lubuk-hatimu, tentu aku akan mentjintaimu untuk selama-lamanja.

Rabu, 02 Januari 2013

Perjuangan total Brigade IV pada perang kemerdekaan di Karesidenan Malang, oleh Nur Hadi dan Sutopo


Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus 1997
tebal: 406 hal
Perjuangan total Brigade IV pada perang kemerdekaan di Karesidenan Malang / oleh Nur Hadi dan Sutopo
 Malang : Penerbit IKIP Malang bekerjsama dengan Yayasan EX Brigade IV Brawijaya Malang.

MENYINGKAP KABUT HALIM 1965


 
HARGA: RP.150.000 (BLUM ONGKIR)
Kondisi: bagus Jakarta 2000. CET 4 MEI 2000
tebal: 316 hal

Satu perhelatan sederhana digelar di Puri Ardhya Garini di kawasan Halim Perdanakusumah, Selasa sore lalu. Puluhan purnawirawan dari berbagai angkatan dan Polri serta beberapa pejabat negara dan tokoh masyarakat turut hadir. Mereka menyaksikan peluncuran buku baru yang dihadirkan Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP AURI). Menilik judulnya, buku itu tampaknya bukan terbitan biasa. Menyingkap Kabut Halim 1965, seolah-olah hendak mengungkap rahasia yang selama tiga dasawarsa dipendam dalam-dalam.
Peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru diantarai oleh sebuah peristiwa kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat (AD) itu dengan serta merta menyeret nama Partai Komunis Indonesia sebagai dalang penculikan dan pembunuhan atas tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
Oleh kaum beragama, orang- orang PKI disamakan dengan orang kafir yang halal darahnya. Dalam kasus pembantaian orang PKI oleh kaum beragama ini, dapat dilihat bagaimana kekuasaan telah berhasil melakukan manipulasi. Kaum beragama dijadikan alat bagi kepentingan membasmi musuh ideologi penguasa. Di atas kesadaran kaum beragama yang melakukan pembunuhan atas nama keyakinan agama mereka, berjalan kepentingan penguasa (Orde Baru) untuk membasmi musuh ideologi sang penguasa dan usaha menegakkan pamor kekuasaan di atas kenistaan ideologi lawan.
34 tahun kalangan TNI AU (dulu Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI) tak pernah membantah. Sampai eksekusi Omar Dani tak pernah terlaksana dan dia dibebaskan pada 1996. Lantas ada reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru, dan terbitlah buku ini. Sebuah upaya menolak tudingan. Sebuah "mercu" yang berambisi menyingkap pekatnya kabut sejarah.
Pun diungkapkan beberapa hal sebagai kunci penerang persoalan. Termasuk mengenai dua tempat berbeda yang bernama sama, Lubang Buaya. Pertama adalah dropping zone AU yang masuk kawasan PAU Halim. Kedua, sebuah desa yang terletak di luar kawasan PAU Halim. Lokasi kedua ini lah yang
sebenarnya menjadi basis G-30/S.
Hal lainnya adalah senjata yang ditemukan di Lubang Buaya (basis G-30 S), yang membuat Leo Wattimena, dalam film tadi, sangat terpukul (karakter Leo di buku ini sangat tegas. Berbeda dengan karakter Leo di film yang peragu) , ternyata tidak hanya dari AURI (yang merasa di-fait accomply Soeharto di depan Presiden). Senjata itu juga berasal dari TNI AL, Kepolisian, bahkan
TNI AD sendiri.
Di Halim, tulis buku ini, setelah G-30S, tak pernah berkumpul Presiden Soekarno, Ketua CC PKI DN Aidit, Ketua BC PKI Sjam Kamaruzaman, Brigadir Jenderal Soeprapto dan Kolonel Latief. Yang ada hanya Presiden yang tengah diamankan, didampingi Omar Dani. Jadi, tulis buku ini, tak benar Halim
adalah pusat gerakan.
Kisah seram di seputar Halim ini kemudian memunculkan citra tak sedap bagi angkatan udara. Citra buruk itu makin mengental, sampai-sampai, angkatan udara tidak dianggap sebagai kesatuan penting di tubuh TNI. "Seperti dianaktirikan," kata Ketua PP AURI Marsekal Muda (Purn.) Sri Mulyono Herlambang.
Pengamat sejarah dan politik Dahlan Ranuwihardjo setuju dengan upaya para purnawirawan itu. Bila memang ada fakta-fakta baru yang bisa mengungkap hal yang sebenarnya, tidak masalah untuk diluruskan. "Tapi harus disertai data dan fakta," kata kata mantan ketua umum PB HMI ini. Namun, kalau fakta dan datanya tidak benar, menurut dia, ya apa gunanya.
Dibanding beberapa penerbitan terdahulu, Menyingkap Kabut Halim 1965 banyak mengungkap data dan fakta baru. Misalnya mengenai peran TNI AU secara institusional dalam aksi PKI. Dalam buku ini tidak cukup signifikan adanya bukti keterlibatan institusi ini. "Bahkan tak ada bukti pimpinan angkatan udara waktu itu terlibat PKI," kata Sri Mulyono meyakinkan.
Selain itu, tak terbersit dari Omar Dhani untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintahan Bung Karno. Walaupun fakta-fakta dari kejadian 1 Oktober 1965 menunjukkan bahwa G-30-S jelas mengadakan kup terhadap pemerintahan yang sah.
Soal penculikan para jenderal, kata Omar, itu merupakan urusan intern AD. Dan, AURI pada prinsipnya tidak mau ikut campur. "Jadi bukannya saya tidak kolegial, tidak setia kawan," katanya. Karena itu, Soeharto menganggap sikap AURI sama dengan sikap Letkol Untung dkk. yang melakukan kudeta.
Sebelum tahun 1965, AURI merupakan salah satu angkatan udara terkuat di kawasan AsiaTenggara, bahkan di Asia. Angkatan Udara yang dipimpin Laksamana Omar Dani sangat loyal terhadap Soekarno. Omar Dani pernah mengatakan bahwa ia ingin seluruh insan AURI itu menjadi kleine Soekarnotjes atau Soekarno-soekarno kecil. Mereka mendukung gerakan ”Ganyang Malaysia” yang dilancarkan pemerintahan Soekarno. Namun, pihak Angkatan Darat, dalam hal ini Soeharto, tidak mendukung kebijakan itu dengan sepenuh hati. Benih konflik di antara mereka sudah dimulai sejak ini. Tanggal 30 September 1965 meletus aksi penculikan para jenderal. Omar Dani dengan spontan menulis perintah harian Men/Pangau setelah mendengar siaran berita RRI pukul 07.00 tentang G30S. Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto. Sejak 25 Desember 1966, Omar Dani dipenjara selama 29 tahun. Ia baru bebas 16 Agustus 1995.
Sekarang tergantung pada pembaca menilai dan melihat fakta-faktanya bagaimana. Itu yang mestinya menjadi dasar. Kita bebas berpikir dan menyatakan sesuatu. Sehingga, menurut saya, era reformasi itu baik sekali untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya.
Yang di Halim itu, tanggal 1 Oktober dan 2 Oktober. Tapi yang paling utama adalah tuduhan bahwa AURI menjadi basis komunis. Kita menyaksikan selama tiga puluh tahun lebih, film G-30-S/PKI yang menyakitkan hati dan menekan jiwa. Tapi pihak TNI-AU sadar, yang menyusun sejarah selalu orang yang menang perang dan yang berkuasa. Dan cepat atau lambat, kebenaran itu akan terbuka dengan sendirinya.

Sumber: http://id.shvoong.com/books/1971855-menyingkap-kabut-halim-1965/#ixzz0wm2U6j6g

ISLAM KERAKYATAN DAN KEINDONESIAAN


 
Harga: Rp.100.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus cet 2 mei 1994
tebal:266 hal

Nurcholish Madjid (Cak Nur) merupakan ikon pembaruan pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.

Sebagai tokoh pembaharu dan cendikiawan Muslim Indonesia, seperti halnya K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Nurholish Madjid sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama gagasan mengenai pembaharuan Islam di Indonesia. Pemikirannya diaggap sebagai sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam yang moderat.

sumber; http://www.goodreads.com/author/show/876841.Nurcholish_Madjid

DOKTER ZHIVAGO, DJILID 1, BORIS PASTERNAK

Buku Djilid 1

HARGA: Rp.100.000 (blum ongkir). JILID 1
Kondisi: Bagus 1960
Tebal: 269 hal

Tayangan ini kisahnya berawal dari seorang anak bernama Yury Zhivago (Hans Matheson), ia adalah seorang anak muda yang dikirim oleh ayahnya pada paman dan bibinya yang bernama Alexander Gromeko (Bill Paterson) dan Anna (Celia Imrie). Kebetulan ayahnya menanggung beban hukuman dari rekan kerjanya yang telah melakukan tindak korupsi.
Akhirnya Zhivago pun tumbuh dilingkungan paman dan bibinya. Suatu saat ia mempelajari bidang fisika dan seiring dengan waktu, ia pun merasa jatuh cinta pada sepupunya Tonya (Alexandra Maria Lara).
Namun pada suatu hari ia malahan bertemu dengan seorang wanita cantik bernama Lara Guishar (Keira Knightley), wanita itulah yang akhirnya membuat dirinya terpesona.
Akan tetapi baru diketahui belakangan bahwa Lara itu merupakan kekasih dari anak rekan kerja ayah Zhivago yang korupsi.
Namun karena perasaan cintanya tersebut, akhirnya Zhivago pun dapat menikahi Tonya. Sementara Lara Menikah dengan Pasha Antipov (Kris Marshall).
Saat perang dunia pertama sedang berkecamuk, Zhivago pun kembali bertemu dengan Lara yang saat itu bekerja sebagai perawat sekaligus tengah mencari suaminya yang hilang. Akibat perang tersebut Zhivago nmenderita luka yang cukup parah. Untungnya Lara muncul dan merawat Zhivago hingga sembuh. Selama dalam perawatan Zhivago dan Lara saling jatuh cinta
Namun sayangnya saat perang dunia pertama selesai, Zhivago pun kembali pada Tonya. Dengan munculnya Revolusi Soviet, muncul hal tak terduga. Revolusi Soviet membuat daerah asal mereka berubah, terutama ketka Lara mengetahui bahwa suaminya tak tewas dan bahkan menjadi penguasa dari rezim baru. (And)

Selasa, 01 Januari 2013

Chuo Sangi-In - Dewan Pertimbangan Pusat Pada Masa Pendudukan Jepang Oleh: Dra. Arniati Prasedyawati Herkusuma


TERJUAL BY JAKPUS
Kondisi: Lumayan, 1982
Tebal: 138 hal
Chuo Sangi-In - Dewan Pertimbangan Pusat Pada Masa Pendudukan Jepang
Oleh: Dra. Arniati Prasedyawati Herkusuma
Penerbit: P.T. Rosda Jayaputra

Cuo Sangi In
Badan Pertimbangan Pusat yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan Jepang. Badan Pertimbangan Pusat mempunyai tugas mengajukan usul dan menjawab pertanyaan pemerintah Jepang.

PATRIOT IRIAN DAMAI, MR DAJOH.


Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: bagus
PATRIOT IRIAN DAMAI. MR DAJOH.
Grafica Jakarta - 1954.
Tebal: 408 Halaman.
Berat:0,38 Kg

100 TAHUN BUNG KARNO


TERJUAL
HARGA: Rp.100.000 (SUDAH ONGKIR)
Kondisi: bagus cet 2 oktober 2001
tebal: 316 hal

Semua lawan Bung Karno
sekarang terseret ke meja
Mahkamah Sejarah

Pramoedya Ananta Toer

Uraian di bawah ini adalah transkripsi obrolan bebas dalam kunjungan beberapa kali oleh seorang intelektual muda lulusan IAIN kepada novelis dan budayawan Pramoedya Ananta Toer di rumah tetirahnya di desa Bojong Gede, Bogor. Ucapan yang meluncur dari mulut pujangga tua itu berlangsung sambil ia mencangkul membenahi halaman dan membakar sampah. Kepada Pramoedya sebenarnya diminta sumbangan artikel dalam rangka peringatan 100 Tahun Bung Karno, tetapi writers-block dan kesehatan­nya yang belum sepenuhnya pulih setelah rebah di rumah-sakit, masih menghambatnya untuk berproduksi secara kreatif. Namun demikian – untuk ikut menghormati Bung Karno, pemimpin Indonesia yang dia kagumi sebagai “manusia langka” – Pramoedya mempersilakan tamunya mencatat sendiri apa yang dia ucapkan sambil bekerja – ed.

Indonesia adalah negeri berbentuk arsipel dengan puluhan juta penduduk, puluhan ribu pulau dan bahasa, yang di pertengahan abad 20 nyaris berantakan terpecah belah, nyaris menjadi mangsa empuk segala macam kekuasaan serta rebutan lapangan uji-coba sekian senjata pabrik-pabrik asing, yang mengakibatkan perang saudara banjir darah tanpa henti tanpa ujung pangkal, antara sekian banyak suku, golongan agama dan ideologi. Suatu negeri yang amat kaya raya dengan sumber-sumber alam bahkan sumber-daya-manusia yang menjadi potensi massal pasaran ekonomi dunia, yang sampai detik ini pun masih saja menjadi kue perebutan sekian banyak kekuasaan ekonomi, politik, militer dan kultural demi keun­tung­an dan kepentingan mereka masing-masing.
Dalam situasi penuh marabahaya karena kepungan dari sana sini, Soekarno-lah yang sanggup tampil dan berdiri tegak mengatasi semuanya dengan baik.

Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam, 70 Tahun Harun Nasution

terjual
Harga: Rp.50.000 (blum ongkir)
Kondisi: Lumayan 1989
tebal: 393 hal
Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat

HARUN NASUTION DALAM KHASANAH
PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA
(Antara Modenisme dan Teologi Rasional Mu’tazilah)

Dari Mandailing ke Kanada: Riwayat hidup, internalisasi dan pergulatan pemikiran Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematangsiantar pada tanggal 23 September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad. Ia adalah seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan. Ia terpilih menjadi Qadhi (penghulu). Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun.[1] Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad.[2] Ia pernah bermukim di Mekah sehingga cukup mengerti bahasa Arab dengan baik. Harun menempuh pendidikan dasar di bangku sekolah Belanda. Ia sekolah di HIS selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus dari HIS sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol.[3] Namun ayahnya ternyata mempunyai rencana lain untuk Harun. Ia menyuruh Harun untuk sekolah agama seperti kakak lelakinya. Akhirnya Harun memilih sekolah agama di Bukittinggi yang bernama Moderne Islamietische Kweekschool (MIK). MIK adalah sekolah guru menengah pertama swasta modern milik Abdul Gaffar Jambek (putra Syekh Jamil Jambek). Di sekolah itu, dalam suatu pelajaran gurunya pernah mengatakan bahwa memelihara anjing tidak haram. Ajaran di sekolah itu dirasakan cocok olehnya sehingga ia juga berpikiran bahwa memegang Qur’an tidak perlu berwudhu karena Qur’an hanyalah kertas bisaa, bukan wahyu. Apa salahnya memegang kertas tanpa berwudhu terlebih dahulu. Begitu pula soal sholat, memakai ushalli atau tidak, baginya sama saja.[4] Harun sebenarnya masih ingin bersekolah di MIK. Namun karena melihat kondisi sekolah yang cukup miskin sehingga tidak bisa menghadirkan suasana belajar yang baik, maka ia memutuskan untuk pindah sekolah.

Harun pernah mendengar sekolah Muhammadiyah di Solo yang menurutnya cocok dengan jalan pikiran dia. Ia lalu melamar di sekolah itu. Ternyata lamarannya di HIK (Sekolah Guru Muhammadiyah) diterima. Akan tetapi, orangtuanya tidak merestui ia bersekolah di sana. Orangtuanya merencanakan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mekkah.[5] Setelah itu Harun banyak berkonsultasi dengan beberapa ulama, tentang studi di Timur Tengah. Salah satu ulama yang ditemuinya adalah Mukhtar Yahya. Ia lama bersekolah di Mesir. Harun banyak medengar cerita tentang Mesir dari beliau. Setelah lama berdialog dengan Harun, Mukhtar Yahya menyarankan Harun untuk melanjutkan sekolah di Mesir. Harun juga membaca tulisan-tulisan tentang Mesir di majalah Pedoman Masyarakat yang diterbitkan Hamka. Di majalah itu, Harun mengenal pemikiran baru dari Hamka, Muhammadiyah, Zainal Abidin Ahmad, dan Jamil Jambek. Lepas dari itu semua, untuk memenuhi permintaan orangtuanya, akhirnya Harun terpaksa ke Mekah. Namun ia bertekad bahwa setelah dari Mekah ia akan meneruskan sekolah di Mesir. Setelah satu setengah tahun di Mekah, ia lalu melanjutkan sekolah di Mesir. Kepergiannya ke Mesir menggunakan bekal uang dari orangtuanya yang diberikan berdasarkan ultimatum Harun terhadap orangtuanya, bahwa apabila ia tidak diizinkan untuk ke Mesir, maka ia tidak akan pulang ke Indonesia.[6] Harun tiba di Mesir pada tahun 1938. Di Mesir, Harun mendapatkan dan bersentuhan dengan berbagai pemikiran baru. Bukan hanya itu, keberadaannya di Mesir menjadi titik tolak hingga akhirnya ia bisa melanjutkan kuliahnya di McGill University Canada. Dalam bidang pekerjaan, Harun pernah bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di beberapa negara di Timur Tengah sampai akhirnya ia menjadi pengajar di IAIN Syarif Hidayatullah dan seterusnya menjadi Rektor di kampus itu.


Modernisme Harun: Warna berbeda dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia

Pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia bukanlah “barang” baru ketika Harun Nasution mengutarakan berbagai gagasan pemikirannya. Bangsa Indonesia (sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia) merupakan salah satu gudang pemikiran Islam. Memang, perkembangan pemikiran Islam di Indonesia baru dimulai (secara massif dan aplikatif) sejak sekitar masa pergerakan nasional. Pemikiran Islam pada masa itu juga tidak lepas dari gerakan pembaharuan Islam yang ada di Timur Tengah (terutama Mesir).

Pemikiran Islam di Indonesia berkembang cukup pesat di awal abad ke-20. Hal itu ditandai dengan lahirnya gerakan modernisme.[7] Gerakan modernisme yang bertumpu pada Qur’an dan Sunnah berupaya untuk mengembalikan kembali umat Islam kepada sumber ajarannya yang tidak pernah usang ditelan zaman sehingga tidak perlu diperbaharui. Namun, hal ini perlu diangkat lagi ke permukaan masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi dan adat istiadat yang tidak sesuai dengan ajaran pokok tersebut. Pada masa itu, masyarakat yang telah tertutup oleh tradisi tentu tidak tinggal diam melihat gerakan “baru” tersebut. Reaksi itulah yang juga melahirkan gerakan yang disebut tradisionalisme.[8] Pengusung gerakan modernisme pada saat itu antara lain adalah H.O.S. Tcokroaminoto, Agus Salim, dan Mohammad Natsir. Perubahan dari taqlid kepada ijtihad merupakan akar pemikiran Islam tersebut. Akar pemikiran itu lalu menjalar kepada pemikiran aplikatif dalam kehidupan modern. Beberapa hal yang sering menjadi bahan pembicaraan atau bahkan perdebatan adalah mengenai politik dan negara. Pada tahun 1940-an, terjadi polemik pemikiran politik Islam antara Natsir dan Soekarno.[9] Pembicaraan mengenai hal ini adalah sebuah respon seorang Mohammad Natsir atas pernyataan pemikiran Soekarno bahwa zaman modern menuntut pemisahan agama dan negara seperti yang dipraktekkan oleh Musthafa Kemal “Attaturk” Pasha di Mesir. Bahan pembicaraan lainnya adalah mengenai sistem ekonomi yang direlevansikan dengan pembinaan masyarakat menurut Islam. Pemikiran tentang hal tersebut diusung oleh Agus Salim dan Tjokroaminoto ketika mereka (pada masanya masing-masing) berhadapan dengan pihak komunis dan nasionalis. Pada umumnya, sampai pada masa konstituante tahun 1956-1959, pemikiran Islam di Indonesia berkisar pada soal-soal ibadah dan muamalah. Masalah lainnya yang juga diangkat, tidak lebih hanya karena merupakan tantangan pihak lawan yang lebih intens.[10]

Bila kita mengamati perkembangan pemikiran Islam pada awal abad ke-20 dibandingkan pemikiran Harun, maka kita akan melihat warna berbeda dalam pemikiran Harun Nasution. Warna berbeda itu bisa dilihat dari beberapa perspektif yaitu suasana zaman, afiliasi terhadap ormas/parpol, fokus terhadap bidang akademis. Kembali kepada pembahasan paragraf sebelumnya tentang garis besar pemikiran Islam pada awal abad ke-20 sampai masa konstituante, Deliar Noer menarik beberapa kesimpulan tentang corak gerakan masa itu antara lain bahwa pemikiran kalangan Islam masa itu lebih merupakan reaksi atau respon terhadap tantangan yang ada. Ia merupakan reaksi terhadap pemikiran Barat, sekulerisme, komunisme, nasionalisme yang chauvinistis, dan sebagainya. Selain itu, banyaknya permasalahan yang dihadapi tidak diimbangi dengan tersedianya orang-orang yang ahli dan mempunyai waktu luang sehingga bahasan dan kajian yang dilakukan terhadap salah satu topik kurang mendalam dan mengena.[11] Warna berbeda lainnya yaitu afiliasi terhadap ormas/parpol. Kenyataan yang ada memperlihatkan bahwa para tokoh sebelumnya adalah bagian dari ormas atau parpol (entah dia pendiri atau hanya sebatas anggota dan simpatisan). Hal itu secara tidak langsung menjadi salah satu pertimbangan apakah pemikiran yang dikeluarkan tokoh tersebut adalah murni pemikirannya. Perspektif lain yang bisa memperlihatkan warna berbeda pemikiran Harun Nasution adalah fokus yang digelutinya pada bidang akademis. Artinya bahwa pemikirannya adalah sebagai suatu kajian yang bisa disampaikan bahkan dipakai sebagai kurikulum.

Teologi Rasional Mu’tazilah ala Harun Nasution

Setiap tokoh memiliki ciri khas pemikiran dan latar belakang pemikirannya masing-masing. Bila tidak berlebihan, dapat dikatakan bahwa titik tolak pemikiran Harun Nasution adalah pemikiran Mu’tazilah yang sudah diupamnya. Fauzan Saleh mengatakan bahwa pemikiran Mu’tazilah tersebut diperkenalkan oleh Harun Nasution secara lebih komprehensif.[12] Inti pembaharuan pemikiran Harun Nasution sebenarnya tidak jauh berbeda dengan para pendahulunya yaitu menekankan tentang ijtihad. Akan tetapi Harun Nasution sudah masuk dalam tataran pembahasan yang sudah lebih mendalam tentang teologi. Masalah kalam ini jarang sekali diperbincangkan oleh para pemikir Islam sebelumnya. Seperti yang sudah dipaparkan di atas, sebagian besar pemikir Islam masa itu lebih menitikberatkan kajiannya tentang muamalah. Hal itu terjadi karena suasana zaman yang menarik para pemikir Islam tersebut untuk merespon masalah yang ada. Sedangkan Harun Nasution adalah orang yang lepas dari berbagai kemelut masalah yang ada, walaupun pada masanya bukan berarti tidak ada masalah.

Teologi adalah ilmu yang mempelajari ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam Islam, teologi disebut sebagai ‘ilm al-kalam. Secara umum, pemikiran Harun tentang teologi rasional maksudnya adalah bahwa kita harus mempergunakan rasio kita dalam menyikapi masalah. Namun bukan berarti menyepelekan wahyu. Karena menurutnya, di dalam Al-Qur’an hanya memuat sebagian kecil ayat ketentuan-ketentuan tentang iman, ibadah, hidup bermasyarakat, serta hal-hal mengenai ilmu pengetahuan dan fenomena natur. Menurutnya, di dalam Al-Qur’an ada dua bentuk kandungan yaitu qath’iy al dalalah dan zhanniy al-dalalah.[13] Qath’iy al dalalah adalah kandungan yang sudah jelas sehingga tidak lagi dibutuhkan interpretasi. Zhanniy al-dalalah adalah kandungan di dalam Al-Qur’an yang masih belum jelas sehingga menimbulkan interpretasi yang berlainan. Disinilah dibutuhkan akal yang dapat berpikir tentang semua hal tersebut. Dalam hal ini, keabsolutaan wahyu sering dipertentangkan dengan kerelatifan akal.



Daftar Pustaka

Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press

Saleh, Fauzan. 2004. Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi.

Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat. 1989. Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat

[1] Zaim Uchrowi dan Ahmadie Thaha (Penyunting), “Menyeru Pemikiran Rasional Mu’tazilah”, dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hal. 3-5.

[2] Penulis belum menemukan namanya. Dalam biografi yang dituliskan Harun Nasution di buku Refleksi… di atas, ia tidak menyebutkan nama ibunya. Adapt Mandailing sebenarnya melarang perkawinan satu marga. Akan tetapi, Abdul Jabbar Ahmad melawan adapt karena ia mengetahui bahwa dalam Islam hal itu dibolehkan. Tindakan Abdul Jabbar Ahmad menyulut kemarahan warga kampung sehingga ia harus menuai hukuman yang mengharuskannya memotong kerbau dan sebagainya.

[3] Kelas nol adalah sekolah persiapan sebelum masuk MULO. Selain Harun Nasution, murid lainnya yang juga dipilih untuk langsung melanjutkan ke MULO adalah TB Simatupang. Lihat Zaim…, Ibid.

[4] Di masa itu, ia juga mengalami pertentangan dan konflik antar golongan di kampungnya. Konflik itu terjadi antara kaum tua dengan kaum muda. Golongan muda berkelompok dalam pergerakan Muhammadiyah sedangkan golngan tua berkelompok di Jam’iyyat al-Washliyyah.

Golongan muda saat itu sering disebut sebagai kaum modernis. Namun pemikiran-pemikiran golongan muda tidak begitu saja diterima oleh golongan tua. Ayah Harun Nasution termasuk salah satu ulama golongan tua saat itu. Pertentangan yang terjadi cukup besar. Bahkan pernah terjadi konflik yang mengakibatkan perceraian antara suami istri yang berbeda golongan.

[5] Rencana orangtuanya itu terkait dengan pemikiran Harun yang dianggap orangtuanya sudah melenceng. Pada suatu saat, ayahnya pernah mendengarkan beberapa pemikiran Harun. Ayahnya coba mengetes Harun secara tidak langsung yakni melalui kakak Harun. Ia menanyakan tentang banyak hal. Salah satunya mengenai Qur’an . Apakah boleh Al-Qur’an dipegang oleh orang yang tidak berwudhu? Lalu Harun menjawab pertanyaan tersebut sesuai dengan apa yang telah dipaparkan dalam makalah di atas.

[6] Op. Cit., Zaim Uchrowi, hal. 12

[7] Menurut Deliar Noer, yang dimaksud dengan gerakan modernisme (Islam) adalah gerakan kembali kepada Qur’an dan Sunnah sebagai sumber ajaran pokok Islam. Lihat “Harun Nasution dalam Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia” dalam Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam: 70 Tahun Harun Nasution, Jakarta: Panitia Penerbitan Buku dan Seminar 70 Tahun Harun Nasution dan Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1989, hal. 83

[8] Ibid., hal. 84.

[9] Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Natsir. Perdebatan tentang dasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkna dari agama (dalam hal ini Islam). Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum Nasionalis Islam. Keduanya sebenarnya mempunyai satu cita-cita yang sama untuk membangun negara ini. Tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini.

[10] Contohnya adalah soal pelajaran agama di sekolah-sekolah umum, masalah transfusi darah, pencngkokkan bagian tubuh, masalah tarekat, dan yang paling seru yaitu mengenai Pancasila.

[11] Op. Cit., Deliar Noer, hal.88-90

[12] Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan: Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta: Serambi, 2004, hal. 261

[13] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986, hal.37

SUMBER ARTIKEL: http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/2?&item_id=2&view%3Areplies=reverse

Related Post

ShareThis