.

.

Rabu, 26 Februari 2014

MAX HAVELAAR, MULTATULI ATAU LELANG KOPI MASKAPAI DAGANG BELANDA Terjemahan: H.B. JASSIN


TERJUAL
Harga: Rp.150 rb (blum ongkir)
MAX HAVELAAR
MULTATULI.
ATAU
LELANG KOPI MASKAPAI DAGANG BELANDA
Terjemahan: H.B. JASSIN
Pendahuluan dan Anotasi: Drs. G. TERMORSHUIZEN
Kondisi: lumayan bagus, eks perpust.
Tebal: xvii + 229 halaman
Copyright by Djambatan
Cetakan keempat 1977
Percetakan Karya Nusantara Bandung
PENERBIT DJAMBATAN

Max Havelaar adalah sebuah novel karya Multatuli (nama pena yang digunakan penulis Belanda Eduard Douwes Dekker). Novel ini pertama kali terbit pada tahun 1860, yang diakui sebagai karya sastra Belanda yang sangat penting karena memelopori gaya tulisan baru.

Peran dalam literatur

Di Indonesia, karya ini sangat dihargai karena untuk pertama kalinya inilah karya yang dengan jelas dan lantang membeberkan nasib buruk rakyat yang dijajah. Max Havelaar bercerita tentang sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra di daerah Lebak, Banten. Max Havelaar adalah karya besar yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salah satu bagiannya memuat drama tentang Saijah dan Adinda yang sangat menyentuh hati pembaca, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.

Hermann Hesse dalam bukunya berjudul: Die Welt Bibliothek (Perpustakaan Dunia) memasukkan Max Havelaar dalam deret buku bacaan yang sangat dikaguminya. Bahkan Max Havelaar sekarang menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah di Belanda.
Terjemahan bahasa Indonesia

HB Jassin menerjemahkan Max Havelaar dari bahasa Belanda aslinya ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 1972. Tahun 1973 buku tersebut dicetak ulang.

Pada tahun 1973 Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Dia diundang untuk tinggal di Belanda selama satu tahun.
Adaptasi layar lebar

Novel ini diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar pada tahun 1976 oleh Fons Rademakers sebagai bagian dari kemitraan antara Belanda-Indonesia. Namun filmMax Havelaar tersebut tidak diperbolehkan untuk ditayangkan di Indonesia sampai tahun 1987.

Novel ini terbit dalam bahasa Belanda dengan judul asli "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij" (bahasa Indonesia: "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda")

Roman ini hanya ditulis oleh Multatuli dalam tempo sebulan pada tahun 1859 di sebuah losmen di Belgia. Setahun kemudian, tepatnya pada tahun 1860 roman itu terbit untuk pertama kalinya

Senin, 24 Februari 2014

STUDENT HIDJO, Mas Marco Kartodikromo. Penerbit Narasi

Harga: Rp. 100 rb (blum ongkir) 

 Judul Buku : Student Hidjo. cetakan pertama 2010
Pengarang : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit : Narasi
Jumlah halaman : 140

Tak Hanya Soal Perkawinan atau Perjodohan, Tapi Melawan Penjajahan

Membaca novel yang ditulis hampir satu abad yang lalu, seperti Student Hidjo karya Marco Kartodikromo ini tentu membutuhkan banyak referensi terutama sejarah agar pembacaannya menjadi kaya dan menemukan keindahan dari ungkapan kata-kata maupun setting yang digunakan. Student Hidjo pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surat Kabar Harian Sinar Hindia tahun 1918. Diterbitkan pertama kali oleh N.V. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink Semarang, 1919. Kini diterbitkan kembali oleh Penerbit Bentang Yogyakarta justru tanpa tahun. Entahlah kenapa. Walau begitu kemunculan kembali novel ini diketahui pada tahun 2000. Selain diterbitkan oleh Bentang, juga diterbitkan Aksara Indonesia, juga berdomisili di Yogyakarta.
Pada pendahuluan yang dibuat pada tanggal 26 Maret 1919, Marco Kartodikromo, tanpa gelar Mas di depannya, menjelaskan bahwa Student Hidjo merupakan buah pena waktu menjalani hukuman perkara persdelict, di Civiel en Militair Gevangenhuis di Weltevreden selama satu tahun. Selain Student Hidjo, selama setahun di penjara itu, Marco juga menulis buku Sair Rempah-Rempah, Matahariah dan masih ada yang lain yang tak disebutkan. Sudah jelas tampak bahwa Marco adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan lain yang sangat terkenal judulnya bahkan hingga saat ini dan sering dianggap sebagai idiom cita-cita komunisme adalah Sair Sama Rata Sama Rasa yang kemudian juga menjadi slogan dan semboyan dalam perjuangan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, semboyan Sama Rata Sama Rasa ini, di kalangan rakyat jelata mempunyai kekuatan yang menghidupi, dan kekuatan ini, yang tidak menarik para sarjana, telah memberikan sumbangan yang tidak sedikit artinya bagi perjuangan untuk memenangkan kemerdekaan nasional dan keadilan sosial. Karena bagi rakyat, kemerdekaan nasional yang ditingkatkan dengan revolusi nasional diharapkan sekaligus mengandung di dalamnya keadilan sosial sebagaimana disebutkan tanpa sembunyi-sembunyi dalam salah satu sila dari Pancasila. (Pramoedya Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara, Jakarta, cetakan II 2003;96)
Selain sebagai pengarang sastra, Marco juga dikenal aktif dalam kegiatan jurnalisme dan politik. Ia dikenal sebagai pendiri pertama kali organisasi wartawan di Hindia Belanda, Inlandsche Journalisten Bond, IJB, di Surakarta tahun 1914, aktif di organisasi Serikat Islam sejak tahun 1911 dan meninggal dalam pangkuan organisasi Partai Komunis Indonesia, PKI, dalam pembuangan di Digul, Papua pada tanggal 18 Maret 1932. Marco Kartodikromo dilahirkan di Cepu, Blora, sekitar tahun 1890 dari keluarga priyayi rendahan dan sempat memperoleh pendidikan Ongko Loro di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo.
Melalui novel ini, Marco dengan lembut, ringan, sederhana tapi tajam menyampaikan cita-cita dan pandangannya terhadap kolonialisme Belanda, termasuk dunia kapitalisme. Selain menceritakan hubungan perjodohan, percintaan dan pacaran model Eropa dan Timur, latar cerita novel ini adalah kongres Serikat Islam, di Solo yang begitu meriah dan penuh dukungan dari rakyat. Hidjo tokoh utama dalam novel ini digambarkan sebagai student atau mahasiswa yang briliyan, cerdas dan cinta pada negeri dan keluarganya walau juga paham betul soal-soal sopan-santun adat Eropa. Ia pun dicintai banyak orang termasuk orang-orang Eropa.
Ketika Hidjo sampai di Amsterdam untuk melanjutkan studi ke Delf, tumbuhlah kesadaran yang luar biasa bagi dirinya yaitu bahwa mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di Tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala. Di sebuah Hotel, Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang yang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. (h. 46)
”Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh orang Belanda.” (h. 46)
Di bagian lain, konsepsi dunia kapitalisme disampaikan dengan ringan ketika Raden Nganten dan Raden Potronojo, orang tua Hidjo merasa tidak pantas bila sebagai keluarga saudagar hendak melamar putri seorang regent.
“Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyai anak kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?” tanya Raden Nganten bergurau
“Tidak Raden Nganten, zaman sekarang ini tidak ada lagi orang hina dan mulia. Kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya seorang Regent, itu kalau dipikir mendalam, badan saya ini tidak ada bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Jadi saya ini sebagaimana perkataan umum ’buruh’ . Maka dari itu umpama anak saya kawin dengan anak Tuan apa jeleknya? Asal yang menjalaninya suka!” begitu kata Regent dengan panjang lebar kepada Raden Nganten (h.136-137).
Lihatlah, betapa berbeda 180 derajat dengan tema perkawinan dan perjodohan pada novel Azab dan Sengsara, Merari Siregar yang ditulis dua tahun kemudian dan diterbitkan Balai Pustaka dan tentu saja juga dengan novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli dalam tema yang sama perkawinan dan perjodohan yang juga diterbitkan Balai Pustaka. Pada Azab dan Sengsara, perjodohan masih mempertimbangkan orang hina dan mulia. Ayah Aminuddin tak menginginkan Aminuddin menikah dengan Mariamin yang miskin dan papa tapi menginginkan perkawinan yang sederajat, bangsawan dan kaya. Pada Siti Nurbaya, perjodohan dipaksakan oleh orang tua sementara pada Student Hidjo, Asal yang menjalaninya suka!
Membaca isi novel ini yang begitu kritis terhadap kolonialisme Belanda, sudah sewajarnya bila Penjajah Belanda melalui Balai Pustaka (1917) yang dilandasi nota Dr Rinkes itu tidak mengakui kesastraan Novel ini dan memasukkannya dalam kelompok bacaan liar. Yang mengherankan, justru sebagian dari kita saat ini, masih melupakan atau bahkan mengabaikan kemunculan novel ini dalam perkembangan Sastra Indonesia dan menganggap tidak penting kepengarangan dan perjuangan Marco Kartodikromo dalam melawan penjajahan Belanda dan melulu hanya berpatokan pada Balai Pustaka dengan kemunculan Novel Merari Siregar, Azab dan Sengsara itu.
Student Hidjo, sebuah Novel, layak dibaca kembali terutama oleh para pelajar dan mahasiswa saat ini agar semakin memahami dunia student di bawah penjajahan Belanda dan ketika jaman benar-benar dibangkitkan untuk bergerak oleh para pemuda terpelajar Hindia Belanda dengan berbagai cita-cita dan kehendak untuk merdeka dari penjajahan, terlebih dunia kita saat ini yang seakan kembali mengalami penjajahan baru, dengan semakin dikuasainya kekayaan alam bangsa kita oleh asing, privatisasi gila-gilaan BUMN-BUMN dan hancurnya industri nasional kita seperti industri gula, kopi, kayu….dan yang lain-lain akan menyusul..?
Jakarta, 9 November 2010

Rabu, 19 Februari 2014

BUMI MANUSIA -- ANAK SEMUA BANGSA -- JEJAK LANGKAH -- RUMAH KACA (Tetralogi )




TERJUAL
Price:
 BUMI MANUSIA -- ANAK SEMUA BANGSA -- JEJAK LANGKAH -- RUMAH KACA
: IDR  625.000,00  (belum termasuk ongkos kirim)
Berat: Masuk hitungan 3 kg JNE

Judul Asli: BUMI MANUSIA
Cetakan kelima : Terbitan Februari 1981
Sebuah Novel Sejarah (Buku per-Tama dari seri 4 Jilid)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra, Penerbit Buku Bermutu Jakarta.
Editor: Joesoef Isak
Kulit Depan: Si Ong  (Harry Wahyu)
Illustrasi: Galam
Halaman 405
hard  Cover, Kondisi MULUS (Second) bersampul plastik
Bumi Manusia Adalah buku pertama dari serangkaian roman empat jilid (tetralogy) karya Pramoedya Ananta Toer melingkupi masa kejadian 1898 sampai 1918, masa Periode Kebangkitan Nasional, masa yang hamper-hampir tak pernah di jamah oleh sastra Indonesia, masa awal masuknya pengaruh pemikiran rasio, awal pertumbuhan organisasi - organisasi modern yang juga berarti awal kelahiran demokrasi pola Revolusi prerancis
 Judul Asli: ANAK SEMUA BANGSA
cetakan kedua Terbitan Januari 1981
Sebuah Novel Sejarah (Buku Ke-Dua dari seri 4 Jilid)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra, Penerbit Buku Bermutu Jakarta.
Editor: Joesoef Isak
Kulit Depan: Si Ong (Harry Wahyu)
Design Buku: Marsha Anggita
Halaman 403
Soft  Cover, Kondisi MULUS (Second)
Anak Semua Bangsa Berkisah tentang pengenalan si tokoh pada lingkungan sendiri dan dunia, sejauh pikirannya dapat menjangkaunya.
 Judul Asli: JEJAK LANGKAH. cetakan ketiga Terbitan Februari 2001
Sebuah Novel Sejarah (Buku Ke-Tiga dari seri 4 Jilid)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra, Penerbit Buku Bermutu Jakarta.
Editor: Joesoef Isak
Kulit Depan: Si Ong (Harry Wahyu)
Design Buku: Marsha Anggita
Halaman 558
Soft  Cover, Kondisi MULUS (Second)
JEJAK LANGKAH  Berkisah tentang kelahiran organisasi –organisasi modern Pribumi pertama-tama dan, 
 Judul Asli: RUMAH KACA. cetakan ketiga Terbitan Februari 2001
Sebuah Novel Sejarah (Buku Ke-Empat dari seri 4 Jilid)
Pengarang : Pramoedya Ananta Toer
Penerbit : Hasta Mitra, Penerbit Buku Bermutu Jakarta.
Editor: Joesoef Isak
Kulit Depan: Dipo Andy – Gelaran Mouse
Illustrasi: Galam
Halaman 484
Soft  Cover, Kondisi MULUS (Second)
RUMAH KACA   Berkisah tentang usaha colonial Hindia – Belanda dalam membikin Hindia menjadi rumah kaca dalam mana setiap gerak-gerik penduduk di dalamnya dapat mereka lihat dengan jelas, dan dengan hak exorbitant dapat berbuat sekehendak hatinya terhadap para penghuni di dalam rumah itu
Tetralogi ini adalah suatu kesatuan yang masing-masing jilidnya dapat berdiri sendiri-sendiri. Sebelum roman empat jilid ini dituangkan dalam tulisan, kisahnya diceritakan secara lisan oleh Penulis kepada teman-temannya seperasaian di Unit III Wanayasa di pulau pembuangan Buru.
Suatu usaha lagi untuk mengenal Indonesia

Seperti pernah kami nyatakan pada kesempatan lain, kami tidak akan berpanjang-panjang dan membuang-buang waktu mem­bahas dagelan kesewenang-wenangan kekuasaan politik rejim orde barunya golkar yang mem­be­rangus buku-buku Pramoe­dya. Mengapa? Tidak lain karena tuduhan Pramoedya secara lihay lewat karya-karyanya mempropa­ganda­kan marx­isme-­leninis­me, di negeri-negeri yang paling anti-komunis pun menjadi bahan tertawaan yang paling menggelikan.
    Sesuai dengan rencana Penulis dan Penerbit Hasta Mitra, dengan ini diumumkan bahwa roman empat jilid ini ­yang di luar negeri dikenal sebagai The Buru Quartet – Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca – dan buku-buku lain yang pernah diberangus oleh rejim orde barunya golkar, semua akan diter­bit­kan ulang sebagai Edisi Pembebasan; sedang kesemua karya Pramoedya lainnya – termasuk karya klasik Penulis tahun 50 dan 60-an – juga akan berangsur dicetak ulang dalam rangka rencana besar Hasta Mitra menerbitkan kembali secara menye­luruh Karya-Karya Pilihan Pramoedya Ananta Toer.
    Bahwa larangan terhadap buku-buku Pramoedya sampai hari ini belum dicabut oleh Pemerintah, bukanlah menjadi urusan Penulis dan Penerbit. Sebagai warganegara, kami akan tetap bekerja dan akan tetap terbit seperti biasa – sebab itulah cara kami menghormati dan ikut aktif menegakkan hak-hak azasi manusia sebagai­mana selalu menjadi sikap kami semasa jendral Suharto dengan mesin kekuasaannya – politisi golkar dan para jendral – masih bebas berkuasa mem­prak­tekkan kese­wenang-wenangan mereka. Tetap terbit walaupun pembera­ngus­­an berlangsung tidak henti-hentinya, merupakan kontri­busi kami untuk bersama para pejuang demokrasi dan keadilan lainnya menegak­kan HAM dan merebut kebebasan kami sendiri
     Terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu kami – terutama sikap untuk tetap bersama kami, dan dengan segala risiko ikut aktif mendis­tribusikan buku-buku kami – justru pada masa-masa kesewe­nang­an kekuasaan fasis golkarnya orde baru merajalela yang tanpa proses apa pun memberangus buku-buku kami. Terimakasih kami kepada mereka yang dengan sadar mendistribusikan dan tetap mem­baca karya-karya Pramoedya yang dilarang – juga sekarang-sekarang ini – pada saat sementara toko-toko buku besar masih ragu mendistri­busi­kan buku-buku Pramoedya hanya karena larangan terhadap buku-bukunya itu secara resmi belum dicabut oleh Pemerintah. 
     Salut kepada sikap yang tidak hanya mau menunggu enaknya saja tanpa mau bersinggungan dengan risiko sekecil apa pun.
Joesoef Isak, ed.
SUMBER ARTIKEL:
http://www.hastamitra.net/2010/11/pramoedya-ananta-toer-edisi-pembebasan.html

Dibawah Bendera Revolusi, Djilid 2





TERJUAL
Harga: Rp.500 rb (blum ongkir)
DBR djilid II, Tjetakan ke dua
Penulis : IR. Soekarno
Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi 1965
Djetakan kedua
Tebal : 599 Halaman
Hard Cover
Buku Bekas, kondisi :Seperti terlihat di gambar

Djilid kedua (599 halaman), memuat 20 pidato kenegaraan Bung Karno setiap tahun (dalam rangka memperingati 17 Agustus) sejak tahun 1945 sampai 1964. Dalam jilid kedua ini dapat kita baca antara lain :

"Tahun tantangan", "Penemuan kembali Revolusi kita",
"Jalannya revolusi kita",
"Revolusi-Sosialisme Indonesia-Pimpinan Nasional",
"Tahun kemenangan",
"Genta suara Republik Indonesia",
"Tahun Vivere Pericoloso". dll

Sejarah SUNAN AMPEL, SJAMSUDDUHA

Harga: Rp.200 rb (blum ongkir)
Kondisi: Bagus
Cetakan 1 Juni 2004
Tebal: 247 halaman

Sejarah Sunan Ampel: guru para wali di Jawa dan perintis pembangunan Kota Surabaya
Penerbit Jawa Press Pos

Surabaya, NU Online
Hasil penelitian dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, Drs H Sjamsudduha dalam penelitian sejak 1971 menyimpulkan bahwa Sunan Ampel yang merupakan "guru" para wali itu ternyata keturunan Cina. Dalam penelitian itu disebutkan, ibu Sunan Ampel berasal dari Campa, Cina.
"Ada sejarahwan yang bilang Campa itu Jeumpa di Aceh Utara, lalu saya melakukan penelitian ke Aceh, ternyata Jeumpa itu kerajaan pra Islam dan bukan pelabuhan yang mempunyai hubungan dagang dengan Pasai atau Jawa, karena itu Campa itu bukan Jeumpa, apalagi peneliti Aceh sendiri menyebut Campa itu di Indocina," katanya di Surabaya, Rabu.
Ia mengemukakan hal itu dalam bedah buku "Sunan Ampel, Guru Para Wali di Jawa dan Perintis Pembangunan Kota Surabaya" yang ditulisnya sejak 1971 dalam bentuk skripsi dan akhirnya diterbitkan sebagai buku dalam rangka "Festival Internasional Ampel 2004" pada 27 Juni - 27 Juli 2004 dengan 19 rangkaian kegiatan.
Menurut Sjamsudduha, ayah Sunan Ampel sendiri bernama Ibrahim yang berasal dari Arab, sedangkan nama ibunya beragam, diantaranya Retna Sujinah, Retna Dyah Siti Asmara, Darawati, Dewi Candrasasi atau Dewi Candrawulan, namun semua sumber sepakat bahwa ibu Sunan Ampel adalah seorang putri bangsawan Campa.
Buku yang ditulis berdasarkan bukti tertulis seperti Babad Tanah Jawi, telaah interteks, dan telaah teori serta tesis itu, katanya, juga menumbangkan teori Prof Dr Slamet Mulyono bahwa Sunan Ampel itu merupakan "aktor intelektual" runtuhnya Kerajaan Majapahit dan lunturnya ajaran agama Hindu Jawa.
"Profesor Slamet Mulyono menilai runtuhnya Majapahit itu tak lepas dari komunitas muslim Cina di bawah pimpinan Sunan Ampel yang menyerang Majapahit dengan memanfaatkan fanatisme agama, tapi hasil penelitian saya justru meragukan kesimpulan itu, karena Majapahit runtuh pada 1527 dan bukan 1478, sedangkan Sunan Ampel sendiri wafat pada 1484," katanya.
Selain itu, katanya, teks-teks yang ada justru menemukan penyebab keruntuhan Kerajaan Majapahit adalah pemberontakan Raja Keling yang merupakan bawahan Kerajaan Majapahit yang terletak di sekitar Kediri.
Dalam bukunya itu, Sjamsudduha juga mengupas ajaran Sunan Ampel yang berfaham Ahlussunnah wal Jamaah dalam akidah (keimanan), bermadzhab Imam Syafi’i dalam fiqh (hukum Islam), dan mengajarkan Thariqat Naqsyabandiyah dalam tasawuf.
Selain itu, Sunan Ampel yang bernama kecil Raden Rahmat itu berjuang dengan cara dakwah, pendidikan kepesantrenan, pembangunan kota Surabaya, dan pendidikan kader dakwah.
“Masjid Ampel yang sudah mengalami renovasi berkali-kali itu merupakan pusat perkembangan bagi kampung-kampung di Surabaya, karena itu Sunan Ampel adalah peletak dasar dan perintis dari perkembangan kota Surabaya," katanya.
Sementara itu, guru besar Universitas Negeri Malang (UNM) Prof Dr Abdul Mustopo menilai penelitian Sjamsudduha cukup penting dan karenanya harus dilanjutkan peneliti lain, karena masih banyak manuskrip tentang Sunan Ampel yang belum diungkap. "Misalnya, Sunan Ampel itu pernah mondok di Malaysia," katanya.

Senin, 17 Februari 2014

Ziarah, sebuah novel, Iwan Simatupang. Penerbit Djambatan

Harga: Rp.200 rb (blum ongkir)
Kondisi: Lumayan eks Perpust
Cetakan ketiga 1983 
Tebal: 152 hal 
Penerbit djambatan

Di sebuah negeri yang bernama Kotapraja, terdapat seorang pelukis terkenal di seluruh negeri yang dibuat terkapar tidak berdaya alias shock dan trauma setelah ditinggal mati istrinya yang sangat dia cintai, istri yang dia kawini dalam perkawinan secara tiba-tiba. Suatu ketika Pelukis mencoba bunuh diri karena ketenaran karya lukisnya yang memikat semua orang dijagat bumi ini yang mengakibatkan ia memiliki banyak uang dan membuat dia bingung. Karena kebingungannya ini sang pelukis berniat bunuh diri dari lantai hotel dan ketika terjun dia menimpa seorang gadis cantik. Dan tanpa diduga pula sang pelukis langsung mengadakan hubungan jasmani dengan si gadis di atas jalan raya. Hal ini membuat orang-orang histeris dan akhirnya seorang brigadir polisi membawa mereka ke kantor catatan sipil dan mengawinkan mereka.
Pelukis merasa benar-benar kehilangan terutama saat dia tahu bahwa istrinya mati, pelukis pun langsung pergi ke kantor sipil guna mengurusi penguburan istrinya tetapi tak ada tanggapan positif dari pengusaha penguburan. Itu terjadi karena pelukis tak tahu apa-apa tentang istrinya. Yang dia tahu hanyalah kecintaannya pada istrinya. Sehingga mayat istrinya terkatung-katung karena tak memiliki surat penguburan yang sah. Pelukis pun menghilang ketika dicari walikota (diangkat menjadi walikota setelah walikota pertama gantung diri karena tak bisa memecahkan masalah mengundang pelukis saat akan ada kunjungan tamu asing) yang ikut menghadiri penguburan Istri pelukis.
Sampai akhirnya pengusaha penguburan itu menyesali perbuatannya dan dengan keputusan walikota akhirnya mayat istri pelukis dikuburkan. Sampai penguburan usai, sang pelukis tak kelihatan. Saat kembali ke gubuknya, dia melihat wanita tua kecil yang ternyata adalah ibu kandung dari istrinya. Bercerita panjang tentang masa lalunya yang suram dan sampai saat terakhir dia bertatapan dengan anaknya yang justru membuat dilema bagi si anak. Dan sesaat kemudian pelukis memandangi keadaan sekitar yang penuh karangan bunga, membuang bunga-bunga tersebut ke laut kemudian membakar gubuknya sampai habis. Beberapa bunga yang masih tersisa ia bawa ke kuburan istrinya. Ia titipkan karangan bunga pada centeng perkuburan. Ziarah tanpa melihat makam istrinya.
Setelah itu hidup pelukis semakin tak tentu arah. Ia seolah tak pernah percaya bahwa istrinya telah mati. Pagi harinya hanya digunakan untuk menunggu istrinya di tikungan entah tikungan mana dan malam harinya di tuangkan arak ke perutnya, memanggil Tuhannya, meneriakkan nama istrinya, menangis dan kemudian tertawa keras-keras. Hingga akhirnya datang opseter perkuburan yang meminta dia mengapur tembok perkuburan Kotapraja yang sebelumnya telah berbekas pamplet-pamplet polisi bahwa dia dicari.
Pelukis menerima tawaran itu dan esoknya ia mulai bekerja mengapur tembok perkuburan Kotapraja itu 5 jam berturut-turut tiap harinya, sedangkan opseter perkuburan mengintip dari rumah dinasnya. Pekerjaan baru Pelukis ini membawa perubahan tingkah laku pelukis sehingga membuat seluruh negeri geger. Hingga Walikota akan memberhentikan opseter perkuburan. Tetapi ketika mengantar surat pemberhentian kerja itu, Walikota malah mati sendiri karena kata-kata opseter tentang proporsi. Sebelumnya juga pernah terjadi kekacauan di negeri karena opseter pekuburan memakai rasionalisme dalam kerjanya dan hanya memberi instruksi kerja pada selembar kertas pada pegawainya.
Setelah beberapa hari pelukis mengapur tembok perkuburan, pada suatu hari dia bergegas pulang sebelum 5 jam berturut-turut. Opseter perkuburan heran kemudian mendatanginya dan ternyata pelukis ingin berhenti bekerja. Opseter kebingungan tetapi pelukis menjelaskan bahwa dia tahu maksud opseter memperkerjakannya. Bahwa selain untuk kepentingan opseter sendiri, opseter ingin pelukis menziarahi istrinya yang sudah tiada itu. Keesokan harinya opseter ditemukan gantung diri. Pekuburan geger, tetapi hanya sedikit sekali empati dari pegawai-pegawai pekuburan. Penguburan opseter berlangsung cepat. Setelah penguburan, pelukis bertemu maha guru dari opseter yang kemudian menceritakan riwayat opseter.
Pada akhirnya pelukis pergi ke balai kota untuk melamar menjadi opseter pekuburan agar ia dapat terus-menerus berziarah pada mayat-mayat manusia terutama pada mayat istrinya.

Minggu, 16 Februari 2014

POSTER DJADUL Bapak Dr. H. Moh. Hatta sekeluarga

Harga: Rp.150 rb (blum ongkir)
POSTER DJADUL Bapak Dr. H. Moh. Hatta sekeluarga
Idzin Tgl. 9/4/1957 (Copy Right) Dilarang Mereproduksi
Kondisi: LUMAYAN
Ukuran: 26,5 X 19,5 cm

DEMOKRASI KITA, HATTA. Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)


Harga: Rp.100.000 (blum ongkir)
Kondisi: Lumayan 1966
tebal: 36 hal

Padi yang Tumbuh Tak Terdengar
... diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tidak lama umurnya. Sebab itu pula sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan rubuh seperti rumah kartu.

SEOLAH meramal masa depan, Mohammad Hatta menulis kalimat itu lima tahun sebelum Soekarno kehilangan kekuasaannya. Ketika itu Hatta sudah tak lagi menduduki jabatan wakil presiden. Tak lama setelah Soekarno membubarkan Konstituante dan mengumumkan Indonesia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Hatta pamit mundur. Itulah tanda dimulainya periode gelap dalam sejarah Indonesia, diberlakukannya demokrasi terpimpin. Sekaligus pada saat yang sama: berakhirnya duet Soekarno-Hatta.

Bagian penting dari Demokrasi Kita adalah kritik Hatta kepada Bung Karno. Berkali-kali, dalam berbagai pidato, Soekarno menolak demokrasi Barat yang ditudingnya saling serang, saling terjang (free fight democracy). Menurut Bung Karno, demokrasi ala Barat ini membahayakan persatuan. Itulah sebabnya, ia menggagas demokrasi yang ditopang empat kaki: nasional, Islam, komunisme, dan tentara.

Gagasan ini diwujudkan dengan konsep Nasakom (persatuan kaum nasionalis, agama, dan komunis). Soekarno yang gandrung akan persatuan menganggap gagasannya ini bisa menghindari pertempuran antarkelompok. Untuk mewujudkan gagasannya, ia membubarkan Konstituante-dewan perwakilan yang ia tuding hanya sibuk berkelahi sehingga gagal menyusun konstitusi pengganti Undang-Undang Dasar 1945. Keputusan Soekarno membubarkan parlemen ini sebagian diambil karena desakan tentara, kekuatan politik yang perannya sangat minim dalam pentas nasional.

Inilah yang terutama dikritik Hatta. "Demokrasi bisa ditindas sementara karena kesalahannya sendiri, tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit ia akan muncul kembali dengan penuh keinsafan," demikian Hatta menulis.

Saling serang Soekarno-Hatta sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Demokrasi Kita ditulis. Bung Karno, seperti dikutip Cindy Adams dalam Penyambung Lidah Rakyat, pernah berkata, "Aku dan Hatta tidak pernah berada dalam gelombang yang sama."

Hatta menyebut Soekarno sebagai orang yang tak pernah masuk ke detail, hanya bicara garis besar. Seraya mengutip hikayat Goethe's Faust, Hatta menuding Karno sebagai kebalikan tokoh Mephistopheles yang mengklaim dirinya sebagai, "... ein Teil jener Krafte, die stets das Base will und stets das Gute schafft"-bagian dari satu tenaga yang selalu menghendaki yang buruk tapi selalu menghasilkan yang baik. "Soekarno kebalikan dari itu. Tujuannya baik tapi langkah-langkah yang diambilnya kerap kali menjauhkan dia dari tujuan itu," tulis Hatta.

***

PERNAH Soekarno mempermasalahkan Hatta yang mengeluarkan Maklumat Nomor X, 3 November 1945. Dalam maklumat itu Hatta menyampaikan partai-partai perlu diberi tempat untuk tumbuh.

Ide Hatta sederhana saja: partai adalah alat bagi publik untuk menyampaikan aspirasi politiknya. Karena itu, kata Hatta, "Sedjauh tetap memperdjuangkan mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan, Pemerintah menjukai timbulnja partai2 politik, karena dengan adanja partai2 itulah dipimpin ke djalan yang teratur segala aliran paham jang ada dalam masjarakat."

Soekarno menyebut maklumat itu pintu ke arah perseteruan antarpartai. "Terima kasih Tuhan bukan Soekarno yang menandatangani maklumat itu," kata Soekarno dengan sinis.

Dalam ceramahnya di Institut Pertanian Bogor, Juni 1966, Bung Hatta kembali menjawab serangan Bung Karno. Hatta tak membantah bahwa sistem multipartai di Indonesia membawa ekses buruk, yakni pertarungan tak sehat partai-partai serta lahirnya pemerintahan yang lemah pada masa demokrasi parlementer (1955-1959). Tapi katanya, "Bukan dalam Maklumat Wakil Presiden 3 November 45 yang menegaskan adanya demokrasi terletak kesalahan, tetapi dalam partai-partai dan para pemimpin yang lupa daratan." Dengan kata lain, Hatta membedakan ide dengan praktek.

Partai politik yang lahir pada masa demokrasi parlementer memang menunjukkan sisi buruk demokrasi. Partai dibanjiri orang-orang yang berebut posisi, mengincar kedudukan dan pembagian rezeki. Partai berkembang biak. Anggota partai yang lama memisahkan diri dan membentuk partai baru bukan karena perbedaan ideologis tapi karena persoalan "rezeki" yang tak merata.

Dalam Demokrasi Kita, Hatta mengkritik keadaan ini. Menurut dia, partai-partai sesungguhnya belum mempraktekkan demokrasi karena keputusan di dalam partai tidak diambil dari bawah melainkan didrop dari atas.

Ketika itu negara tak menentu. Pemerintah jatuh-bangun. Kabinet tidak dianggap sebagai amanah orang ramai, tempat orang menerapkan jimat ajimumpung. Partai menjadi agen korupsi, menjadi pemberi lisensi agar uang masuk ke kas partai untuk kepentingan pemilihan umum. Akibatnya, kabinet tidak memikirkan negara. Agenda menyejahterakan masyarakat terabaikan. Rakyat mengeluhkan demokrasi: daerah tidak dipedulikan-agenda otonomi diabaikan. Tentara berang.

Di sinilah Hatta menyimpulkan bahwa demokrasi parlementer yang ultrademokratis melahirkan kediktatoran. Katanya, "Perkembangan politik yang berakhir dengan kekacauan, demokrasi yang berakhir dengan anarki membuka jalan untuk lawannya: diktator."

***
Demokrasi Kita pertama kali dimuat di majalah Pandji Masjarakat yang dipimpin Buya Hamka pada 1960. Tapi justru karena tulisan itu Pandji dibreidel oleh Perdana Menteri Subandrio. Buya Hamka, pemimpin redaksinya, dipenjarakan.

Buku tipis, 36 halaman, ini baru diterbitkan pada Juni 1966 setelah Soekarno jatuh. Pemerintah melalui Keputusan Menteri Jaksa Agung tanggal 30 Mei 1966 mengumumkan bahwa artikel itu boleh diterbitkan dalam bentuk buku. Dijual dengan harga Rp 3 per buah, Demokrasi diterbitkan dalam dua bahasa: Indonesia dan Inggris.

Sejarawan Amerika, George Kahin, menyebut Demokrasi sebagai "salah satu pernyataan yang paling jelas tentang aspek-aspek terpenting dari pemikiran politik dan sosial-ekonomi Hatta". Sejarawan Taufik Abdullah menyebutnya sebagai "otobiografi intelektual", yang meringkaskan perjalanan pikiran dan pengalaman Hatta sebagai seorang patriot dan negarawan.

Buya Hamka menganggap terbitnya Demokrasi Kita adalah anugerah. "Satu obat penawar karena buku ini dikeluarkan setelah saya dibebaskan dari tahanan selama dua tahun empat bulan karena fitnah prolog Gestapo/PKI dan Biro Pusat Intelijen," tulis Hamka dalam pengantar Demokrasi Kita.l l l

Lahir pada 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat, Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal ketika Hatta berusia delapan bulan. Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Sejak duduk di MULO di Kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda, seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.

Ketika umurnya belum 10 tahun, pada 1908, Hatta mengalami pengalaman pahit. Ketika itu di Aur Tajungkang, Bukittinggi, sejumlah serdadu marsose dengan bayonet terhunus menggeledah orang-orang yang lewat.

Pemerintah kolonial murka karena di Kampung Kamang, 16 kilometer dari rumah Hatta, rakyat berontak: mereka menolak membayar pajak langsung. Ketika konflik meletus, 12 orang marsose tewas dan 100 penduduk ditembak mati. Razia dilakukan, orang-orang ditangkap. Termasuk di antara orang yang dicokok adalah Rais, sahabat kakek Hatta. Momen ketika Rais melambai dari jendela kereta api dengan tangan yang dirantai tak pernah hilang dari ingatan masa kecil Hatta.

Pengalaman demi pengalaman pahit menggembleng Hatta. Ia memang bukan Soekarno yang sanggup membakar massa melalui pidato-pidatonya yang memikat. Hatta lebih banyak diam: ia lebih suka menulis. Isi buku-bukunya menggambarkan spektrum minatnya yang luas: politik, ekonomi, sosial, dan sastra.

Tokoh yang disukai Hatta adalah Multatuli, nama samaran Eduard Douwes Dekker, penulis Belanda yang pernah menulis novel Max Havelaar. Satu ucapan Dekker yang kerap dikutip Hatta, dengan tepat menggambarkan sosok bekas wakil presiden itu: onhoorbaar groeit de padi, tak terdengar tumbuhlah padi. Hatta adalah padi yang tak terdengar itu.

Demokrasi Kita Penerbit: PT Pustaka Antara, Jakarta (1966)

--------



Rabu, 12 Februari 2014

SERAT JAYENGBAYA, R. Ng. Ranggawarsita

Harga: Rp.100 rb (blum ongkir)
Cetakan pertama 1988
Tebal: 196 halaman

Serat jayengbaya adalah sebuah kisah yang mudah difahami, lucu tapi penuh makna. Ia menceritakan tentang seorang yang bernama jayengbaya yang amat gemar berkhayal. Ia berangan angan untuk memilih pelbagai jenis kehidupan dan status yang berbeda. Dari penjaga kuda, penabuh gamelan, pemain topeng reog, hingga ke pengacara, pencuri, orang gila, pengemis, anjing dan bahkan hampir-hampir bermimpi untuk menjadi tuhan. Malah saat berangan menjadi tuhan, dia akhirnya menjadi lebih ketakutan, lanmtas memilih lebih baik diri disambar geledek.

Akhirnya, setelah berangan-angan dan membuat perbandingan, dia memilih untuk menjadi dirinya sendiri.. iaitu orang yan g biasa-biasa sahaja serta hidup sederhana.

JAYENGBAYA membuktikan bahawa kesedrhanaan dalam hidup itu adalah mencerminkan kebahagiaan jiwa raga yang berkekalan....

Serat Cemporet, R. Ng. Ranggawarsita






Harga: Rp.150 rb (blum ongkir)
Kondisi: Lumayan bagus
Tebal: 413 halaman
Cetakan keenam tahun 1987

Serat Cemporet lebih terkenal lantaran digubah memakai bahasa Jawa yang indah. Zaman dahulu, sebelum Jepang menjajah Indonesia, buku tersebut digemari banyak orang untuk bacaan, khususnya yang senang melantunkan macapat. Namun demikian, juga tidak sedikit orang yang mencela kitab tersebut lantaran bahasa yang digunakan terlalu halus (bahasa sastrawi tinggi). Obrolan orang desa yang memakai bahasa tadi dianggap terlalu tinggi, sehingga terkesan dibuat-buat.
Kesan itu pernah ditulis oleh Prof. Dr. R. Ng Purbacaraka dalam bukunya “Kepustakaan Jawa”. Tapi banyak juga orang yang setuju dengan pendapat tersebut karena karya sastra itu mempunyai kebebasan dalam memilih kata-kata, dan tidak harus mengikuti idiom-idiom yang ada di masyarakat tertentu.
Serat Cemporet tersebut sampai sekarang masih digemari. Cerita yang dipaparkan dalam kitab ini benar-benar memikat dan memukai pembaca. Pintarnya sang pujangga dalam menghubungkan ceritanya memang mumpuni. Yang menjadi tokoh tidak hanya manusia saja, tapi ada juga dunia gaib siluman/dewa beserta hewan-hewan. Namun demikian, pujangga Ranggawarsita juga tidak lupa menyisipkan nasihat-nasihat atau petuah-petuah arif yang berasal dari nenek moyang.
Serat Cemporet Ranggawarsita, kisahnya memang ceritera kuno, bagian akhir dari pustaka Rajaweda, yaitu mengenai Negara Purwacarita di istananya Raja Sri Maha Punggung. Awal ceritanya, Raja Suwelacala memiliki putra 6 orang, yaitu:
1. Raden Jaka Panuhun yang suka bertani. Dia merangkul petani tlatah Pagelan dan sekitarnya. Raden Jaka Panuhun berputra 3 orang, yang sulung bernama Raden Jaka Pratana. Badannya cebol. Lalu yang nomor dua bernama Raden Jaka Sangara yang punya cacat saat lahir, dan yang bungsu bernama Raden Jaka Pramana dari ibu keturunan jin.
2. Raden Jaka Sandanggarba, membawahi masyarakat pedagang di Jepara dengan julukan Sri Sadana. Raden Jaka Sandanggarba berputra 5 orang, yaitu Raden Jaka Sudana, Raden Jaka Barana (Daniswara), Raden Jaka Suwarna (Anggliskarpa), Raden Jaka Pararta dan Dewi Suretna.
3. Raden Jaka Karungkala yang membawahi daerah Prambanan dengan julukan Sri Kala. Raden Jaka Karungkala berputra 4 orang, yaitu Dewi Karagan, Dewi Jonggrangan, Raden Jaka Sangkala (Arya Pramadasakala) dan Raden Jaka Pramada (Raden Prawasata).
4. Jaka Tunggulmetung yang membawahi di Pagebangan, memimpin petani garam dengan julukan Sri Malaras. Jaka Tunggulmetung berputra 2 orang, yaitu Raden Jaka Suwarda dan Raden Jaka Damedas.
5. Raden Jaka Petungtantara yang menjadi pimpinan maharesi Medhangkawit dengan julukan Resi Sri Madewa. Pusat kerajaannya di Pamagetan, lereng Gunung Lawu. Raden Jaka Petungtantara berputra dua orang, yaitu Dewi Resi dan Raden Surasa (resikana).
6. Raden Jaka Kandhuyu berkuasa di Purwacarita dengan julukan Sri Maha Punggung, yang bertahta pada tahun Surya 1031 atau 1061. Istrinya ada 3 orang, yang kesemuanya adalah putra seorang dewa. Istri pertama bernama Dewi Sundadari, punya anak bernama Raden Kandaga (Raden Lembu Jawa atau Arga Kalayuda) dan Raden Kandiyana.
Istri kedua yaitu Dewi Mandyadari Retna Kenyapura yang berputra Raden Kandawa. Istri yang ketiga, Dyah Upalagi, berputra Raden Kandeya (Arya Pralambang) dan Raden Kandiyana.

Tersebutlan dalam ceritera tadi mengenai Raja Pagelen yang punya keinginan menikahkan putranya, Jaka Pramana dengan Dewi Suretna, putri raja di Jepara. Lalu, timbul masalah lantaran Jaka Pramana belum berhasrat nikah jika kakak-kakaknya yang cacat tadi belum menikah. Begitu juga Dewi Suretna tidak mau menikah dengan putra raja di Pagelen, lantaran dikira bakal dinikahkan dengan yang menyandang cacat.

Sumber:

MEKAR SARI edisi 25 November 1992 hal. 20

Related Post

ShareThis