.

.

Sabtu, 30 Juni 2012

Cerita dari Blora


 TERJUAL BY JAKARTA & BANDUNG

Kondisi: bagus, cet III 2001
tebal: 324 hal
berat:0,46 Kg
Novel-Biografi Cerita dari Blora - Pramudya Ananta Tur

Pengantar oleh H.B. Yasin

Dua puluh sembilan bulan dalam tawanan Belanda bagi Pram adalah masa pengalaman, penderitaan, pemikir­an dan pengkhayalan yang mematangkan dan menyu­bur­kan jiwa. Dari masa inilah berasal sembilan dari sepuluh ce­rita pendeknya yang terkumpul dalam PERCIKAN RE­VOLUSI (Gapu­ra, Jakarta 1950), romannya KELUARGA GE­RILYA (Pemba­ngunan, Jakarta 1950), kedua novelnya PERBURUAN (Balai Pus­taka 1950) dan BLORA yang dimuat dalam kumpulan cerita pendeknya SUBUH (Pembangunan, Jakarta 1950).
Dalam masa ia terasing banyaklah Pram teringat kepada negeri kelahirannya Blora, kepada masa kecilnya dalam ling­kungan keluarga yang besar, kepada ibu, seorang perem­puan yang saleh, penuh pengorbanan dan ketubian kepada suami dan anak, lembut dan pengasih tapi tahu disiplin, kepada ayah yang mempunyai daerah kegiatan yang besar dan kepada adik-adik seorang demi seorang, yang dia sebagai putera tertua merasa bertanggung-jawab terhadap nasib mereka di kemudian hari.
PERBURUAN yang diilhamkan oleh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar waktu pendudukan Jepang, seluruhnya bermain di kota Blora dengan kali Lusi-nya yang bersejarah. “Sebuah cerita khayal”, Pram menerangkan di bawah kepalanya. Memang banyak Dichtung dalam cerita ini, tapi bebe–rapa tokoh serasa-rasa kita kenali juga dari cerita-cerita Pram yang lain. Lebih jelas tokoh-tokoh itu dalam BLORA, yang juga adalah mimpi seorang tawanan, BLORA yang dalam istilah Freud adalah suatu wensdroom, suatu mimpi yang dimimpikan karena keinginan, demikian besarnya hasrat hendak bertemu dengan orang tua dan adik-adik. Dan mimpi-mimpi karena keinginan ini segera disusul dengan pertemuan dalam Realität yang menghasilkan BUKAN PASAR MALAM (Balai Pustaka, 1950), pertemuan yang menye­dihkan dengan ayah dan adik-adik di negeri kelahiran, enam bulan sesudah lepas dari tawanan.
Dan kesadaran yang meruang akan fananya segala, kesadaran inilah pada hemat saya salah satu pendorong pencipta akan meng­­abdi­kan segala sesuatu. – Manusia lahir dan mati. Apakah peninggalannya? – Hanya kenang-kenangan pada yang tinggal. – Dan untuk berapa lamanya?
Di dalam buku ini Pram menyajikan pula cerita-cerita dari Blora yang hampir semuanya ditulis beberapa bulan sesudah ia merdeka dari tawanan. Blora, daerah kapur yang miskin, di mana seorang sebelum bisa hidup dengan segobang sehari, penghasil­an seorang buruh tani kecil 11/2 sen sehari dan dengan gaji beberapa rupiah sebulan orang berani hidup berkeluarga dalam segala kemiskinan. Di mana ada orang yang karena kemiskinan mau menyewakan diri untuk men­cabut nyawa orang lain de­ngan persenan sepuluh rupiah atau jadi pembegal di hutan jati. Di mana anak pe­rem­­puan dika­winkan pada umur enam tahun de­ngan maksud meringankan beban orang tua dan di mana tidak jarang perem­puan men­jualkan diri untuk mencari nafkah hidupnya. Dan dalam melukiskan kebodohan, kepicikan dan kelemah­an orang-o­rang ini, Pram selalu menunjukkan rasa kasihan, meskipun di sana-sini terasa pula kepahitan yang membikin dia kadang-kadang menjadi kasar.
Menarik hati tokoh ayah yang dilukiskan oleh Pram dalam KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dan DIA YANG MENYERAH, yang kita temui pula dalam BUKAN PASAR MALAM. Ayah yang hidupnya intens. Kepala sekolah partikelir yang didirikan dalam perang dunia pertama, yang memberikan segala tenaganya dalam tahun-tahun tiga puluhan kepada gerakan kebangsaan, gerakan kepanduan dan mendirikan koperasi dan bank rakyat di sam­ping jadi guru partikelir giat pula memberikan kursus politik, eko­nomi dan pengetahuan umum di rumahnya sendiri. Dan ayah inilah pula yang menjadi penjudi yang tahan empat hari empat malam tidak beralih dari tempat duduknya mencari hiburan karena usaha-usahanya digagalkan oleh pemerintah kolonial: sekolah dibikin lumpuh, buku-buku pelajaran disita, guru-guru dilarang mengajar, anak-anak pegawai gubernemen dilarang
Pramoedya - Cerita dari Blora
sekolah di perguruan partikelir, bank rakyat dirintangi bekerja. Seorang nasionalis tulen yang kecewa di waktu Jepang dan di waktu revolusi tetap setia kepada pemerintah Republik tatkala Blora beberapa waktu diduduki oleh pasukan merah dengan terornya yang dahsyat. Dibandingkan dengan perhati­an­­nya terhadap tokoh ayah ini, Pram agak sedikit menyoroti tokoh ibu yang lebih dulu meninggal dari ayah, meskipun dia dengan hormat memper­ingatinya sebagai seorang ibu yang bijaksana, lembut tapi keras pada waktunya, tahu harga diri, halus perasaan, membimbing, penuh kasih-sayang dan sabar terhadap anak-anaknya.
Dalam semua cerita Pram terasa-rasa kekeluargaan yang erat antara pelakon-pelakon. Seorang demi seorang kita bisa dapati kembali tokoh-tokoh ayah, ibu, gadis-gadis yang keibuan dalam keluarga, anak-anak lelaki, masing-masing dengan rasa tang­gung-jawab yang besar. Dan sebagai suatu keluarga guru yang ingin maju, kita selalu mendapati pikiran: belajarlah baik-baik untuk kebaikan hari kemudianmu. Seringkali Dichtung menye­lubungi Realität dengan tebalnya, sebagai pernyataan jiwa yang kepenuhan. Ini misalnya keras sekali dalam novel KELUARGA GERILYA dalam mana reali­tas kadang-kadang dilangkahi dan idé menguasai suasana.
Dalam tujuh cerita pendek yang pertama dalam kumpulan ini Pram melukiskan masyarakat waktu zaman kolonial dan mes­kipun tidak sekali juga menyebutkan angka-angka tahun, kita dapat juga menangkap perkembangan kesejarahan dalam hidup pergerakan dan kemajuan masyarakat sebelum perang dunia kedua. Misalnya dalam cerita KEMUDIAN LAHIRLAH DIA dengan jelas terbayang perjuangan kaum nasionalis Indonesia di lapangan sosial dan pengajaran menghadapi pemerintah kolonial. Terutama gugatan sosial yang lahir dari perasaan keadilan dan kemanusiaan adalah kekuat­an Pram yang istimewa. Gugat­an terhadap kemiskin­an, kebodohan, pergundikan dan pelacuran karena kemiskinan. Dan keadilan dan kemanusia­an itu baginya lebih penting dari segala-gala. Juga dari bentukan-bentukan dan dogma-dogma ideologi. Seorang Karmin yang berkhianat karena kekhilafan dan dengan tidak disadarinya seperti diceri­takan dalam PERBURUAN oleh Pram masih diberi ampun dan ke­sempat­an untuk memperbaiki diri dan dia dengan tegas menuntut kebahagiaan hidup dan keadilan juga bagi ANAK HARAM yang dikutuki masyarakat karena ayahnya berkhianat ber­tahun-tahun malah berpuluh tahun yang lalu dalam perjuang­an. Bagi Pram kutukan “tujuh turunan” adalah perbuatan yang tolol, sebab diukur dengan akal budi apakah hak manusia untuk meng­hukum makhluk yang tidak bersalah?
Pram tidak memberatkan simpatinya kepada sesuatu isme ke­cuali kepada humanitas. Dalam DIA YANG MENYERAH hidup sekali Pram melukiskan jiwa revolusioner pemuda merah, kom­plit dengan istilah-istilah feodal, borjuis, kapitalis, impe­rialis dsb. Sangat realistis lukisan-lukisannya tentang kekejaman-kekejaman yang mendirikan bulu roma dari kedua belah pihak, tapi pikiran kemanusiaan yang lebih agung muncul pada gadis Diah yang menangisi kejadian-kejadian yang melanggar peri-kemanusiaan. Dan di sini Pram melukiskan tragik tiap perjuangan: Ayah, nasionalis tulen yang anti komunis. Pasukan merah yang anti nasio­nalis karena mereka ini pro pemerintah nasional yang dianggap mereka pula kaki tangan imperialis-kapitalis Amerika. Datang pula Sucipto dari tentara Kerajaan dengan istilah-istilahnya pula mencap perampok orang-o­rang nasionalis dan ko­munis. Dan semua mereka ini bertujuan dan berkeyakinan memba­wa keselamatan dan kesejahteraan dan untuk itu berbunuh-bu­nuhan.
Banyak anasir-anasir pengalaman dan kenangan oto­biografis dalam cerita-cerita ini, tapi soal-soalnya cukup diperumum de­ngan warna-belakang kesejarahan dan kema­syarakatan yang luas.

Jakarta, 13 Januari 1952*

________
* Pengantar oleh H.B. Yasin ini terdapat dalam buku cetakan pertama 1952.
Hanya ejaan disesuaikan dengan EYD, isinya sepenuhnya tetap sama – ed.


PERBURUAN


TERJUAL BY JOGJA
Harga: Rp.150.000 Pas net. (blum ongkir)
Kondisi: BAGUS. CETAK ulang KE IV HASTA MITRA JANUARI 2002
TEBAL: 163 HAL.
BERAT: 0,25 Kg
Menulis baginya bukan sekadar mengetik dan menggerakkan imajinasi. Jauh lebih serius daripada itu, bagi Pramoedya menulis sudah seakan menjadi religi. Memang justru lewat Perburuan inilah, Pramoedya mengakui mengalami untuk pertama kali penghayatan gaib dalam karier sebagai seorang pengarang. Itulah pengalaman mistisnya yang pertama, tetapi kemudian penghayatan itu menunggal mendarah daging dengan seluruh jiwa dan raga, dengan sikap dan semangatnya pada tap kali ia menulis buku-bukunya yang sesudah itu menyusul. Dia hidup untuk menulis, dan menulis untuk hidup. Mengertilah kita sekarang bahwa orang yang sadar merasa dirahmati amanat Ilahi seperti itu tidak bisa ditahan untuk menulis -- apa pun yang terjadi baginya: menulis jalan terus, sebagaimana kebutuhan kita semua untuk bernafas. Ilmuwan dan kritikus sastra Indonesia A. Teeuw menulis dalam 'Pramoedya Ananta Toer -- De Verbeelding van Indonesie', bahwa "... bagi Pramoedya menulis adalah berjuang untuk kemanusiaan suatu kemampuan memandang ke dalam nilai-nilai eksistensi kehidupan (dan ini mengatasi segala ideologi nasional atau politik!)..." Sewaktu Pramoedya masih di Pulau Buru, Prof. Teeuw juga menulis (1979): "... kendati apa pun dikatakannya mengenainya, Pramoedya tetap merupakan penulis yang hanya satu lahir dalam satu generasi, bahkan satu dalam satu abad...."
Menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1994, Hasta Mitra menerbitkan kembali karya klasik Pramoedya Ananta Toer ini, sebuah novel yang telah mengantarkannya langsung tegak berdampingan dengan para penulis dunia, bukan hanya karena kisah Perburuan kebetulan erat kaitannya dengan hari bersejarah itu, terutama karena kita merasa kali ini kita merayakan Hari Kemerdekaan dalam suasana keterbukaan yang lebih balik, lebih maju dan lebih nyaman. Iya 'kan?
Keterbukaan bukan sekadar ada kaitannya dengan kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran tertentu; lebih daripada itu keterbukaan adalah suatu kondisi sosial -- suatu state of mind. Menerapkan dan memberlakukan keterbukaan dalam masyarakat sangat erat berkait dengan kelahiran produk-produk sosial baru, kelahiran rasio dan paradigma baru, wawasan baru yang rasional dan sehat; meninggalkan segala ketertutupan dan ketidak-dewasaan yang tidak sehat.
Semoga sidang pembaca dapat ikut menikmati persembahan Hasta Mitra ini: sebuah mutiara paling cemerlang, di saat kita sama-sama merayakan Hari Besar Kemerdekaan Nasional kita.
Joesoef Isak, ed.
Jakarta, 17 Agustus 1994

AROK DEDES


 TERJUAL
Harga: Rp.100.000 (blum ongkir)
Kondisi: BAGUS. CETAK KE III HASTA MITRA MARET 2000
TEBAL: 418 HAL.
BERAT: 0,60 Kg
AROK DEDES adalah novel-sejarah yang seperti juga tetralogi “Bumi Manusia” ditulis Pramoedya Ananta Toer di Pulau Buru. Kesulitan dana akibat bertubi-tubi diberangus oleh kekuasaan represif rejim Orde Baru menyebabkan “Arok Dedes” ini baru sekarang dapat kami terbitkan. Masih ada tulisan pen­ting lain ditulis Pramoedya di Buru yang kami harapkan bisa menyu­sul terbit dalam waktu dekat, yaitu satu-satunya karya dalam bentuk drama/sandiwara berjudul “Mangir”. Sebenar­nya masih ada satu karya besar lagi yang berbobot setara dengan “Arus Balik” dan “Arok Dedes”, tetapi sangat disesalkan karya besar itu sirna, sudah tidak tentu lagi rimbanya ke mana.
“Mata Pusaran”, demikian judul novel-sejarah yang hilang itu, berkisah tentang awalnya disintegrasi kekuasaan Majapahit oleh konflik intern yang mencetuskan perang paregreg antara Ratu Suhita dengan panglima perempuannya Ni Paksini/Ni Ken Supraba melawan Bhre Wirabhumi dari Lumajang.
Naskah utuh yang sebenarnya sudah rampung itu pernah dititipkan oleh penulis pada seorang perwira angkatan laut pada saat mening­galkan pulau Buru, tetapi disita oleh penguasa de­ngan cara dan praktek-praktek kebiasaan Orde Baru: tanpa kejelas­an otoritas dan proses penyitaan sehingga tidak memung­kinkan mengclaimnya kembali atau bahkan mengusut keber­adaannya. Juga tidak ada jaminan sama sekali naskah sitaan itu tersimpan dan terpelihara baik terhadap berbagai kemungkin­an kemusnahan. Kekhawatiran ini ter­nyata ber­alasan sekali. Se­orang ilmuwan Belanda yang rajin mencari literatur di pasar buku tua di Pasar Senen Jakarta secara mengherankan sekali menemukan naskah “Mata Pusaran” itu. Apa yang dia temukan masih dalam format ketik-ketikan setengah folio yang sudah difotokopi, namun sa­ngat disayangkan tidak lengkap, tidak utuh.
Orang Belanda itu yang menyadari betapa berharganya pene­muannya itu telah menyerahkan apa yang tersisa dari “Mata Pusar­an” itu kepada redaksi Hasta Mitra. Dalam hubungan itu kami di sini ingin mengimbau semua pihak agar juga melakukan hal yang sama bila kebetulan dapat menemukan naskah tersebut, dalam keadaan utuh atau pun sepotong-sepotong. Pramoedya dengan sangat kecewa mengatakan bahwa usia dan kesehatannya sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk menulis ­ulang novel tsb. Oleh karena itu, dari lembaran-lembar­an tersisa yang mung­kin masih dapat dilacak kembali, redaksi – dengan bantuan pembaca – berniat sedapatnya menghimpun dan merampungkan kembali no­vel itu agar menjadi naskah utuh untuk dapat dibaca oleh segenap peminat karya-karya Pramoedya.

Kembali mengenai buku “Arok Dedes”, mungkin menarik untuk dicatat di sini bahwa novel ini ditulis oleh Pramoedya seper­empat abad yang lalu dalam status sebagai tahanan di Buru pada saat kekuasaan rejim Suharto sedang sejaya-jayanya. Ciri yang khas dari kepujanggaan Pramoedya adalah bahwa dia de­ngan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia, terutama generasi muda­nya, tentang mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat seperti sekarang ini. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra – lepas dari slogan, propaganda dan jargon politik – meski kisah yang dia bawa sarat muatan politiknya. Dan lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara kita sendiri.
Pramoedya pernah mengatakan bahwa kudeta pertama yang terjadi dalam sejarah Nusantara kita adalah ketika Ken Arok tampil merebut kekuasaan Tumapel. Kisah “Arok Dedes” ini merawikan peristiwa kudeta pertama dalam sejarah Nusantara kita itu. Kudeta atau coup d’etat ada­lah pengertian modern tentang pe­rebut­an kekuasaan negara, namun dalam sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara perebutan kekuasaan negara seperti itu sudah pernah terjadi pada awal abad 13. Tetapi kudeta di abad 13 itu berlangsung khas dan unik. Pramoedya yang kenal betul kebudayaan Jawa sampai ke tulang sumsum membeberkan bagaimana de­ngan kelihaian yang canggih Arok berhasil menjadi Akuwu Tumapel menying­kirkan Tunggul Ametung. De­ngan dukung­an kelompok agama di Jawa – dalam hal ini tokoh pendeta Syiwa – Ken Arok berhasil bertengger di puncak kekuasaan lewat “kudeta à la feodal Jawa”, licik munafik, tidak terbuka, lempar batu sembunyi tangan.
Tidak terlalu mengherankan bila para pembaca setelah meng­ikuti kisah “Arok Dedes” Pramoedya – walau tidak disuruh – asosiasi mereka dengan sendirinya segera pindah dari abad 13 langsung ke abad 20 di tahun 1965-an. Sampai hari ini pun belum selesai orang mengkaji apa yang sebenarnya terjadi di tahun 1965 itu. Bagai­mana bisa ter­jadi “peralihan kekuasaan” dari Presi­den Soekarno ke Suharto? Bagaimana orang yang mengkup kekuasaan justru berhasil melempar tuduhan kup itu kepada pihak-pihak lain sampai yang difitnah menjadi korban kesengsaraan dan penderitaan – bagai­mana orang yang memberi informasi tentang bakal terjadi­nya kup, malah ditangkap dan dipendam lebih tigapuluh tahun dalam penjara?
Nalar ilmu mengatakan bahwa sejarah tidak mungkin ber­ulang. Itu betul sekali, akan tetapi dari sejarah itu jugalah akan bisa kita baca berbagai gejala kemiripan masakini dan masa lampau. Cukup banyak terdapat analogi yang dapat memperkaya wawasan budaya dan politik kita untuk me­ngenali diri kita sendiri – ­membaca hari ini dan masa depan lewat pelajaran hal-ihwal yang diwarisi masa lampau, lewat sejarah yang menjadi asset kaya bagi mereka yang mau belajar dan menarik manfaat dari ber­bagai pengalam­an yang telah terjadi.
Kurang-lebih 25 tahun yang lalu dalam keadaan terkucil di pulau pembuangan Buru, lahirlah kisah AROK DEDES Pramoedya ini. Dengan media sastra dan berpaling ke sejarah kita sendiri, Pramoedya berkisah dan me­nyampaikan pesan kepada bangsa dan generasi mudanya menge­nai keberadaan kehidupan dalam era rejim Orde Baru yang sedang dijalani Indonesia.
Demikianlah catatan pendek tentang “Arok Dedes” sebelum kami menutup pengantar ini dengan satu catatan yang mungkin menarik untuk tidak dilewatkan.

“Arok Dedes” adalah karya Buru Pramoedya Ananta Toer terbit­an Hasta Mitra yang pertama kali diterbitkan setelah Suharto lengser bulan Mei 1998 tahun lalu. Dalam “era reformasi” dan suasana euforia atas kejatuhan militerisme Orde Baru dan lahirnya “kebebasan pers”, patut dicatat di sini bahwa sampai kata pengan­tar penerbit ini naik ke percetakan, tidak pernah larangan atas buku-buku Pramoedya oleh Kejaksaan Agung itu dicabut. Pramoedya sebagai penulis dan kami sebagai editor/penerbit, memang tidak terlalu meng­andalkan keputusan resmi seperti itu. Pencabutan larangan terbit sebenarnya merupakan suatu langkah untuk kepentingan citra Pemerintah sendiri. Bagi kami, ada atau tidak ada pencabutan larang­an buku-buku yang dibrei­del, kami akan tetap jalan terus seperti biasa selama syarat-­­­syarat beaya cetak masih mampu kami penuhi. Menerbitkan buku adalah kerja politik untuk menegakkan apa yang menjadi hak paling sah dari setiap individu.
Bukankah semua buku-buku Pramoedya ­– terutama karya-karya Pulau Buru – justru diterbitkan semasa Suharto masih sekuasa-­kuasanya? Tidak kami tunggu kebaikan hati para pe­nguasa militer, kejaksaan, kepolisian dan birokrasi sampai mereka menghadiahi kami kebebasan bersuara, kebebasan untuk mener­bitkan buku-buku yang kami ingini. Dalam kenyataan bukan kebebasan atau kelonggaran, sebaliknya rejim Suharto tak henti-hentinya memberangus Pramoedya dan Hasta Mitra, tetapi Pramoedya dan Hasta Mitra pun tak henti-hentinya bangkit lagi setiap kali setelah digebuk. Secara ekonomis kami memang babak-belur, tetapi secara politik kami tidak pernah tertaklukkan. Tekad untuk tetap terbit semasa rejim represif Orde Baru adalah bentuk sumbang­an Pramoedya dan Hasta Mitra untuk ikut menegakkan demokrasi, karena kami sadar bahwa kebebasan dan hak-hak azasi kami di jaman Orde Baru adalah sesuatu yang harus kami rebut dan tegakkan sendiri, bukan sesuatu yang bisa diharapkan bakal dihadiahi oleh Suharto atau seorang Habibie.

Akhirnya ingin kami sampaikan di sini tentang kepergian untuk selama-lamanya se­­orang rekan dan salah seorang dari tiga pendiri Hasta Mitra pada bulan Juni yang lalu, bung Hasyim Rachman, pada saat Pramoedya sedang bersafari selama tiga bulan di Amerika Serikat, Kanada, Belanda, Prancis dan Jerman. Bung Hasyim Rachman adalah seorang wartawan yang seperti juga Pramoedya dipenjarakan oleh rejim Suharto selama 14 tahun, sepuluh tahun di antaranya di Pulau Buru. Selepas Buru dia de­ngan caranya sendiri sejak hampir 20 tahun yang lalu telah ikut mempelopori pertarungan panjang melawan kekerasan rejim Orde Baru. Dia ikut aktif menegakkan demokrasi lewat usaha penerbitan buku, jadi sudah sejak lama dia bekerja sebelum gerak­an era reformasi pemuda/mahasiswa mulai bangkit untuk me­num­bangkan jendral Suharto pada 1998 tahun yang lalu.
Apa yang dapat kami lakukan bagi rekan yang sudah pergi le­bih dulu, tidak lain adalah ketetapan hati untuk meneruskan segala yang positif yang pernah dia kerjakan – yaitu meneruskan penerbitan buku-buku bermutu – dalam hal ini sekurang-kurangnya menyelenggarakan program penerbitan ulang karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama buku-buku yang dilarang semasa rejim Orde Baru.
Joesoef Isak, ed.


ARUS BALIK


 TERJUAL BY JAKARTA
Harga: Rp.800 rb (blum ongkir)
Kondisi: Bagus, soft cover
HASTA MITRA CETAKAN KE V 2002
Tebal: Kata pengantar ixiii hal + Isi 760 halaman
BERAT: 0,95 kG

Karya Pulau Buru

Arus Balik -- Sebuah epos pasca kejayaan Nusantara sebagai kekuatan dan kesatuan maritim pada awal abad 16.

Lembaga Magsaysay :
Pramoedya Ananta Toer
"... menerangi dengan kisah-kisah cemerlangnya kebangkitan kesadaran dan pengalaman modern rakyat Indonesia."

Semasa jayanya Majapahit, Nusantara merupakan kesatuan maritim dan kerajaan laut terbesar di antara bangsa-bangsa beradab di muka bumi. Arus bergerak dari selatan ke utara, segalanya: kapal-kapalnya, manusianya, amal perbuatannya dan cita-citanya, semua bergerak dari Nusantara di selatan ke 'Atas Angin' di utara. Tetapi zaman berubah...
Arus berbalik -- bukan lagi dari selatan ke utara tetapi sebaliknya dari utara ke selatan. Utara kuasai selatan, menguasai urat nadi kehidupan Nusantara... Perpecahan dan kekalahan demi kekalahan seakan menjadi bagian dari Jawa yang beruntun tiada hentinya.
Wiranggaleng -- pemuda desa sederhana, menjadi tokoh protagonis dalam epos kepahlawan yang maha dahsyat ini. Dia bertarung sampai ke pusat kekuatan Portugis di Malaka, memberi segala-galanya -- walau hanya secauk pasir sekalipun -- untuk membendung arus utara.
Masih dapatkah arus balik membalik lagi?

Karya Pramoedya Ananta Toer
sebuah epos besar
dari seorang penulis besar.
ISBN 979-8659-04-X
Hasta Mitra bangga mempersembahkan epos besar Pramoedya Ananta Toer ini pada Rakyat dan Tanah Air Indonesia untuk ikut merayakan setengah abad Indonesia Merdeka. Di samping itu kita bergembira bersama para pencinta sastra dan pengagung kebebasan menulis di mana pun di dunia berkenaan dengan dua penghargaan terhormat yang diterima oleh Pramoedya hampir bersamaan waktu sebagai pengarang Indonesia, pertama : Ramon Magsaysay Award 1995 dari Filipina, kedua : Wertheim Award 1995 dari Belanda.
Arus Balik adalah bagian dari suatu proyek besar studi sejarah Nusantara yang dilakukan Pramoedya sebelum ditahan pada 1965. Terpaksa diamenulis hasil risetnya semasa tahanannya di Pulau Buru (1969-1979) tanpa membawa sebaris pun catatannya. Yang dihasilkan bukanlah sebuah thesis sejarah, tetapi novel sejarah sebagaimana juga halnya dengan sejarah gerakan kebangkitan kebangsaan Indonesia yang dituangkannya dalam bentuk novel tetralogi Bumi Manusia, bukan kertas ilmiah.

SUMBER ARTIKEL: http://www.hastamitra.net/2010/05/karya-pulau-buru-arus-balik-sebuah-epos.html

Jumat, 29 Juni 2012

Kehampaan spiritual masyarakat modern:


Kondisi: lumayan, setengah isi buku mulai halaman awal agak sedikit bergelombang
TERJUAL BY RIAU
Kehampaan spiritual masyarakat modern:
respon dan transformasi nilai-nilai Islam menuju masyarakat madani
DR. Nurcholish Madjid et. al. ; kata pengantar, Djohan Effendi ; penyunting, M. Amin Akkas, Hasan M. Noer.
Kondisi: lumayan, setengah isi buku mulai halaman awal agak sedikit bergelombang
PENERBIT: MEDIACITA JAKARTA 2000
Tebal:529 halaman
Berat: 0,60 Kg


Masyarakat Religius (1997)


BOOKED BY IKI BANDUNG
Harga: Rp.65.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus
PENERBIT: PARAMADINA 1997
Tebal:235 halaman
Berat: 0,25 Kg

Masyarakat Religius (1997)
Buku ini yang berisi lima bab membahas konsep Islam dan kemasyarakatan, komitmen pribadi dan sosial, konsep kekeluargaan muslim, prinsip medis dan kesehatan keluarga Muslim dan konsep tentang eskatologis kekuatan supra alami. Pada akhirnya masyarakat diajak untuk menjadi sebuah masyarakat yang relegius.

Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (1999).


 
Harga: Rp.65.000 (blum ongkir)
Cita-Cita Politik Islam Era Reformasi, (1999).
Kondisi: lumayan, isi buku tidak kencang lagi, agak sedikit menggelombang
PENERBIT: PARAMADINA 1999
Tebal:279 halaman
Berat: 0,27 Kg

Dalam buku ini tujuh artikel Nurcholish Madjid yang masing-masing ditulis dalam kesempatan yang berbeda juga dalam rentang waktu yang berlainan. Buku ini ingin menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat Indonesia memiliki semua perlengkapan yang diperlukan untuk menegakkan apa yang disebut dengan masyarakat madani atau dalam istilah modern civil society, yang tak lain adalah nilai-nilai Islam. Buku ini menjadi penting, karena banyak sekali hal-hal berguna bagi generasi mendatang untuk diketahui dan dicerna. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, sehingga gagasan-gagasan cemerlang dan progresif yang pernah diungkapkan Nurcholish Madjid ini bisa dijadikan pijakan utama meraih suatu lanjutan yang lebih genuine.


Tradisi Islam Pesan dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia (1997).


TERJUAL BY IKI BANDUNG
Harga: Rp.65.000 (blum ongkir)
Tradisi Islam Pesan dan Fungsinya Dalam Pembangunan di Indonesia (1997).
Kondisi: Bagus
PENERBIT: PARAMADINA 1997
Tebal:257 halaman
Berat: 0,27 Kg

Buku yang terdiri dari lima bab bahasan ini merupakan refleksi penulisnya terhadap umat Islam di Indonesia khususnya dalam hal peranannya dalam pembangunan bangsa. Dalam buku ini Nurcholish Madjid juga membahas asas negara Pancasila, organisasi-organisasi politik, Golkar, pemilu, demokrasi, demokratisasi, oposisi, keadilan, dan dinamika perkembangan intelektual Islam di Indonesia. Hal yang juga cukup menarik dari buku ini adalah keberanian dan keplosan Nurcholish Madjid dalam berbicara oposisi di Indonesia, suatu tema yang sangat ditabukan pada masa ORBA. Nurcholish Madjid menegaskan, oposisi yang dimaksudkan adalah “oposisi yang loyal”. Oposisi inilah yang dibenarkan dalam masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip musyawarah. Dalam konteks ini Nurcholish Madjid menyatakan bahwa oposisi memang diperlukan, karena ia mempertajam pikiran

DIDALAM LEMBAH KEHIDUPAN

Hard cover, kondisi lumayan

TERDJUAL BY TANJUNG PRIOK JAKUT
DIDALAM LEMBAH KEHIDUPAN
H.A.M.K. AMRULLAH
TJETAKAN KEDUA
BALAI PUSTAKA DJAKARTA 1950
TEBAL: 108 HAL.
KONDISI: HARD COVER LUMAYAN
BERAT: 0,25 Kg

Ada 10 kisah dalam buku ini dan semuanya merupakan kisah yang bagus, sangat bagus !!.
Sebuah pengantar yang sangat menarik dari sang penulis, beliau mengatakan,
“Banyak orang mengarang dan menggubah bunga kehidupan yang mewah-mewah, melukiskan istana raja-raja, puteri yang kaya dan cantik, orang muda mudi yang disayang ayah dan perkawinan yang berbahagia. Maka tersenyumlah orang membaca ceritera yang demikian, gembiralah hatinya. Padahal di dalam lembah yang dalam sekali, di dalam jurang yang tidak ditempuh mereka itu yaitu di dalam lembah kehidupan, adalah sekumpulan mahluk yang merintih. Tidak berapa orang yang mendengar rintihan itu – tidak tahu…. Hanya Tuhan jua yang Mahatahu, Pengasih dan sambil bekhidmat kepada bahasa ibuku.
Akan tetapi saya datang ke sana, sebab memang saya orang di sana. Saya lihat air mata titik, saya lihat air mata itu diiringi oleh darah, maka saya susunlah penderitaan itu jadi gubahan untuk bangsa dan nusaku, penyayang! ……
Kesemua kisah yang dihadirkan dalam buku ini memang menceritakan penderitaan, kesedihan, kemalangan dan ketidak beruntungan yang setiap manusia berharap hal itu tidak akan pernah terjadi pada dirinya.
Pendapat pribadi saya, buku ini wajib dibaca, banyak pelajaran yang bisa kita ambil. Selain sebagai pengingat agar kita yang saat ini masih diberi karunia berupa harta dan semacamnya untuk selalu bersyukur dan juga untuk memberi tahu bahwa diluar sana banyak saudara-saudara kita yang tidak beruntung dan kita punya kewajiban untuk membantunya.

SUMBER ARTIKEL:
http://maipura.wordpress.com/2010/03/21/didalam-lembah-kehidupan/

DI BAWAH LINDUNGAN KA'ABAH

TERJUAL BY JAKPUS 
 KONDISI: BAGUS
DI BAWAH LINDUNGAN KA'ABAH
PENERBIT N.V. NUSANTARA
BUKITTINGGI. DJAKARTA. 1961
TJETAKAN KEDELAPAN
TEBAL: 75 HAL.
BERAT: 0,5 KG


 Cerita novel Di Bawah Lindungan Ka’bah sendiri sebenarnya sangat sederhana dan sangat mudah ditebak arahnya. HAMKA menekankan pada kekuatan dialog dari masing-masing tokoh yang tidak pernah takut pada siapapun dan tidak pernah takut sendirian, karena mereka punya Tuhan, Allah swt.


TJERMIN PENGHIDUPAN

TERDJUAL BY DJAKARTA 28 JULI 2012
 TJERMIN PENGHIDUPAN
DR. HAMKA
Kondisi: bagus
ISI BUKU TERDIRI DARI 3 TJERPEN
PENERBIT & TOKO BUKU-FA.MEGA BOOKSTORE
1962 DJAKARTA
TEBAL: 36 HAL


ISI BUKU:
I. SALAHNJA SENDIRI ......................................hal.5
II. PENDJUAL OBAT BERKELILING......................12
III. DIRAJU SUARA AZAN.......................................26

di Djemput mamaknja

Cover jacket buku
 TERDJUAL BY DJAKARTA 28 JULI 2012
Harga: Rp.250.000 (blum ongkir)
di Djemput mamaknja
TJETAKAN KETIGA 1962
PENERBIT MEGA BOOKSTORE
KRAMAT DJAKARTA
TEBAL: 32 HAL
BERAT: 0,3 KG

Cover Buku
cover jacket belakang
Djudul isi dalam buku

Isi dalam buku

Isi dalam buku bagian halaman akhir


Sinopsis Didjemput Mamaknja
Sebelum memasuki analisis tema dan tokoh Didjemput Mamakanja,
penulis memberikan sinopsis Didjemput Mamaknja agar dapat memudahkan
pembaca memahami bahasan selanjutnya. Bahasan ini sengaja diletakkan sebelum
memasuki analisis tema dan tokoh, bukan pada lampiran agar memudahkan
pembaca dalam membacanya. Selain itu, penulis menjadikan sinopsis menjadi
subbab sendiri agar tidak menimbulkan kerancuan jika digabungkan dalam
subbab yang lain.
Cerita Didjemput Mamaknja diawali dengan pertemuan seorang penjual
kulit kasur dengan pengguna jasanya. Penjual kulit kasurnya bernama Musa dan
pengguna jasanya adalah Engku. Suatu hari, Engku ingin mengganti kulit kasur
yang sudah lama rusak. Engku ini digambarkan sebagai seorang penulis.
Sebenarnya, pagi hari itu, ia harus pergi ke kantor namun hatinya lebih memilih
untuk melihat tukang kasur yang sedang mengganti kulit kasur anak-anaknya.
Ternyata, Engku dan Musa terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang
kehidupan Musa. Ia mendengarkan dengan jelas setiap peristiwa yang diingat
kembali oleh Musa. Kejadian tersebut sudah cukup lama dialami oleh Musa.
Meskipun lelah melakukan pekerjaannya, Musa terlihat semangat untuk
menceritakan apa yang telah dialaminya.
Kilas balik kehidupan Musa diawali dengan gambaran kerja kerasnya
untuk mencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Selama dua tahun di perantauan,
Musa dan istrinya, Ramah, mendapatkan seorang putra yang bernama Fauzi. Ia
tidak kenal lelah menjajakan jualannya meskipun kadang-kadang pulang tanpa
membawa hasil. Namun, ketidakberhasilan dan kelelahan Musa dapat terobati
oleh kehadiran istri dan anak yang selalu mendukungnya. Ramah, sebagai istri,
menerima dengan tulus apa pun yang didapatkan Musa dari usahanya.
Namun, ketulusan istrinya yang menerima kehidupan sulit di rantau
menimbulkan kekhawatiran dalam diri Musa. Ia takut Ramah akan tersiksa hidup
dalam kemiskinan karena ia berasal dari keluarga yang kaya. Selain itu,
kekhawatiran Musa juga ditimbulkan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi
keinginan keluarga besar Ramah. Mereka menginginkan Ramah dapat hidup lebih
baik secara materi setelah menikah dengan Musa.
Ramah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya
menikah dengan laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan materi dengan baik
bagi keluarga Ramah. Suami kakak Ramah adalah saudagar besar di Bengkulu,
sedangkan suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung. Pernikahan
Musa dengan Ramah sudah melalui aturan adat yang berlaku. Musa adalah suami
pilihan mamak dan Ramah menerima apa pun yang telah ditetapkan mamaknya.
Pada awal pernikahan Musa dan Ramah sudah timbul konflik yang
diakibatkan oleh kedua saudara Ramah. Musa dan Ramah tinggal di rumah
keluarga Ramah pada awal pernikahan. Kedua saudara Ramah selalu menyindir
ketidakmampuan Musa dalam memberikan yang sama baiknya dengan suami
mereka. Keadaan tersebut dihadapi Ramah dengan tenang dan berusaha
menguatkan hati suaminya. Ia pun tidak menunjukkan rasa kesal dan marah
terhadap ulah kedua saudaranya. Ramah tetap menghormati suaminya dan tidak
mengacuhkan perkataan saudaranya.
Hal yang sebaliknya terjadi pada diri Musa, ia semakin merasa rendah diri
dan tertekan dengan perkataan dan tingkah laku yang dilakukan oleh keluarga
besar Ramah. Pada akhirnya, ia sempat berhari-hari tidak pulang ke rumah
tersebut. Selama tidak pulang ke rumah tersebut, ia tinggal di rumah ibunya.
Setelah itu, muncul keinginannya untuk merantau agar dapat menyelesaikan
masalah yang ada. Ia meminta izin kepada ibunya untuk mengupas batang kayu
manis yang ditanamnya sembilan tahun yang lalu untuk dijadikan ongkos
merantau.
Saat membayangkan harga batang kayu manis yang akan dijualnya, Musa
melihat Ramah berjalan menuju rumah ibunya dengan muka sedih. Ramah
langsung menuangkan kesedihannya kepada Musa. Ia meminta Musa untuk
pulang bersamanya sambil menangis. Melihat keadaan tersebut, Musa pun
menyampaikan isi hatinya kepada Ramah. Ia merasa tertekan dengan keadaan di
rumah
gadang,
ditambah
lagi
dengan
ketidakhadiran
mamak
dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Musa pun mengungkapkan bahwa perasaan
sayangnya kepada Ramah tidak berubah sedikit pun.
Mendengar pernyataan Musa tersebut, Ramah meminta maaf dan
memintanya kembali tinggal di rumah keluarganya demi keutuhan rumah tangga
mereka. Namun, Musa menyatakan keinginannya untuk merantau kepada Ramah.
Tanpa diduga oleh Musa, Ramah menyatakan keinginannya untuk ikut serta
merantau meskipun Musa sudah menggambarkan kehidupan sulit yang akan
ditempuh selama merantau.
Oleh karena itu, Musa merasa senang karena istrinya setia mendampingi
apa pun keadaannya. Keinginan merantau pun mereka sampaikan kepada keluarga
Ramah. Tanggapan negatif yang diberikan oleh keluarga Ramah tidak
menyurutkan keinginan Ramah merantau bersama suaminya. Akhirnya, Musa dan
Ramah merantau ke Deli.
Di Deli, Ramah hidup dalam keadaan yang berbeda dengan di kampung.
Ia tinggal di rumah yang kecil dan hidup dalam kekurangan. Namun, keadaan
tersebut tidak menimbulkan masalah untuknya. Ia lebih mementingkan kebebasan
dalam mengatur rumah tangganya dan hal tersebut menimbulkan kebahagiaan
untuknya. Begitu pula dengan Musa, ia merasakan kebahagiaan rumah tangga
selama di rantau. Setelah lelah berkeliling menjajakan jualannya, ia selalu
disambut dengan senyuman oleh istrinya. Pada saat di kampung, ia selalu menjadi
pusat perhatian keluarga Ramah setelah pulang mencari nafkah, mereka ingin
melihat apa yang dapat diberikan Musa kepada Ramah. Dapat dikatakan, selama
di rantau Ramah dan Musa baru menemukan kebahagiaan sebenarnya dari
berumah tangga. Di rantau pula, mereka mendapatkan seorang anak yang diimpik
an selama berumah tangga.
Kebahagiaan Ramah dan Musa tidak berlangsung lama karena mamak
datang ke Deli untuk membawa pulang Ramah dan Fauzi ke kampung. Keluarga
besar Ramah dan mamak mendengar kabar dari orang kampung yang pulang dari
Deli bahwa Ramah tersiksa dalam perantauannya. Akhirnya, mereka memutuskan
untuk membawa Ramah kembali ke kampung sebagai bentuk pertolongan.
Keputusan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak pulang ke
kampung dan menjelaskan keadaan rumah tangganya yang sebenarnya kepada
mamak. Ia tidak merasa kesulitan hidup dalam kekurangan. Baginya, kebahagiaan
rumah tangga tidak dapat dilihat dan dinilai secara materi. Mamak pun melakukan
segala upaya agar Ramah dapat pulang bersamanya. Namun, Ramah tetap
menolaknya karena keinginannya menjaga kebahagiaan dan keutuhan rumah
tangganya.
Perlawanan Ramah kepada keinginan mamaknya tidak diikuti oleh Musa.
Ia mengizinkan mamak membawa Ramah dan Fauzi kembali ke kampung. Tidak
hanya itu, Musa pun menolak keinginan mamak untuk membiayai kepulangan
Ramah dan Fauzi pulang ke kampung. Ia menyatakan kesanggupannya untuk
membiayai kepulangan istri dan anaknya, serta mamak. Musa pun mencari
pinjaman kepada temannya untuk membiayai ongkos pulang kampung ketiganya.
Dengan kesedihan yang mendalam, Ramah mengikuti keinginan
suaminya. Ramah meminta kepada Musa untuk tidak menceraikannya. Musa pun
langsung mengiyakan permintaan istrinya karena ia pun tersiksa jauh dari istri dan
anaknya, apalagi jika mereka bercerai. Selama Ramah di kampung, ia mengirim
kabar kepada Musa melalui surat. Ia menyatakan keinginannya lagi agar tidak
diceraikan oleh Musa. Selain itu, ia juga menceritakan penilaian orang-orang di
kampung tentang mereka berdua selama di rantau.
Musa juga merasakan kesedihan saat dipisahkan dari istri dan anaknya
oleh mamak. Namun, dia tidak berdaya untuk menjemput kembali istrinya yang
berada di kampung. Terlebih lagi, ia sempat berpikir untuk menceraikan Ramah,
sama seperti yang diinginkan keluarga besarnya. Pikiran buruk tersebut cepat
dihilangkan dari kepalanya. Ia menyadari tidak ada yang salah dalam rumah
tangganya. Oleh karena itu, ia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa ada
perjuangan untuk menjemput anak dan istrinya di kampung. Ia tetap mengirimkan
uang kepada Ramah sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Perjuangan Musa belum dirasa cukup oleh keluarga Ramah. Oleh karena
itu, mereka meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Ramah pun menolak untuk
mengabulkan permintaan tersebut. Namun, keluarga besar Ramah dan mamak
tidak henti-hentinya memaksakan keinginan tersebut. Akhirnya, Ramah menuruti
keinginan mamak dan ibunya. Ia diantarkan oleh ibunya ke musola untuk
meminta taklik kepada kadi. Saat meminta taklik kepada kadi, Ramah berurai air
mata mengucapkan keinginannya tersebut.
Tak lama kemudian, ada wakil dari kampung yang mengantarkan surat
taklik kepada Musa. Saat membaca surat tersebut, Musa menyadari bahwa Ramah
dan dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan mamak dan keluarga
besar Ramah dalam rumah tangganya. Musa pun merasakan kehilangan karena ia
tidak dapat lagi melihat buah hatinya bersama Ramah, Fauzi.
Di akhir ceritanya kepada Engku, Musa menitikkan air mata sebagai
wujud kesedihannya. Engku pun terlihat bersimpati terhadap keadaan Musa. Ia
pun membayar upah Musa melebihi bayaran yang seharusnya diterima.

sumber artikel: Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009


Rabu, 20 Juni 2012

Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Clifford Geertz

Hard Cover kondisi bersampul plastik
TERJUAL BY ANDRA EKA JAKSEL
Harga: Rp.300.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus, Hard Cover bersampul plastik

Ketebalan buku 551 halaman

Isi dalam buku masih bagus, cuma ada tanda tangan dari pemilik sebelumnya
Penerbit: PT.. Pustaka Jaya cet. 2 tahun 1983
Tebal: 551 halaman
Berat: 0,70 Kg
Clifford Geertz dan Agama Jawa (Abangan, Santri dan Priyayi)

Clifford Geertz adalah penulis buku legendaris The Religion of Java, yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia, khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya trikotomi--abangan, santri dan priyayi--di dalam masyarakat Jawa, ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan kritik terhadap wacana Geertz.

Biografi Clifford Geertz

Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College, Ohio, pada tahun 1950.[1] Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi di Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua tahun untuk mempelajari masyarakat multiagama, multiras yang kompleks di sebuah kota kecil –Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.[2]
Sebelum bergabung dengan Institute for Advanced Study, sebuah lembaga penelitian yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang kampusnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced Study. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study, tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis.[3]
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia: dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan, sejarah sosial, dan politik dari bangsa-bangsa berkembang; dari seni, estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek antropologi dan ilmu sosial yang lain –pemikiran kembali yang secara langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.[4]
Sebagai seorang antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok, khususnya yang berkaitan dengan kajian Penulis, adalah kajiannya tentang agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi).[5]
Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia. Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus ilmu sosial di negeri ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania, Amerika Serikat, Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80 tahun dengan meninggalkan banyak karya penting seperti The Interpretation of Cultures, Islam Observed: Religious Development in Morocco and Indonesia, Available Light, Local Knowledge, Works and Lives: The Anthropologist as Author, After The Fact: Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, The Religion of Java,[6] Peddlers and Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship in Bali, Negara: The Theater State in 19th Century Bali, dan Agricultural Involution.[7]

Latar Belakang Pemikiran

Untuk memahami buku The Religion of Java tampaknya tidak akan lengkap tanpa mengetahui terlebih dahulu latar belakang antropologi Geertz. Dan semua itu akan tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar belakang pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama dan budaya Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi antroplogi Amerika yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai saat belajar di Harvard dibawah teoritisi terkemuka, Talcott Parsons.[8]
Dalam tradisi antropologi Amerika,[9] ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular” yang teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi Amerika juga memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka tidak hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu sistem ide, adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz telah menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam perspektif antropologinya.[10]
Adapun terhadap perspektif ilmu sosial, tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard- telah bertindak sebagai penyalur ide-ide Weber kepada Geertz.[11] Parson ini merupakan teoritisi sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat terpengaruh oleh sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang telah menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya Weber serta menjelaskan ide-ide pokoknya.
Dari Parson ini, Geertz diperkenalkan dengan ide-ide Weber, terutama tentang pandangan Max Weber bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jejaring (web) makna yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari pandangan ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi pengertian kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.[12] Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami dunia manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika positivisme tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut membentuk jaringan makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari komunitasnya.[13] Bertolak dari pemikiran seperti ini, tidaklah mengherankan jika kemudian analisis Geertz tentang kebudayaan dan manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna (meaning).
Dibawah pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi Amerika ini, Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi simbol-simbol yang diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan masyarakat. Namun begitu, tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima teori-teori dari para pendahulunya secara taken for granted, dimana dia ternyata mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau pemukiman di sebuah pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku terasing yang cenderung menghilang.[14] Sebaliknya, Geertz justru lebih tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.[15]
Kaitannya dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya, menurut Geertz itu hanya sebuah kebetulan belaka.[16] Namun begitu, menurut Nono Makarim –salah seorang murid Geertz di Harvard dan juga pernah napak tilas Geertz di Pare- pemilihan Indonesia adalah karena Indonesia pada tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan[17] dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya. Kemudian, “Mojokuto” dipilih untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tradisi antropologi Amerika, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf, dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar dan aktif secara politik. Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang.[18]
Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di Jawa Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto” merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu dibumikan.[19] “Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme pribumi “berbaur” dalam satu sistem sosial.[20]
Dalam upayanya untuk menguak fenomena menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan. Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor pemerintahan, di kota).[21] Namun demikian, ketiga inti struktur sosial di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz dipandang dalam pengertian yang luas.[22]
Menurut Geertz, tiga tipe kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama –petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini dihasilkan.[23]
Dengan kenyataan tersebut diatas serta berbekal kerangka pikir ala Weberian, tampaknya Geertz melihat bahwa dibalik pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama Islam, sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut. Oleh karena itu, masalah-masalah yang perlu dirumuskan dalam penelitian di Mojokuto ini adalah sebagai berikut:

Sejauhmana realitas kemajuan, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual masyarakat Jawa –yang notabenenya lebih dulu mengalami peradaban daripada Inggris?[24]
Bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol?
Bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol tertentu?[25]


Metode Penelitian Geertz

Secara tersurat –sebagaimana ditulis Parsudi Suparlan- Geertz memang tidak mengatakan kerangka teori apa yang dipakai. Namun demikian, penelitian lapangan yang dilakukan dalam rangka penyusunan laporan untuk disertasi doktoralnya di Departemen Hubungan Sosial Universitas Harvard ini, tampaknya Geertz menggunakan penelitian kualitatif,[26] dengan pendekatan yang berorientasi hermeneutik, yang belakangan dikenal dengan pendekatan interpretif.[27] Dengan pendekatan interpretif ini, Geertz melihat kebudayaan sebagai sistem pemaknaan yang harus dipahami secara semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of significance) atau pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol sehingga analisis terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk menelusuri makna,[28] dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang, signifikansi ritual, struktur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan dan pemikiran.[29]
Adapun untuk mengurai jejaring makna tersebut, Geertz menggunakan teori “Skismatik dan Aliran”. Namun begitu, Teori Skismatik Geertz ini sedikit berbeda dengan teori skismatik-nya Robert Jay, dimana menurut Teori Skismatik Jay, akar-akar konfrontasi (skisma) antara santri dan abangan bermula dari proses islamisasi awal di berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya. Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman, seringkali menunjukkan antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok abangan.[30]
Clifford Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada kekuatan lain selain abangan dan santri dalam kenyataan sosial budaya masyarakat Jawa, yakni kelompok “priyayi”. Kelompok ini dalam keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti apa yang biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.[31]
Adapun mengenai metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The Religion of Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz sendiri, meliputi tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan intensif dalam Bahasa Indonesia di Universitas Harvard, yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam, pada bulan Juli sampai Oktober 1952.
Tahap Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953 mempelajari bahasa Jawa di Yogyakarta dengan mempergunakan mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media untuk memperoleh pengetahuan umum mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Pada tahap ini juga dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan politik di Jakarta, sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi birokrasi pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang merupakan masa penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto. Dalam tahap ini, Geertz beserta istrinya tinggal di rumah seorang buruh kereta api di ujung kota.[32]
Selama berada di Mojokuto ini, Geertz mengaku bahwa pengumpulan data dalam penelitiannya –sebagian besar- tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan informan khusus, tetapi lebih sering dilakukan dengan kegiatan observasi-partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang sering mengikuti perayaan umum, rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan sebagainya.[33]
Dengan demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat disimpulkan bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan ini adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal, pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik. Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif.

Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz

Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953 sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi --meskipun hal-hal ini juga diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang memberi semacam “peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga. Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang global.[34]
Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.[35]
2. Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan, santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz mengungkap fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian tersebut.
3. Hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa di-setting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.[36]

Apresiasi untuk Geertz

Tidak bisa disangkal, Clifford Geertz sangat mempengaruhi pemikiran banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja, Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L. Berger & Thomas Luckmann:
a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c. Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya memerlukan manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan direproduksikan melalui proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar, tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur yang tidak dapat diubah dengan mudah.[37]
Kaitannya dengan “trikotomi yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java,[38] karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan kelompok-kelompok kultural yang penting.
Sebagai sebuah konsepsi, harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial.
Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.[39] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan. Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi yang abangan atau priyayi yang santri.[40]
Terlepas dari berbagai kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula, kita “dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto” (Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, dimana hanya lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.
Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia, khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu “dibangun.”


DAFTAR PUSTAKA

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Thufail, Fadjar I., “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam http://fithufail. wordpress.com
Kleden, Ignas, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam http://mirifica.net/
wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
Ma’ruf Jamhari, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam” http://www.ditpertais.net/

artikel/jamhari01.asp
Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam www.pdf4free.com
Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam http://www.kompas/. com/kompas-cetak/0611/05/

seni/3071699.htm
Budiman, Kris, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.a

c.idkaryadetail.phpid=12
Thohir, Ajid, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam http://forum.uinsgd.ac.id/

showthread.php?t=315
Syam, Nur, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam www.ditpertais.net/

annualconference/ancon06/
makalah /20Nursyam.doc.
Veen, Corrie van der, ”Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/

forlog/lintas1corrie.htm
Azra, Azyumardi, ”Asia Muslim” dalam http://

www.republika.co.id/
koran_detail. asp?id=189590
Topan, Moh. Ali, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/

news/jurlemlit/9Ali00
www.researchover.com/

biographies/
Clifford_Geertz-28238.html
Artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam http://

www.republika.co.id/





[1] www.researchover.com/

biographies/
Clifford_Geertz-28238.html
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397
[3] Fadjar I. Thufail, “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam http://

fithufail.wordpress.com/
[4] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 396
[5] Lihat Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam http://mirifica.net/

wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
[6] Ibid.
[7] Lihat artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam http://

www.republika.co.id/
[8] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 401
[9] Tradisi ini dirintis oleh Imigran asal Jerman, Franz Boas yang melaksanakan ekspedisi tunggal ke daerah suku-suku bangsa eskimo di pantai Pulau Baffinland pada tahun 1883-1884. Aktifitas-aktifitas ilmiah F. Boas ini, kemudian diikuti oleh Alfred Louis Kroeber, Robert H. Lowie dan masih banyak antropolog lain, sehingga ilmu antropologi Amerika mengalami kemajuan yang pesat dengan penelitian-penelitian yang luas terhadap kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa Indian di Amerika. Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987, hlm. 122-137
[10] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 402 et. seq.
[11] Tampaknya konsep-konsep weber, yang diperkenalkan Parson, mendapatkan tempat di dalam pendekatan interpretatif Geertz terhadap kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari esai-esai dan buku-buku Geertz, dimana tidak ada seorang pun teoritisi sosial yang lebih sering dirujuk Geertz dibandingkan Weber. Lihat Ibid., hlm. 404 et. seq.
[12] Lihat Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam” http://www.ditpertais.net/

artikel/jamhari01.asp
[13] Moh. Ali Topan, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/

news/jurlemlit/9Ali00
[14] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[15] Danile L. Pals, Op. Cit., hlm. 398
[16] Geertz mempercayai bahwa sebagian besar kehidupannya ditentukan oleh faktor “kebetulan”.
[17] Lihat Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam www.pdf4free.com
[18] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[19] Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam http://www.kompas.com/

kompas-cetak/0611/05/seni/
3071699.htm
[20] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 399
[21] Lihat kata pengantar Parsudi Suparlan dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, Cet. I, hlm. vii
[22] Ibid., hlm. 6
[23] Ibid., hlm. 5
[24] Ibid., hlm. 9
[25] Ibid., hlm. vii
[26] Penelitian Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi (pengukuran). Penelitian kualitatif ini dapat menunjukkan pada penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, serta tentang fungsionalisasi organisai, pergerakan sosial, atau hubungan kekerabatan. Lihat Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997, hlm. 11
[27] Terobosan pendekatan interpretif Geertz dapat disarikan dalam dua hal. Pertama, interpretasi haruslah berdasarkan “deskripsi tebal” (thick description) gejala atau peristiwa sosial. Kedua, tujuan akhir interpretasi adalah menemukan dan memahami pandangan, keyakinan, dan penjelasan aktor sosial dari perspektif aktor itu sendiri. Tujuan ini hanya bisa dicapai apabila peneliti dapat menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat yang ditelitinya. Lihat Fadjar I. Thufail, Loc. Cit.
[28] Kris Budiman, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.a

c.idkaryadetail.phpid=12
[29] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 408 et.seq.
[30] Ajid Thohir, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam http://forum.uinsgd/. ac.id/

showthread.php?t=315
[31] Ibid.
[32] hlm. 511

sumber artikel: http://

banyubeningku.blogspot.com/
2011/04/clifford-geertz-dan-agama-jawa-abangan.html
[33] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 513
[34] Degung Santikarma, Loc. Cit.
[35] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 475-477
[36] Lihat Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam www.ditpertais.net/

annualconference/ancon06/
makalah/Makalah%20Nursyam.doc.
[37] Lihat Corrie van der Veen, “Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam http://www.geocities.com/

forlog/lintas1corrie.htm
[38] Istilah The Religion of Java sendiri pertama kali bukan dari Geertz, tapi konon dari penerbit. Tetapi, Geertz tidak pernah mengoreksi istilah itu menjadi lebih benar, karena apa yang disebut sebagai “agama Jawa” tersebut jelas dalam banyak hal bersumber dari tradisi Islam dan Muslim lokal, yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari “tradisi besar” Islam. Lihat Azyumardi Azra, “Asia Muslim” dalam http://

www.republika.co.id/
koran-detail. asp?id=189590
[39] Lihat Harsja W. Bachtiar, “The Religion of Java; Sebuah Komentar”, dalam Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 525 et.seq.
[40] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 16 et.seq.

Related Post

ShareThis