.

.

Minggu, 18 Maret 2012

DIPANEGARA


 
 
  MAAF, SUDAH TERJUAL by TANGERANG SELATAN
Judul: DIPANEGARA
Dikarang oleh: MUHAMMAD YAMIN
Penerbit: JAJASAN PEMBANGUNAN DJAKARTA
Edisi : Soft Cover
Halaman: 127
Tjetakan : KeTIGA 1952
Kondisi lumayan bagus

Price : IDR 100.000,00  



Oleh: Nurel Javissyarqi*


Sebelum jauh merambah pada karya Beliau, terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya tetap menggunakan logat aslinya (:Jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja bersastra.

Di tanah Jawa, sebutan Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil  ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa, lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain, selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah Dwipa kala itu.

Saat membaca roman sejarah karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru, darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan, bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam dengan tombak, keris dan bambu runcing.

Tiap-tiap laluan parit, tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi, kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.

Ontowiryo (bahasa Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8 Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf” membubuhi puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/ Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/ Berselempang semangat yang tak bisa mati.

Di bawah ini saya tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.

Demikian simaklah…

Sun amedar surasaneng ati

atembang pamijos

pan kinarjo anglipur brangtane

aneng kita Menado duk kardi

tan ana kaeksi.


Mapan katah kang keraseng galih

ing tingkah kadudon

pan mengkana ing tijas pangestine

kaja paran polahingsun iki

jen tan ana ugi

apura Ijang Agung.



Lara wirang pan wus sun lakoni

nging panuhuningong

ingkang kari dan kang dingin kabeh

kaluarga ngestokken jekti

mring Agama Nabi

oleh pitulung.



Ketika membaca bahasa asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca. Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.

Di bawah ini salinan maknawi karya beliau:



Hamba curahkan perasaan kalbu yang fitri

mengarang syair menghibur duka-nestapa

menyusun karangan di kota Manado

ketika tak kelihatan pandangan mata

selain daripada Tuhan Yang Maha Esa.



Banyaklah yang terasa dalam hati

berbuat kelakuan yang salah arah

sampai timbul jantung berfikiran:

apakah jadinya hamba hina ini,

sekiranya tingkah perbuatan itu

tidak diturunkan ampun,

oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.



Pedih-pilu, hina bencana dirasa

tetapi memohonkan sungguh,

supaya kehilafan dahulu dan kemudian

diturunkan pengampunan dari Tuhan,

kepada keluarga dan sanak saudara

yang dengan ikhlas sepenuh sungguh

menuruti ajaran Nabi pembawa sabda.



Demikian Tembang Midjil yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar, keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.

Ontowiryo atau Pangeran Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.” Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok, Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.

Adalah tak diragukan lagi, tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an. Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.



Jatim, 19 Maret 2009, kamis legi Rabiul Awal 1430 H.



*) Pengelana asal Lamongan,


SUMBER ARTIKEL:
http://www.poetikaonline.org/2011/04/kaepujanggaannya-pahlawan-diponegoro.html




1 komentar:

Unknown mengatakan...

apa buku ini masih ada?

Posting Komentar

Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....

Related Post

ShareThis