Harga: Rp.51.000 (blum ongkir)
Kondisi : BagusTebal: 133 hal
Synopsis
esai-esai Antropologi Kiai ini bertutur ttg rasionalitas yang penuh warna, yg bergerak antara ortodoksi nan ketat dan penyiasatan pragmatik agar kehidupan tetap berlangsung.Kearifan? atau pengkhianatan?
Table of Contents
1 pesantren dan ludruk .................1
2 kiai nyentrik membela pemerintah........7
3 kiai Chasbullah dan musuhnya.............13
4 sulit masuknya, mudah keluarnya.........17
5 kiai ikhlas dan ko-edukasi.......................21
6 rasionalitas kiai Adlan..............................25
7 kiai Razaq yang terbakar........................29
8 ketat tapi longgar.....................................35
Judul : Kiai Nyentrik Membela Pemerintah****
Penulis : Abdurrahman Wahid****
Penerbit : LKiS, Yogyakarta****
Cetakan : Pertama, 1997****
Peresensi : Hengki Ferdiansyah****
Jujur, ketika membaca buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah seakan-akan Gus
Dur mendesak dan mendorong saya untuk segera menuliskan kisah-kisah tentang
para buya di Sumatra Barat.****
** **
Buya adalah sebutan untuk seorang Kiai di Minang. Gelar ini biasanya
diberikan kepada orang yang ‘alim dalam ilmu agama. Posisi Buya di Minang
tidak sesakral Kiai di Jawa. Jika di Jawa seorang santri sangat takut
kepada Kiainya, bahkan ketika Kiai menjelaskan kitab, sangat jarang
ditemukan santri yang mau mengkritik Kiainya.****
** **
Akan tetapi di Minang-khususnya di pesantren saya- mengkritik Buya ketika
menjelaskan kitab adalah suatu hal yang biasa. Terkadang, dimalam harinya
buya membekali muridnya dengan beberapa pertanyaan agar ditanyakan kepada
guru yang mengajarnya esok hari. Hal semacam ini disebut dengan kaji
babungkuih. ****
Sebagai santri yang pernah sekolah di Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung,
yang didirikan Syekh Sulaiman ar-Rasuli-salah seorang ulama yang tetap
mempertahankan kitab kuning di saat kitab-kitab putih mulai mengancam- saya
merasa malu plus kagum terhadap sosok Gus Dur. Pengetahuan Gus Dur terhadap
Kiainya sangatlah luar biasa. Selain itu beliau mampu menuliskan dan
merasionalkannya, inilah yang membuat saya terkesima.****
** **
Sementara saya, keakraban dan pengetahuan saya terhadap sosok Inyiak
Canduang (panggilan akrab Syekh Sulaiman) masih minim dan terbatas.
Ditambah lagi, sangat jarangnya buku-buku yang menulis tentang biografi
Inyiak Canduang, apalagi sisi rasionalitasnya, sebagaimana yang dilakukan
Gus Dur.****
Awalnya saya tidak begitu akrab dengan Gus Dur, terutama dengan pemikiran
beliau. Pandangan saya tentang Gus Dur sama seperti masyarakat awam
lainnya. Gus Dur bagi saya pribadi yang nyeleneh, kerjanya hanya bikin
sensasi dan kontroversi, apalagi sewaktu baru saja diangkat jadi presiden
langsung pergi “jalan-jalan” ke luar negeri.****
** **
Pikiran picik dan sempit ini sangat wajar teruntai dalam benak saya. Sebab
di Bukittinggi, tempat saya sekolah, sangat jarang sekali didapati
buku-buku yang berbicara mengenai Gus Dur. Sehingga akses untuk mengenal
lebih dekat ide-ide Gus Dur sangatlah susah, apalagi internet pada waktu
itu belum massif seperti saat ini.****
Pikiran kolot saya itu mulai berubah setelah beberapa bulan tinggal di
Jakarta. Saat Gus Dur meninggal saya menyaksikan semua orang mulai dari
yang miskin sampai yang kaya, Islam maupun non-muslim ikut mendoakan dan
merasa kehilangan Gus Dur. Saat itu pulalah saya mulai berpikir, apa
sebenarnya kehebatan Gusdur? Pertanyaan ini benar-benar mulai terjawab
ketika saya mengikuti program TKG (Tadarus Kolom Gus Dur) yang diadakan the
Wahid Institute setahun yang lalu.****
Sebenarnya buku yang berjudul Kiai Nyentrik Membela Pemerintah ini
merupakan kumpulan dari esai-esai Gus Dur yang pernah dimuat di Tempo dan
Kompas. Seperti kata Sobary, tak sepotong pun penjelasan diberikan mengapa
Kiai Nyentrik Membela Pemerintah dipilih menjadi judul buku ini?****
** **
Sebagaimana yang diketahui, buku ini berbicara tentang sisi lain dari para
kiai. Di sini Gus Dur menceritakan bagaimana sisi rasionalitas dan
progresifitas para kiai dalam menghadapi persoalan masyarakat yang semakin
berkembang.****
Sosok Kiai Wahab Sulang misalnya, meskipun kiai desa ini tidak bisa
menggunakan rem sepeda motor, namun ketika berbicara dan menanggapi
persoalan modern beliau tidak kaku dan ketat. Malahan beliau lebih longgar,
bahkan beliau mampu memproduksi fikih menjadi lebih humanistik dan
kosmopolit sebagaimana yang dipuja orang, namun tetap berlandaskan
keyakinan agama. ****
Selain sisi rasionalitas para kiai, ada satu hal lagi yang sangat penting
dalam membaca buku Gus Dur ini. Jika buku ini dibongkar secara manhaji akan
kelihatan bagaimana cara Gus Dur menulis dan menyampaikan gagasannya agar
mudah dipahami masyarakat. Gus Dur tak perlu berbicara dan mengutip
teori-teori yang rumit, namun cukup bercerita tentang sosok kiai, orang
sudah paham apa yang hendak dikatakan Gus Dur. Cara seperti ini patut
ditiru bukan?****
** **
Hengki Ferdiansyah, mahasiswa di UIN Ciputat, aktif di Komunitas Saung,
sebuah forum kajian yang gemar menyuarakan pemikiran al-Jabiri dan Gus Dur**
**
--
http://harian-oftheday.blogspot.com/
"...menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama..."
2 komentar:
saya berminat?? masih adakah?? http://www.facebook.com/izzul.muna
masih, monggo...087 85 955 86 78
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....