di Djemput mamaknja
TJETAKAN KETIGA 1962
PENERBIT MEGA BOOKSTORE
KRAMAT DJAKARTA
TEBAL: 32 HAL
BERAT: 0,3 KG
Sinopsis Didjemput Mamaknja
Sebelum memasuki analisis tema dan tokoh Didjemput Mamakanja,
penulis memberikan sinopsis Didjemput Mamaknja agar dapat memudahkan
pembaca memahami bahasan selanjutnya. Bahasan ini sengaja diletakkan sebelum
memasuki analisis tema dan tokoh, bukan pada lampiran agar memudahkan
pembaca dalam membacanya. Selain itu, penulis menjadikan sinopsis menjadi
subbab sendiri agar tidak menimbulkan kerancuan jika digabungkan dalam
subbab yang lain.
Cerita Didjemput Mamaknja diawali dengan pertemuan seorang penjual
kulit kasur dengan pengguna jasanya. Penjual kulit kasurnya bernama Musa dan
pengguna jasanya adalah Engku. Suatu hari, Engku ingin mengganti kulit kasur
yang sudah lama rusak. Engku ini digambarkan sebagai seorang penulis.
Sebenarnya, pagi hari itu, ia harus pergi ke kantor namun hatinya lebih memilih
untuk melihat tukang kasur yang sedang mengganti kulit kasur anak-anaknya.
Ternyata, Engku dan Musa terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang
kehidupan Musa. Ia mendengarkan dengan jelas setiap peristiwa yang diingat
kembali oleh Musa. Kejadian tersebut sudah cukup lama dialami oleh Musa.
Meskipun lelah melakukan pekerjaannya, Musa terlihat semangat untuk
menceritakan apa yang telah dialaminya.
Kilas balik kehidupan Musa diawali dengan gambaran kerja kerasnya
untuk mencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Selama dua tahun di perantauan,
Musa dan istrinya, Ramah, mendapatkan seorang putra yang bernama Fauzi. Ia
tidak kenal lelah menjajakan jualannya meskipun kadang-kadang pulang tanpa
membawa hasil. Namun, ketidakberhasilan dan kelelahan Musa dapat terobati
oleh kehadiran istri dan anak yang selalu mendukungnya. Ramah, sebagai istri,
menerima dengan tulus apa pun yang didapatkan Musa dari usahanya.
Namun, ketulusan istrinya yang menerima kehidupan sulit di rantau
menimbulkan kekhawatiran dalam diri Musa. Ia takut Ramah akan tersiksa hidup
dalam kemiskinan karena ia berasal dari keluarga yang kaya. Selain itu,
kekhawatiran Musa juga ditimbulkan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi
keinginan keluarga besar Ramah. Mereka menginginkan Ramah dapat hidup lebih
baik secara materi setelah menikah dengan Musa.
Ramah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya
menikah dengan laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan materi dengan baik
bagi keluarga Ramah. Suami kakak Ramah adalah saudagar besar di Bengkulu,
sedangkan suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung. Pernikahan
Musa dengan Ramah sudah melalui aturan adat yang berlaku. Musa adalah suami
pilihan mamak dan Ramah menerima apa pun yang telah ditetapkan mamaknya.
Pada awal pernikahan Musa dan Ramah sudah timbul konflik yang
diakibatkan oleh kedua saudara Ramah. Musa dan Ramah tinggal di rumah
keluarga Ramah pada awal pernikahan. Kedua saudara Ramah selalu menyindir
ketidakmampuan Musa dalam memberikan yang sama baiknya dengan suami
mereka. Keadaan tersebut dihadapi Ramah dengan tenang dan berusaha
menguatkan hati suaminya. Ia pun tidak menunjukkan rasa kesal dan marah
terhadap ulah kedua saudaranya. Ramah tetap menghormati suaminya dan tidak
mengacuhkan perkataan saudaranya.
Hal yang sebaliknya terjadi pada diri Musa, ia semakin merasa rendah diri
dan tertekan dengan perkataan dan tingkah laku yang dilakukan oleh keluarga
besar Ramah. Pada akhirnya, ia sempat berhari-hari tidak pulang ke rumah
tersebut. Selama tidak pulang ke rumah tersebut, ia tinggal di rumah ibunya.
Setelah itu, muncul keinginannya untuk merantau agar dapat menyelesaikan
masalah yang ada. Ia meminta izin kepada ibunya untuk mengupas batang kayu
manis yang ditanamnya sembilan tahun yang lalu untuk dijadikan ongkos
merantau.
Saat membayangkan harga batang kayu manis yang akan dijualnya, Musa
melihat Ramah berjalan menuju rumah ibunya dengan muka sedih. Ramah
langsung menuangkan kesedihannya kepada Musa. Ia meminta Musa untuk
pulang bersamanya sambil menangis. Melihat keadaan tersebut, Musa pun
menyampaikan isi hatinya kepada Ramah. Ia merasa tertekan dengan keadaan di
rumah
gadang,
ditambah
lagi
dengan
ketidakhadiran
mamak
dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Musa pun mengungkapkan bahwa perasaan
sayangnya kepada Ramah tidak berubah sedikit pun.
Mendengar pernyataan Musa tersebut, Ramah meminta maaf dan
memintanya kembali tinggal di rumah keluarganya demi keutuhan rumah tangga
mereka. Namun, Musa menyatakan keinginannya untuk merantau kepada Ramah.
Tanpa diduga oleh Musa, Ramah menyatakan keinginannya untuk ikut serta
merantau meskipun Musa sudah menggambarkan kehidupan sulit yang akan
ditempuh selama merantau.
Oleh karena itu, Musa merasa senang karena istrinya setia mendampingi
apa pun keadaannya. Keinginan merantau pun mereka sampaikan kepada keluarga
Ramah. Tanggapan negatif yang diberikan oleh keluarga Ramah tidak
menyurutkan keinginan Ramah merantau bersama suaminya. Akhirnya, Musa dan
Ramah merantau ke Deli.
Di Deli, Ramah hidup dalam keadaan yang berbeda dengan di kampung.
Ia tinggal di rumah yang kecil dan hidup dalam kekurangan. Namun, keadaan
tersebut tidak menimbulkan masalah untuknya. Ia lebih mementingkan kebebasan
dalam mengatur rumah tangganya dan hal tersebut menimbulkan kebahagiaan
untuknya. Begitu pula dengan Musa, ia merasakan kebahagiaan rumah tangga
selama di rantau. Setelah lelah berkeliling menjajakan jualannya, ia selalu
disambut dengan senyuman oleh istrinya. Pada saat di kampung, ia selalu menjadi
pusat perhatian keluarga Ramah setelah pulang mencari nafkah, mereka ingin
melihat apa yang dapat diberikan Musa kepada Ramah. Dapat dikatakan, selama
di rantau Ramah dan Musa baru menemukan kebahagiaan sebenarnya dari
berumah tangga. Di rantau pula, mereka mendapatkan seorang anak yang diimpik
an selama berumah tangga.
Kebahagiaan Ramah dan Musa tidak berlangsung lama karena mamak
datang ke Deli untuk membawa pulang Ramah dan Fauzi ke kampung. Keluarga
besar Ramah dan mamak mendengar kabar dari orang kampung yang pulang dari
Deli bahwa Ramah tersiksa dalam perantauannya. Akhirnya, mereka memutuskan
untuk membawa Ramah kembali ke kampung sebagai bentuk pertolongan.
Keputusan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak pulang ke
kampung dan menjelaskan keadaan rumah tangganya yang sebenarnya kepada
mamak. Ia tidak merasa kesulitan hidup dalam kekurangan. Baginya, kebahagiaan
rumah tangga tidak dapat dilihat dan dinilai secara materi. Mamak pun melakukan
segala upaya agar Ramah dapat pulang bersamanya. Namun, Ramah tetap
menolaknya karena keinginannya menjaga kebahagiaan dan keutuhan rumah
tangganya.
Perlawanan Ramah kepada keinginan mamaknya tidak diikuti oleh Musa.
Ia mengizinkan mamak membawa Ramah dan Fauzi kembali ke kampung. Tidak
hanya itu, Musa pun menolak keinginan mamak untuk membiayai kepulangan
Ramah dan Fauzi pulang ke kampung. Ia menyatakan kesanggupannya untuk
membiayai kepulangan istri dan anaknya, serta mamak. Musa pun mencari
pinjaman kepada temannya untuk membiayai ongkos pulang kampung ketiganya.
Dengan kesedihan yang mendalam, Ramah mengikuti keinginan
suaminya. Ramah meminta kepada Musa untuk tidak menceraikannya. Musa pun
langsung mengiyakan permintaan istrinya karena ia pun tersiksa jauh dari istri dan
anaknya, apalagi jika mereka bercerai. Selama Ramah di kampung, ia mengirim
kabar kepada Musa melalui surat. Ia menyatakan keinginannya lagi agar tidak
diceraikan oleh Musa. Selain itu, ia juga menceritakan penilaian orang-orang di
kampung tentang mereka berdua selama di rantau.
Musa juga merasakan kesedihan saat dipisahkan dari istri dan anaknya
oleh mamak. Namun, dia tidak berdaya untuk menjemput kembali istrinya yang
berada di kampung. Terlebih lagi, ia sempat berpikir untuk menceraikan Ramah,
sama seperti yang diinginkan keluarga besarnya. Pikiran buruk tersebut cepat
dihilangkan dari kepalanya. Ia menyadari tidak ada yang salah dalam rumah
tangganya. Oleh karena itu, ia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa ada
perjuangan untuk menjemput anak dan istrinya di kampung. Ia tetap mengirimkan
uang kepada Ramah sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Perjuangan Musa belum dirasa cukup oleh keluarga Ramah. Oleh karena
itu, mereka meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Ramah pun menolak untuk
mengabulkan permintaan tersebut. Namun, keluarga besar Ramah dan mamak
tidak henti-hentinya memaksakan keinginan tersebut. Akhirnya, Ramah menuruti
keinginan mamak dan ibunya. Ia diantarkan oleh ibunya ke musola untuk
meminta taklik kepada kadi. Saat meminta taklik kepada kadi, Ramah berurai air
mata mengucapkan keinginannya tersebut.
Tak lama kemudian, ada wakil dari kampung yang mengantarkan surat
taklik kepada Musa. Saat membaca surat tersebut, Musa menyadari bahwa Ramah
dan dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan mamak dan keluarga
besar Ramah dalam rumah tangganya. Musa pun merasakan kehilangan karena ia
tidak dapat lagi melihat buah hatinya bersama Ramah, Fauzi.
Di akhir ceritanya kepada Engku, Musa menitikkan air mata sebagai
wujud kesedihannya. Engku pun terlihat bersimpati terhadap keadaan Musa. Ia
pun membayar upah Musa melebihi bayaran yang seharusnya diterima.
sumber artikel: Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
Sebelum memasuki analisis tema dan tokoh Didjemput Mamakanja,
penulis memberikan sinopsis Didjemput Mamaknja agar dapat memudahkan
pembaca memahami bahasan selanjutnya. Bahasan ini sengaja diletakkan sebelum
memasuki analisis tema dan tokoh, bukan pada lampiran agar memudahkan
pembaca dalam membacanya. Selain itu, penulis menjadikan sinopsis menjadi
subbab sendiri agar tidak menimbulkan kerancuan jika digabungkan dalam
subbab yang lain.
Cerita Didjemput Mamaknja diawali dengan pertemuan seorang penjual
kulit kasur dengan pengguna jasanya. Penjual kulit kasurnya bernama Musa dan
pengguna jasanya adalah Engku. Suatu hari, Engku ingin mengganti kulit kasur
yang sudah lama rusak. Engku ini digambarkan sebagai seorang penulis.
Sebenarnya, pagi hari itu, ia harus pergi ke kantor namun hatinya lebih memilih
untuk melihat tukang kasur yang sedang mengganti kulit kasur anak-anaknya.
Ternyata, Engku dan Musa terlibat pembicaraan yang cukup serius tentang
kehidupan Musa. Ia mendengarkan dengan jelas setiap peristiwa yang diingat
kembali oleh Musa. Kejadian tersebut sudah cukup lama dialami oleh Musa.
Meskipun lelah melakukan pekerjaannya, Musa terlihat semangat untuk
menceritakan apa yang telah dialaminya.
Kilas balik kehidupan Musa diawali dengan gambaran kerja kerasnya
untuk mencari nafkah bagi keluarga kecilnya. Selama dua tahun di perantauan,
Musa dan istrinya, Ramah, mendapatkan seorang putra yang bernama Fauzi. Ia
tidak kenal lelah menjajakan jualannya meskipun kadang-kadang pulang tanpa
membawa hasil. Namun, ketidakberhasilan dan kelelahan Musa dapat terobati
oleh kehadiran istri dan anak yang selalu mendukungnya. Ramah, sebagai istri,
menerima dengan tulus apa pun yang didapatkan Musa dari usahanya.
Namun, ketulusan istrinya yang menerima kehidupan sulit di rantau
menimbulkan kekhawatiran dalam diri Musa. Ia takut Ramah akan tersiksa hidup
dalam kemiskinan karena ia berasal dari keluarga yang kaya. Selain itu,
kekhawatiran Musa juga ditimbulkan dari ketidakmampuannya untuk memenuhi
keinginan keluarga besar Ramah. Mereka menginginkan Ramah dapat hidup lebih
baik secara materi setelah menikah dengan Musa.
Ramah adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kakak dan adiknya
menikah dengan laki-laki yang dapat memenuhi kebutuhan materi dengan baik
bagi keluarga Ramah. Suami kakak Ramah adalah saudagar besar di Bengkulu,
sedangkan suami adiknya seorang saudagar barang hutan di kampung. Pernikahan
Musa dengan Ramah sudah melalui aturan adat yang berlaku. Musa adalah suami
pilihan mamak dan Ramah menerima apa pun yang telah ditetapkan mamaknya.
Pada awal pernikahan Musa dan Ramah sudah timbul konflik yang
diakibatkan oleh kedua saudara Ramah. Musa dan Ramah tinggal di rumah
keluarga Ramah pada awal pernikahan. Kedua saudara Ramah selalu menyindir
ketidakmampuan Musa dalam memberikan yang sama baiknya dengan suami
mereka. Keadaan tersebut dihadapi Ramah dengan tenang dan berusaha
menguatkan hati suaminya. Ia pun tidak menunjukkan rasa kesal dan marah
terhadap ulah kedua saudaranya. Ramah tetap menghormati suaminya dan tidak
mengacuhkan perkataan saudaranya.
Hal yang sebaliknya terjadi pada diri Musa, ia semakin merasa rendah diri
dan tertekan dengan perkataan dan tingkah laku yang dilakukan oleh keluarga
besar Ramah. Pada akhirnya, ia sempat berhari-hari tidak pulang ke rumah
tersebut. Selama tidak pulang ke rumah tersebut, ia tinggal di rumah ibunya.
Setelah itu, muncul keinginannya untuk merantau agar dapat menyelesaikan
masalah yang ada. Ia meminta izin kepada ibunya untuk mengupas batang kayu
manis yang ditanamnya sembilan tahun yang lalu untuk dijadikan ongkos
merantau.
Saat membayangkan harga batang kayu manis yang akan dijualnya, Musa
melihat Ramah berjalan menuju rumah ibunya dengan muka sedih. Ramah
langsung menuangkan kesedihannya kepada Musa. Ia meminta Musa untuk
pulang bersamanya sambil menangis. Melihat keadaan tersebut, Musa pun
menyampaikan isi hatinya kepada Ramah. Ia merasa tertekan dengan keadaan di
rumah
gadang,
ditambah
lagi
dengan
ketidakhadiran
mamak
dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut. Musa pun mengungkapkan bahwa perasaan
sayangnya kepada Ramah tidak berubah sedikit pun.
Mendengar pernyataan Musa tersebut, Ramah meminta maaf dan
memintanya kembali tinggal di rumah keluarganya demi keutuhan rumah tangga
mereka. Namun, Musa menyatakan keinginannya untuk merantau kepada Ramah.
Tanpa diduga oleh Musa, Ramah menyatakan keinginannya untuk ikut serta
merantau meskipun Musa sudah menggambarkan kehidupan sulit yang akan
ditempuh selama merantau.
Oleh karena itu, Musa merasa senang karena istrinya setia mendampingi
apa pun keadaannya. Keinginan merantau pun mereka sampaikan kepada keluarga
Ramah. Tanggapan negatif yang diberikan oleh keluarga Ramah tidak
menyurutkan keinginan Ramah merantau bersama suaminya. Akhirnya, Musa dan
Ramah merantau ke Deli.
Di Deli, Ramah hidup dalam keadaan yang berbeda dengan di kampung.
Ia tinggal di rumah yang kecil dan hidup dalam kekurangan. Namun, keadaan
tersebut tidak menimbulkan masalah untuknya. Ia lebih mementingkan kebebasan
dalam mengatur rumah tangganya dan hal tersebut menimbulkan kebahagiaan
untuknya. Begitu pula dengan Musa, ia merasakan kebahagiaan rumah tangga
selama di rantau. Setelah lelah berkeliling menjajakan jualannya, ia selalu
disambut dengan senyuman oleh istrinya. Pada saat di kampung, ia selalu menjadi
pusat perhatian keluarga Ramah setelah pulang mencari nafkah, mereka ingin
melihat apa yang dapat diberikan Musa kepada Ramah. Dapat dikatakan, selama
di rantau Ramah dan Musa baru menemukan kebahagiaan sebenarnya dari
berumah tangga. Di rantau pula, mereka mendapatkan seorang anak yang diimpik
an selama berumah tangga.
Kebahagiaan Ramah dan Musa tidak berlangsung lama karena mamak
datang ke Deli untuk membawa pulang Ramah dan Fauzi ke kampung. Keluarga
besar Ramah dan mamak mendengar kabar dari orang kampung yang pulang dari
Deli bahwa Ramah tersiksa dalam perantauannya. Akhirnya, mereka memutuskan
untuk membawa Ramah kembali ke kampung sebagai bentuk pertolongan.
Keputusan ini menemui perlawanan dari Ramah. Ia menolak pulang ke
kampung dan menjelaskan keadaan rumah tangganya yang sebenarnya kepada
mamak. Ia tidak merasa kesulitan hidup dalam kekurangan. Baginya, kebahagiaan
rumah tangga tidak dapat dilihat dan dinilai secara materi. Mamak pun melakukan
segala upaya agar Ramah dapat pulang bersamanya. Namun, Ramah tetap
menolaknya karena keinginannya menjaga kebahagiaan dan keutuhan rumah
tangganya.
Perlawanan Ramah kepada keinginan mamaknya tidak diikuti oleh Musa.
Ia mengizinkan mamak membawa Ramah dan Fauzi kembali ke kampung. Tidak
hanya itu, Musa pun menolak keinginan mamak untuk membiayai kepulangan
Ramah dan Fauzi pulang ke kampung. Ia menyatakan kesanggupannya untuk
membiayai kepulangan istri dan anaknya, serta mamak. Musa pun mencari
pinjaman kepada temannya untuk membiayai ongkos pulang kampung ketiganya.
Dengan kesedihan yang mendalam, Ramah mengikuti keinginan
suaminya. Ramah meminta kepada Musa untuk tidak menceraikannya. Musa pun
langsung mengiyakan permintaan istrinya karena ia pun tersiksa jauh dari istri dan
anaknya, apalagi jika mereka bercerai. Selama Ramah di kampung, ia mengirim
kabar kepada Musa melalui surat. Ia menyatakan keinginannya lagi agar tidak
diceraikan oleh Musa. Selain itu, ia juga menceritakan penilaian orang-orang di
kampung tentang mereka berdua selama di rantau.
Musa juga merasakan kesedihan saat dipisahkan dari istri dan anaknya
oleh mamak. Namun, dia tidak berdaya untuk menjemput kembali istrinya yang
berada di kampung. Terlebih lagi, ia sempat berpikir untuk menceraikan Ramah,
sama seperti yang diinginkan keluarga besarnya. Pikiran buruk tersebut cepat
dihilangkan dari kepalanya. Ia menyadari tidak ada yang salah dalam rumah
tangganya. Oleh karena itu, ia tetap mempertahankan rumah tangganya tanpa ada
perjuangan untuk menjemput anak dan istrinya di kampung. Ia tetap mengirimkan
uang kepada Ramah sebagai bentuk tanggung jawabnya.
Perjuangan Musa belum dirasa cukup oleh keluarga Ramah. Oleh karena
itu, mereka meminta Ramah untuk menceraikan Musa. Ramah pun menolak untuk
mengabulkan permintaan tersebut. Namun, keluarga besar Ramah dan mamak
tidak henti-hentinya memaksakan keinginan tersebut. Akhirnya, Ramah menuruti
keinginan mamak dan ibunya. Ia diantarkan oleh ibunya ke musola untuk
meminta taklik kepada kadi. Saat meminta taklik kepada kadi, Ramah berurai air
mata mengucapkan keinginannya tersebut.
Tak lama kemudian, ada wakil dari kampung yang mengantarkan surat
taklik kepada Musa. Saat membaca surat tersebut, Musa menyadari bahwa Ramah
dan dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dengan kekuasaan mamak dan keluarga
besar Ramah dalam rumah tangganya. Musa pun merasakan kehilangan karena ia
tidak dapat lagi melihat buah hatinya bersama Ramah, Fauzi.
Di akhir ceritanya kepada Engku, Musa menitikkan air mata sebagai
wujud kesedihannya. Engku pun terlihat bersimpati terhadap keadaan Musa. Ia
pun membayar upah Musa melebihi bayaran yang seharusnya diterima.
sumber artikel: Kritik atas..., Silvy Riana Putri, FIB UI, 2009
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....