Harga: Rp.20.000 (blum ongkir)
KONDISI: BAGUSTEBAL: 161 HAL
Judul Buku: Dialog Ramadlan Bersama Cak Nur
Penulis: Nurcholish Majid
Editor: Ahmad Gaus A.F
Penerbit: Jakarta, Paramadina, 2000.
Nurcholish Madjid kembali membukukan pikiran-pikirannya. Membahas soal puasa hingga Idul Fitri. Marhaban Ya Ramadhan. Kalimat sambutan ini memang pantas disebut pada setiap kedatangan Ramadhan: bulan penuh berkah, rahmah, dan magfirah Allah. Karena penuh keistimewaan itulah, maka wajar bila soal Ramadhan tak luput dibahas oleh para cendekiawan Islam. Lihat, misalnya, karya Imam al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim al- Jauzi, Sayyid Quthb, dan Thabathabai.
Nurcholish Madjid tampaknya ingin mengikuti jejak mereka, dengan mengupas masalah-masalah yang berkaitan dengan Ramadhan. Tapi, ada pertanyaan yang harus dijawab: perlukah buku terbaru Nurcholish ini dibaca? Bukankah soal Ramadhan telah dikaji oleh banyak pemikir Islam? Adakah hal-hal baru dan istimewa dari buku pemilik Yayasan Waqaf Paramadina ini?
Karya Rektor Paramadina Mulya ini benar-benar berbeda dari karya para tokoh Islam pendahulunya dalam memaparkan makna dan hikmah peristiwa pada Ramadhan hingga Idul Fitri: nuzul al-Quran (turunnya Al-Quran), layl al-qadr (malam penentuan), dan zakat fitrah. Nurcholish tidak hanya memaknai dan memetik hikmah peristiwa itu dari satu aspek fikih (syariah Islam).
Ia juga meniliknya dari sisi pergumulan historis, penafsiran sosiologis, pengamatan antropologis, pergulatan filosofis, dan penghayatan tasawuf. Penjelasannya dipadu dari dua pisau analisis: ilmu pengetahuan klasik dan modern. Nurcholish mengupas peristiwa- peristiwa penting dalam sejarah Islam tersebut secara kronologis, sehingga tampak utuh dan saling terkait.
Semua kejadian itu tidak berdiri sendiri-sendiri. Bagi pemikir yang pernah dicalonkan sebagai Ketua Umum ICMI ini, kewajiban dan peristiwa keagamaan pada Ramadhan itu bisa dilihat sebagai satu kesatuan organik yang tidak boleh dipisah-pisahkan, dan merupakan rangkuman nilai-nilai Islam in a nutshell (dalam sebuah kapsul kecil).
Buku yang dibagi ke dalam lima bagian ini menjelaskan bahwa peristiwa awal pada Ramadhan dimulai dari kewajiban puasa, lalu Allah menurunkan kitab suci Al-Quran -sebagai petunjuk bagi orang- orang beriman- dan layl al-qadr -malam seribu bulan- dan diakhiri dengan kewajiban zakat fitrah. Puncaknya, orang-orang beriman yang telah memperbaiki tingkat ketakwaannya akan "kembali ke kesucian primordial" ('id al-fitr) dirinya.
Makna sosial-spiritual puasa Ramadhan dan Idul Fitri dapat dipahami dengan memandangnya sebagai simbolisme perjalanan melingkar hidup kerohanian manusia (halaman 134). Puasa adalah ibadah pribadi yang menjadi media penanaman tanggung jawab dan solidaritas sosial. Seorang beriman yang berpuasa dianjurkan memperbanyak membaca Al- Quran (tadarusan), beriktikaf di masjid untuk memperoleh layl al- qadr, dan membayar zakat fitrah untuk meringankan beban sesama manusia yang tidak mampu.
Nurcholish menegaskan, makna simbolisme selama puasa Ramadhan merupakan rasa rohani-sosial kepada sesama manusia dan kemanusiaan. Dan pada Idul Fitri -hari Lebaran untuk konteks Indonesia- umat Islam membangun tradisi mudik, maaf-memaafkan, dan halal-bi-halal untuk menyatukan silaturahmi dengan keluarga dan rekan sepergaulan. Idul Fitri memberikan bekal kerohanian baru kepada masyarakat Indonesia untuk menempuh hidup selama setahun mendatang.
Jadi, makna Idul Fitri harus ditangkap sebagai Hari Kemanusiaan Universal yang suci. Manusia adalah suci, dan harus berbuat suci kepada sesamanya (halaman 137). Nurcholish mengutip hadis Rasulullah. "Orang yang sayang kepada sesamanya akan disayang oleh Yang Maha Penyayang. Maka, sayangilah sesama di bumi, Dia yang di langit akan menyayangimu." (H.R. Tirmidzi dan Abu Daud). Secara keseluruhan, buku ini menyediakan menu sajian yang cukup beragam, kaya, dan menukik, yang berbeda dari buku-buku dengan tema serupa.
Idris Thaha
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....