Harga: Rp.50rb (blum ongkir)
Kondisi: bagus 2003
tebal: 209 hal
Kondisi: bagus 2003
tebal: 209 hal
Di tahun 2006 ini Pramoedya Ananta Toer meninggal dan kita mewarisi
sebuah ikon dan sejumlah karya. Yang belum banyak diingat ialah bahwa ia
juga meninggalkan sebuah gagasan tentang sastra yang sebenarnya
kontroversial.
Di tahun 1963, ia menyusun satu risalah tentang “Realisme Sosialis”, doktrin yang bagi Pramoedya dapat dan semestinya diterapkan sebagai dasar praktek sastra dan kritiknya. Meskipun dalam wawancaranya dengan Tempo 4 Mei 1999 ia mengatakan, “Saya tak pernah membela realisme sosialis”, risalah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia itu adalah advokasi yang bersemangat untuk doktrin itu.
“Realisme sosialis” kini hanya diketahui secara samar-samar oleh generasi yang lahir setelah 1970-an. Penindasan dan pembungkaman atas pikiran-pikiran Marxis sejak 1966-1998 telah menyebabkannya hampir dilihat sebagai sesuatu yang gaib, dan sebab itu tak pernah dianalisis dengan baik. Dilihat sebagai bahan sejarah sastra dan seni, juga sebagai masalah pemikiran, “Realisme Sosialis” amat penting, walaupun umurnya tak panjang. Doktrin itu berbicara tentang masanya: inilah pegangan resmi para seniman anggota Lekra yang, di bawah patronase Partai Komunis Indonesia, merupakan organisasi dan gerakan yang terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. Meskipun tak dapat dikatakan “Realisme Sosialis” telah dipahami dan dianut secara merata di kalangan Lekra, doktrin itu penting bagi Pramoedya sendiri. Sejak awal 1960-an ia dengan sadar menggunakannya buat menilai karya sastra – termasuk yang ditulisnya sendiri – dan mempengaruhi corak prosanya yang kemudian
Di tahun 1963, ia menyusun satu risalah tentang “Realisme Sosialis”, doktrin yang bagi Pramoedya dapat dan semestinya diterapkan sebagai dasar praktek sastra dan kritiknya. Meskipun dalam wawancaranya dengan Tempo 4 Mei 1999 ia mengatakan, “Saya tak pernah membela realisme sosialis”, risalah yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia itu adalah advokasi yang bersemangat untuk doktrin itu.
“Realisme sosialis” kini hanya diketahui secara samar-samar oleh generasi yang lahir setelah 1970-an. Penindasan dan pembungkaman atas pikiran-pikiran Marxis sejak 1966-1998 telah menyebabkannya hampir dilihat sebagai sesuatu yang gaib, dan sebab itu tak pernah dianalisis dengan baik. Dilihat sebagai bahan sejarah sastra dan seni, juga sebagai masalah pemikiran, “Realisme Sosialis” amat penting, walaupun umurnya tak panjang. Doktrin itu berbicara tentang masanya: inilah pegangan resmi para seniman anggota Lekra yang, di bawah patronase Partai Komunis Indonesia, merupakan organisasi dan gerakan yang terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. Meskipun tak dapat dikatakan “Realisme Sosialis” telah dipahami dan dianut secara merata di kalangan Lekra, doktrin itu penting bagi Pramoedya sendiri. Sejak awal 1960-an ia dengan sadar menggunakannya buat menilai karya sastra – termasuk yang ditulisnya sendiri – dan mempengaruhi corak prosanya yang kemudian
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....