Harga: Rp.450rb (blumongkir)
Kondisi: Lumayan, HASTA MITRA 1995- cetak ulang dengan EYD
Tebal: 218 hal
Berart: 0,28 Kg
Kondisi: Lumayan, HASTA MITRA 1995- cetak ulang dengan EYD
Tebal: 218 hal
Berart: 0,28 Kg
sumber:elfsi
Di Tepi Kali Bekasi
by Pramoedya Ananta Toer
Lewat novel ini Pramoedya ingin menjungkirkan cara pendang konvensional dalam melihat wacana sejarah revolusi Republik yang selalu menempatkan militer dan para jendralnya sebagai kubu heroik dan pahlawan. Adapun tokoh-tokoh anonim yang tak memiliki aksesibilitas ke penulisan sejarah Istana, tersingkir dan lenyap. Pram berusaha menempatkan
tokoh-tokoh anonim ini sedemikian rupa di tempatnya yang layak.
Farid tokoh biasa yang mungkin hampir tak pernah dikenang disepanjang masa tapi jangan salah Farid turut ambil bagian mungkin melebihi para pahlawan yang disebut – sebutkan. Farid adalah protagonis yang walaupun labil namun memiliki semangat membara untuk membela tanah air, yang mungkin akan sulit ditemukan pada saat sekarang. Meskipun ayahnya satu-satunya kluarga kandung yang ia miliki melarang untuk bertempur tapi semangatnya membara demi tanah air tercinta.
Farid benci akan penjajahan dan NICA. Namun apa boleh buat keadaan memaksa sang Ayah untuk masuk NICA, betapa remuknya hati Farid, namun demi cintanya akan Tanah air dan seluruh penderitaan rakyat Indonesia Farid pun tetap teguh pendiriannya.
Jatuh cinta pada Nany yang indo bertemu dengan sahabat-sahabat tempurnya para prajurit rakyat dengan seluruh kisah pertempuran tempo doeloe, seluruh kisah Farid di tepi kali bekasi membawa hanyut pembaca ke awal tahun kemerdekaan Indonesia, serasa raga ikut berperang mendukung setiap aksi – aksi perjuangan Farid yang tak kenal lelah dan derita, kisah di Tepi Kali Bekasi mengingatkan akan para tokoh biasa yang mungkin hampir tak pernah dikenang disepanjang masa bahkan disebut saja pun dibarisan deretan pahlawan kurasa tidak pernah dikarenakan mereka kaum yang kalah dalam neraca sirkulasi kekuasaan.
Tatkala ia berteriak : Merdeka,mereka balik kembali. Membalas salam nasional dengan meninggikan ibu jarinya. Lucu cara mereka memberi hormat. Ibu jari ditinggikan depan hidung. Kepala mengangguk beberapa senti ke depan, mata bersinar-sinar mulut tersenyum, kaki keduanya direndahkan jadi huruf “O”.
Tatakala mengakhiri buku ini, ingin rasanya diriku berteriakkk.. .”MERRRDEKAAAA” tentunya sambil menirukan gaya huruf “O” nya mereka, khohoho ^_^
Di Tepi Kali Bekasi
by Pramoedya Ananta Toer
Lewat novel ini Pramoedya ingin menjungkirkan cara pendang konvensional dalam melihat wacana sejarah revolusi Republik yang selalu menempatkan militer dan para jendralnya sebagai kubu heroik dan pahlawan. Adapun tokoh-tokoh anonim yang tak memiliki aksesibilitas ke penulisan sejarah Istana, tersingkir dan lenyap. Pram berusaha menempatkan
tokoh-tokoh anonim ini sedemikian rupa di tempatnya yang layak.
Farid tokoh biasa yang mungkin hampir tak pernah dikenang disepanjang masa tapi jangan salah Farid turut ambil bagian mungkin melebihi para pahlawan yang disebut – sebutkan. Farid adalah protagonis yang walaupun labil namun memiliki semangat membara untuk membela tanah air, yang mungkin akan sulit ditemukan pada saat sekarang. Meskipun ayahnya satu-satunya kluarga kandung yang ia miliki melarang untuk bertempur tapi semangatnya membara demi tanah air tercinta.
Farid benci akan penjajahan dan NICA. Namun apa boleh buat keadaan memaksa sang Ayah untuk masuk NICA, betapa remuknya hati Farid, namun demi cintanya akan Tanah air dan seluruh penderitaan rakyat Indonesia Farid pun tetap teguh pendiriannya.
Jatuh cinta pada Nany yang indo bertemu dengan sahabat-sahabat tempurnya para prajurit rakyat dengan seluruh kisah pertempuran tempo doeloe, seluruh kisah Farid di tepi kali bekasi membawa hanyut pembaca ke awal tahun kemerdekaan Indonesia, serasa raga ikut berperang mendukung setiap aksi – aksi perjuangan Farid yang tak kenal lelah dan derita, kisah di Tepi Kali Bekasi mengingatkan akan para tokoh biasa yang mungkin hampir tak pernah dikenang disepanjang masa bahkan disebut saja pun dibarisan deretan pahlawan kurasa tidak pernah dikarenakan mereka kaum yang kalah dalam neraca sirkulasi kekuasaan.
Tatkala ia berteriak : Merdeka,mereka balik kembali. Membalas salam nasional dengan meninggikan ibu jarinya. Lucu cara mereka memberi hormat. Ibu jari ditinggikan depan hidung. Kepala mengangguk beberapa senti ke depan, mata bersinar-sinar mulut tersenyum, kaki keduanya direndahkan jadi huruf “O”.
Tatakala mengakhiri buku ini, ingin rasanya diriku berteriakkk.. .”MERRRDEKAAAA” tentunya sambil menirukan gaya huruf “O” nya mereka, khohoho ^_^
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....