Harga: Rp.55.000 (blum ongkir)
Kondisi: LUMAYAN. cet 4 januari 2006.
tEBAL: 218 HAL
BERAT: 0,27 KG
Andy Firmansyah: 087 85 955 86 78
Judul : Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Penulis : Pramoedya Ananta Toer
Isi : ix + 248 halaman (13.5 x 20 cm)
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN - 13 : 978 – 979 – 91 – 0363 – 5
“…kalian para perawan remaja, telah aku susun surat ini untuk kalian, bukan saja agar kalian tahu tentang nasib buruk yang biasa menimpa para gadis seumur kalian, juga agar kalian punya perhatian terhadap sejenis kalian yang mengalami kemalangan itu… Surat kepada kalian ini juga semacam pernyataan protes, sekalipun kejadiannya telah puluhan tahun lewat…”
Satu lagi buku bagus yang ingin saya tuliskan resensinya, tadinya mau saya posting tanggal 21 April kemarin sekalian kado untuk “renungan hari kartini”, tapi harus tertunda karena keterbatasan saya. Novel ini disusun berdasarkan sebuah dokumen yang baru diterima oleh penerbitnya, KPG sehari sebelum keberangkatan Pramoedya Ananta Toer ke Jepang untuk menerima penghargaan utama “The Fukuoka Asian Culture Prize” ke 11. Penghargaan ini dianugerahkan kepada orang yang dianggap telah memberikan sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan, seni, dan budaya Asia. Pramoedya Ananta Toer dinilai banyak menciptakan karya-karya yang bertema kemanusiaan. Saya yakin penulis yang satu ini sudah tidak asing lagi dimata pembaca / kompasianer sekalian.
Naskah ini berisi catatan tentang perempuan remaja Indonesia yang dijadikan budak seks oleh para tentara Jepang pada Perang Dunia II. Catatan tersebut disusun berdasarkan keterangan teman-teman sepembuangan Pramoedya di Pulau Buru, serta hasil pelacakan mereka terhadap para budak seks yang ditinggalkan begitu saja di Pulau Buru setelah Jepang menyerah pada 1945.
Berawal dari sulitnya hubungan laut dan udara akibat Perang Pasifik mengakibatkan Balatentara Dai Nippon tak lagi bisa mendatangkan wanita penghibur dari Jepang, China dan Korea. Sebagai gantinya, para gadis Indonesia dikirimkan ke garis terdepan sebagai penghibur. Penipuan pun mulai dilakukan. Dalam keadaan yang serba sulit disekitar tahun 1943 Pemerintahan Balatentara Pendudukan Dai Nippon memberi janji belajar para pemuda pemudi Indonnesia ke Tokyo dan Shonanto. Anehnya penyampaian janji-janji itu tidak disiarkan melalui harian atau barang cetakan lain, tapi melalui sasus atau dari mulut ke mulut (mulut-mulut yang mempunyai kekuasaan). Kelanjutan pekerjaan ini ditangani oleh Sendenbu (Jawatan Propaganda). Janji mempersiapkan rakyat Indonesia ke arah kemerdekaan sesuai dengan kehendak Nippon, generasi muda dididik untuk bisa mengabdikan diri dalam kemerdekaan. Janji ini disampaikan dari Sendenbu ke Pangreh Praja kemudian ke Bupati, Bupati ke Camat, Camat ke Lurah dan seterusnya.
Janji-janji yang tidak pernah diumumkan secara resmi, terutama tidak tercantum dalam Osamu Serei (Lembaran Negara) adalah kesengajaan Pemerintah Pendudukan Balatentara Dai Nippon untuk menghilangkan jejak, agar orang tak mudah membuktikan kejahatannya. Jepang memang hendak menghapuskan semua jejak agar terbebas dari tuduhan melakukan kejahatan perang, maka begitu kalah perang Jepang segera membebasakan para remaja itu, dilepaskan begitu saja tanpa pesangon, tanpa fasilitas. Jepang berusaha cuci tangan. Ini dilakukan sebelum sekutu mengambil alih kekuasaan dan menerima penyerahan mereka. Sayangnya Indonesia sendiri tidak pernah membentuk komisi untuk menyelidiki soal ini.
Dengan detail digambarkan bagaimana para perempuan itu diambil dari keluarganya diberbagai daerah, seperti apa mereka ditampung di pengepolan, sampai mereka mulai curiga dan tersadar akan penipuan Jepang selama diperjalan. Setiap rombongan mengalami nasib yang serupa. Diambil dari keluarga dengan janji manis, dijadikan budak seks dan kemudian diterlantarkan begitu saja ditempat yang samasekali asing bagi mereka. Misalnya Kartini dari Sukorejo dan serombongannya yang diangkut dengan kapal, sekitar 1.5 mil lepas dari pelabuhan para perwira Jepang serentak melakukan serangan terhadap para perawan itu, memperkosa dan menghancurkan impian mereka menjadi generasi muda berpendidikan. Atau terungkapnya kisah Sumiyati yang kini terdampar di Bangkok ; air mata Sumiyati mulai bercucuran waktu kisah hidupnya sampai pada suatu bagian kala asramanya yang berisikan 50 gadis jawa didatangi oleh sejumlah besar serdadu Jepang dan menggilir mereka gelombang demi gelombang.
Bukan hanya wanita Indoneisa yang dijadikan budak seks serdadu Jepang. Diperkirakan, 200.000 perempuan di Negara-Negara Asia yang pernah diduduki Jepang, seperti Korea Selatan, Philipina, Indonesia, dan Burma termasuk perempuan Jepang sendiri. Ironisnya hingga kini pemerintah Jepang tetap menolak untuk bertanggung jawab secara hukum. Alasannya para korban ialah jugun ianfu (perempuan penghibur) yang bekerja secara sukarela, bukan sebagai budak seks.
Yang paling menarik dalam buku ini tentu saja pencarian Ibu Mulyati dari Klaten yang terdampar di Pulau Buru. Keaslian alam Pulau Buru berhasil dilukiskan dengan jelas oleh penulis, lengkap dengan gambaran budaya dan peradaban masayarakat aslinya. Perjalanan melelahkan selama duapuluh jam yang sarat dengan peristiwa silih berganti akhirnya menemukan hasil juga, meskipun pertemuan itu tidak memberikan solusi atas derita yang dialami Ibu Mulyati dari perawan remaja sampai akhir hidupnya. Selama 35 tahun.
Satu hal yang membuat saya kesulitan dalam memahami cerita ini adalah beberapa percakapan yang dituliskan dengan Bahasa Buru. Bahasa yang sama sekali asing ditelinga saya, tapi disisi lain penggunaan Bahasa Buru ini justru menjaga keaslian cerita itu sendiri.
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, satu novel yang lebih mirip penggalan sejarah Perang Dunia II dari sudut pandang lain. Sangat layak berada diantara deretan koleksi buku kita. Semoga bermanfaat…
sumber: http://media.kompasiana.com/buku/2012/04/28/resensi-buku-perawan-remaja-dalam-cengkeraman-militer/
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....