|
Hard Cover kondisi bersampul plastik |
TERJUAL BY ANDRA EKA JAKSEL
Harga: Rp.300.000 (blum ongkir)
Kondisi: Bagus, Hard Cover bersampul plastik
|
Ketebalan buku 551 halaman |
|
Isi dalam buku masih bagus, cuma ada tanda tangan dari pemilik sebelumnya |
Penerbit: PT.. Pustaka Jaya cet. 2 tahun 1983
Tebal: 551 halaman
Berat: 0,70 Kg
Clifford Geertz dan Agama Jawa (Abangan, Santri dan Priyayi)
Clifford Geertz adalah penulis buku legendaris The Religion of Java,
yang populer sekaligus penting bagi diskusi tentang agama di Indonesia,
khususnya di Jawa. Pandangan Geertz yang mengungkapkan tentang adanya
trikotomi--abangan, santri dan priyayi--di dalam masyarakat Jawa,
ternyata telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik
tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama
dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam,
dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk
melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya.
Keterpengaruhan itu bisa dilihat dari beberapa pandangan yang mencoba
menerapkan kerangka berfikir Geertz ataupun mereka yang ingin melakukan
kritik terhadap wacana Geertz.
Biografi Clifford Geertz
Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika
Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi
budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan
Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan
pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi.
Karir
Geertz diawali dari dunia militer, dimana dia melayani Angkatan Laut
Amerika selama Perang Dunia II. Adapun karir akademiknya dimulai ketika
dia menerima gelar sarjana dalam bidang filsafat dari Antioch College,
Ohio, pada tahun 1950.[1] Dari Antioch ia melanjutkan studi antropolgi
di Harvard University. Pada tahun keduanya di Harvard ini, ia bersama
isterinya, Hildred, pergi ke Pulau Jawa dan tinggal di sana selama dua
tahun untuk mempelajari masyarakat multiagama, multiras yang kompleks
di sebuah kota kecil –Mojokuto. Setelah kembali ke Harvard, Geertz pada
tahun 1956 memperoleh gelar doktor dari Harvard’s Departement of Social
Relations dengan spesialisasi dalam antropologi.[2]
Sebelum
bergabung dengan Institute for Advanced Study, sebuah lembaga penelitian
yang pernah menjadi rumah bagi para pemikir besar seperti Albert
Einstein, Geertz mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor
antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah
mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975
sampai 2000, ia menjadi profesor tamu di Universitas Princeton yang
kampusnya hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Institute for Advanced
Study. Tahun 2000, Geertz pensiun dari Institute for Advanced Study,
tetapi tidak mengurangi produktifitasnya untuk terus menulis.[3]
Adapun tema yang dibicarakan Geertz dalam berbagai esai dan buku yang
telah diterbitkan meliputi seluruh spekturm kehidupan sosial manusia:
dari pertanian, ekonomi, dan ekologi hingga ke pola-pola kekeluargaan,
sejarah sosial, dan politik dari bangsa-bangsa berkembang; dari seni,
estetika, dan teori sastra hingga ke filsafat, sains, tehnologi, dan
agama. Namun begitu, perhatian utama Geertz lebih ditekankan pada
pemikiran kembali secara serius terhadap hal-hal pokok di dalam praktek
antropologi dan ilmu sosial yang lain –pemikiran kembali yang secara
langsung berhubungan dengan usaha memahami agama.[4]
Sebagai seorang
antropolog, Clifford Geertz menjadi terkenal dan populer di Indonesia
setelah melakukan penelitian di Jawa dan Bali, yang menghasilkan
beberapa buku penting tentang Indonesia. Dan yang paling pokok,
khususnya yang berkaitan dengan kajian Penulis, adalah kajiannya tentang
agama Jawa dan politik aliran (abangan, santri dan priyayi).[5]
Geertz adalah salah seorang generasi pertama Indonesianis yang selalu
menaruh perhatian besar tentang perkembangan yang terjadi di Indonesia.
Ia memang tak pernah memiliki murid dari Indonesia, tak seperti
Indonesianis lain misalnya Daniel Lev atau Benedict Anderson yang telah
menghasilkan banyak anak didik dari Indonesia. Tetapi, perhatian Geertz
yang besar terhadap Indonesia sangat mempengaruhi perkembangan diskursus
ilmu sosial di negeri ini.
Sebagaimana dituturkan oleh Ignas
Kleden, Geertz telah menghabiskan waktu selama 10 tahun lebih dalam
penelitian lapangan (di Jawa, Bali, dan Maroko) dan 30 tahun
digunakannya untuk menulis tentang hasil-hasil penelitiannya, dengan
tujuan menyampaikan pesona studi kebudayaan kepada orang-orang lain.
Clifford Geertz meninggal dunia di kediamannya di Pennsylvania, setelah
menjalani operasi jantung di Rumah Sakit Universitas Pennsylvania,
Amerika Serikat, Pada hari Selasa tanggal 31 Oktober 2006 dalam usia 80
tahun dengan meninggalkan banyak karya penting seperti The
Interpretation of Cultures, Islam Observed: Religious Development in
Morocco and Indonesia, Available Light, Local Knowledge, Works and
Lives: The Anthropologist as Author, After The Fact: Two Countries, Four
Decades, One Anthropologist, The Religion of Java,[6] Peddlers and
Princes, The Social History of an Indonesian Town, Kinship in Bali,
Negara: The Theater State in 19th Century Bali, dan Agricultural
Involution.[7]
Latar Belakang Pemikiran
Untuk memahami
buku The Religion of Java tampaknya tidak akan lengkap tanpa mengetahui
terlebih dahulu latar belakang antropologi Geertz. Dan semua itu akan
tampak jelas dengan memperhatikan latar belakang pendidikan
antropologinya, yakni Harvard University. Melihat latar belakang
pendidikan Geertz di bidang antropologinya ini, tampaknya ide agama dan
budaya Geertz berkembang di bawah dua pengaruh utama, yaitu tradisi
antroplogi Amerika yang independen dan kuat, dan perspektif tentang ilmu
sosial yang ia jumpai saat belajar di Harvard dibawah teoritisi
terkemuka, Talcott Parsons.[8]
Dalam tradisi antropologi Amerika,[9]
ditegaskan bahwa setiap teori harus berasal dari etnografi “partikular”
yang teliti, yaitu suatu studi yang berpusat pada satu komunitas dan
mungkin memakan waktu bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun untuk
menyelesaikannya. Disamping kerja lapangan, para perintis antropologi
Amerika juga memberi tekanan pada “budaya” sebagai unit kunci studi
antropologi. Mereka menegaskan bahwa di dalam studi lapangan, mereka
tidak hanya meneliti sebuah masyarakat, tetapi juga suatu sistem ide,
adat istiadat, sikap, simbol, dan institusi yang lebih luas dimana
masyarakat hanyalah suatu bagian. Dan saat mahasiswa, tentu saja Geertz
telah menyerap sebagian besar ide-ide utama para perintis antropologi
Amerika seperti Boas, Kroeber, Lowie dan Benedict kedalam perspektif
antropologinya.[10]
Adapun terhadap perspektif ilmu sosial,
tampaknya Talcott Parsons –gurunya di Harvard- telah bertindak sebagai
penyalur ide-ide Weber kepada Geertz.[11] Parson ini merupakan teoritisi
sosial terkemuka Amerika waktu itu yang sangat terpengaruh oleh
sosiolog besar asal Jerman, Max Weber. Parson ini juga yang telah
menerbitkan studi-studi orisinil dan brilian tentang hubungan antara
agama dan masyarakat. Parson ini pula yang menerjemahkan beberapa karya
Weber serta menjelaskan ide-ide pokoknya.
Dari Parson ini, Geertz
diperkenalkan dengan ide-ide Weber, terutama tentang pandangan Max Weber
bahwa manusia adalah makhluk yang terjebak dalam jejaring (web) makna
yang mereka buat sendiri, maka budaya adalah jejaring itu. Dari
pandangan ini, Geertz kemudian mencoba mengelaborasi pengertian
kebudayaan sebagai pola makna (pattern of meaning) yang diwariskan
secara historis dan tersimpan dalam simbol-simbol yang dengan itu
manusia kemudian berkomunikasi, berperilaku dan memandang kehidupan.[12]
Lebih lanjut Geertz juga berpendapat bahwa untuk memahami dunia
manusia yang sarat makna, tidak cukup dengan mengandalkan logika
positivisme tetapi juga harus melibatkan metode penafsiran atas motivasi
aktor penciptanya serta berbagai komponen yang turut membentuk jaringan
makna dimana aktor tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari
komunitasnya.[13] Bertolak dari pemikiran seperti ini, tidaklah
mengherankan jika kemudian analisis Geertz tentang kebudayaan dan
manusia tidaklah berupaya menemukan hukum-hukum seperti di ilmu-ilmu
alam, melainkan kajian intepretatif untuk mencari makna (meaning).
Dibawah pengaruh pemikiran ala Weberian dan juga tradisi antropologi
Amerika ini, Geertz tertarik untuk memfokuskan diri pada interpretasi
simbol-simbol yang diyakininya memberikan arti dan aturan kehidupan
masyarakat. Namun begitu, tampaknya Geertz tidak hanya mau menerima
teori-teori dari para pendahulunya secara taken for granted, dimana dia
ternyata mencoba menyimpang dari tradisi antropologi sebelumnya yang
memberi perhatian utama kepada kelompok suku, atau pemukiman di sebuah
pulau terpencil, komunitas kecil petani atau penggembala, atau suku-suku
terasing yang cenderung menghilang.[14] Sebaliknya, Geertz justru lebih
tertarik memperhatikan bagaimana aspek-aspek kehidupan yang berbeda
bercampur dalam suatu kesatuan budaya dalam menyiapkan deskripsi yang
detail dan sistematis tentang masyarakat non-Barat.[15]
Kaitannya
dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai obyek penelitiannya, menurut
Geertz itu hanya sebuah kebetulan belaka.[16] Namun begitu, menurut Nono
Makarim –salah seorang murid Geertz di Harvard dan juga pernah napak
tilas Geertz di Pare- pemilihan Indonesia adalah karena Indonesia pada
tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu negara yang memiliki
konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan[17] dan
kaya akan budaya dan model keberagamaannya. Kemudian, “Mojokuto” dipilih
untuk memberikan kontras terhadap kecenderungan tradisi antropologi
Amerika, karena kota kecil itu mempunyai penduduk yang melek huruf,
dengan tradisi yang tua, urban, sama sekali tidak homogen serta sadar
dan aktif secara politik. Di sana tampak jelas kebudayaan bukanlah
sesuatu yang serba utuh dan padu, melainkan penuh variasi dan
diferensiasi yang sangat jauh dari pengertian kebudayaan sebagai
kesatuan pola tingkah laku yang terdapat pada suatu kelompok orang.[18]
Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan suatu kota kecil di Jawa Timur
yang tak bisa mewakili kebudayaan Jawa secara keseluruhan. Namun bagi
Geertz, “Mojokuto” merupakan suatu tempat di mana makna “kejawaan” itu
dibumikan.[19] “Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya,
dimana Islam, Hinduisme, dan tradisi animisme pribumi “berbaur” dalam
satu sistem sosial.[20]
Dalam upayanya untuk menguak fenomena
menarik berkenaan dengan masyarakat di Mojokuto, Geertz melihatnya
sebagai suatu sistem sosial dengan kebudayaannya yang akulturatif dan
agamanya yang sinkretik, yang terdiri atas sub-kebudayaan Jawa yang
masing-masing merupakan struktur-struktur sosial yang berlainan.
Struktur-struktur sosial yang dimaksud adalah Abangan (yang intinya
berpusat di pedesaan), Santri (yang intinya berpusat di tempat
perdagangan atau pasar), Priyayi (yang intinya berpusat di kantor
pemerintahan, di kota).[21] Namun demikian, ketiga inti struktur sosial
di Jawa; desa, pasar, dan birokrasi pemerintah pada masa itu oleh Geertz
dipandang dalam pengertian yang luas.[22]
Menurut Geertz, tiga tipe
kebudayaan –abangan, santri, dan priyayi- merupakan cerminan organisasi
moral kebudayaan Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil
penggolongan penduduk Mojokuto berdasarkan pandangan mereka, yakni
kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik. Selain
itu, di Mojokuto ini juga terdapat lima jenis mata pencaharian utama
–petani, pedagang kecil, pekerja tangan yang bebas, buruh kasar dan
pegawai, guru atau administratur- yang kesemuanya mencerminkan dasar
organisasi sistem ekonomi kota ini dan darimana tipologi ini
dihasilkan.[23]
Dengan kenyataan tersebut diatas serta berbekal
kerangka pikir ala Weberian, tampaknya Geertz melihat bahwa dibalik
pernyataan sederhana penduduk Jawa yang 90 % beragama Islam,
sesungguhnya terdapat variasi dalam sistem kepercayaan, nilai, dan
upacara yang berkaitan dengan masing-masing struktur sosial tersebut.
Oleh karena itu, masalah-masalah yang perlu dirumuskan dalam penelitian
di Mojokuto ini adalah sebagai berikut:
Sejauhmana realitas
kemajuan, kedalaman dan kekayaan kehidupan spiritual masyarakat Jawa
–yang notabenenya lebih dulu mengalami peradaban daripada Inggris?[24]
Bagaimana hubungan antara struktur-struktur sosial yang ada dalam
suatu masyarakat dengan pengorganisasian dan perwujudan simbol-simbol?
Bagaimana para anggota masyarakat mewujudkan adanya integrasi dan
disintegrasi dengan cara mengorganisasi dan mewujudkan simbol-simbol
tertentu?[25]
Metode Penelitian Geertz
Secara
tersurat –sebagaimana ditulis Parsudi Suparlan- Geertz memang tidak
mengatakan kerangka teori apa yang dipakai. Namun demikian, penelitian
lapangan yang dilakukan dalam rangka penyusunan laporan untuk disertasi
doktoralnya di Departemen Hubungan Sosial Universitas Harvard ini,
tampaknya Geertz menggunakan penelitian kualitatif,[26] dengan
pendekatan yang berorientasi hermeneutik, yang belakangan dikenal dengan
pendekatan interpretif.[27] Dengan pendekatan interpretif ini, Geertz
melihat kebudayaan sebagai sistem pemaknaan yang harus dipahami secara
semiotik, yakni sebagai jejaring makna (webs of significance) atau
pola-pola makna yang terwujud sebagai simbol-simbol sehingga analisis
terhadapnya haruslah bersifat interpretif, yakni untuk menelusuri
makna,[28] dan menemukan maksud di balik apa yang dilakukan orang,
signifikansi ritual, struktur, dan kepercayaannya bagi semua kehidupan
dan pemikiran.[29]
Adapun untuk mengurai jejaring makna tersebut,
Geertz menggunakan teori “Skismatik dan Aliran”. Namun begitu, Teori
Skismatik Geertz ini sedikit berbeda dengan teori skismatik-nya Robert
Jay, dimana menurut Teori Skismatik Jay, akar-akar konfrontasi (skisma)
antara santri dan abangan bermula dari proses islamisasi awal di
berbagai tempat, khususnya Jawa. Wilayah-wilayah yang pada umumnya
pengaruh Hindu-Budha-nya tipis –terutama daerah-daerah pesisir utara
Jawa, telah mengkonversi Islam secara total dan menerima apa adanya.
Sehingga, mereka-mereka ini kelak akan menjadi kekuatan Islam yang
skripturalis, atau lebih tepat disebut “santri”. Sebaliknya, untuk
wilayah-wilayah tertentu di pedalaman dimana kekuatan Hindu-Budha-nya
cukup kuat terutama daerah-daerah pedalaman, seringkali menunjukkan
antara Islam dan kekuatan lokal saling melakukan penetrasi. Sehingga
kemudian transformasi sosial-budaya dan agama menjadi sesuatu yang
sinkretik dan pada akhirnya banyak melahirkan kelompok-kelompok
abangan.[30]
Clifford Geertz mengelaborasi kenyataan ini lebih jauh
lagi, bahwa ternyata skismatik sebagai fenomena pertarungan antara Islam
dan kekuatan lokal, pada dimensi-dimensi tertentu sebenarnya tidak bisa
menggambarkan secara utuh kenyataan Islam di Jawa. Ternyata masih ada
kekuatan lain selain abangan dan santri dalam kenyataan sosial budaya
masyarakat Jawa, yakni kelompok “priyayi”. Kelompok ini dalam
keseharian, memiliki sejumlah karakter yang berbeda seperti apa yang
biasa dilakukan oleh para santri dan abangan.[31]
Adapun mengenai
metode kerja yang digunakan Geertz dalam penyusunan buku The Religion of
Java ini, sebagaimana yang diungkapkan oleh Geertz sendiri, meliputi
tiga tahapan. Tahap Pertama, Persiapan intensif dalam Bahasa Indonesia
di Universitas Harvard, yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai
sarjana-sarjana Belanda yang ahli tentang Indonesia di Universitas
Leiden dan di Tropical Institute, Amsterdam, pada bulan Juli sampai
Oktober 1952.
Tahap Kedua, dari bulan Oktober 1952 sampai Mei 1953
mempelajari bahasa Jawa di Yogyakarta dengan mempergunakan
mahasiswa-mahasiswa UGM sebagai media untuk memperoleh pengetahuan umum
mengenai kebudayaan dan kehidupan kota Jawa. Pada tahap ini juga
dilakukan wawancara dengan pemimpin-pemimpin agama dan politik di
Jakarta, sekaligus mengumpulkan statistik dan menyelidiki organisasi
birokrasi pemerintah pada umumnnya dan Departemen Agama pada khususnya.
Tahap Ketiga, antara Mei 1953 sampai September 1954, yang merupakan
masa penelitian lapangan yang sesungguhnya, dan dilakukan di Mojokuto.
Dalam tahap ini, Geertz beserta istrinya tinggal di rumah seorang buruh
kereta api di ujung kota.[32]
Selama berada di Mojokuto ini, Geertz
mengaku bahwa pengumpulan data dalam penelitiannya –sebagian besar-
tidak dilakukan melalui wawancara resmi dengan informan khusus, tetapi
lebih sering dilakukan dengan kegiatan observasi-partisipasi. Hal ini
dibuktikan dengan pengakuan Geertz yang sering mengikuti perayaan umum,
rapat-rapat organisasi, upacara-upacara dan sebagainya.[33]
Dengan
demikian, setelah membaca buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa” serta sumber-sumber lain, secara umum dapat disimpulkan
bahwa metode yang digunakan oleh Geertz dalam penelitian lapangan ini
adalah penguasaan bahasa lokal, pemanfaatan banyak informan lokal,
pembagian tugas dengan tim peneliti lain, pendalaman topik-topik
tertentu yang membutuhkan detail, dan pengumpulan data-data statistik.
Dan bagian terbesarnya digunakan untuk kegiatan observasi-partisipatif.
Agama Masyarakat Jawa Menurut Geertz
Setelah melakukan penelitian lapangan di Mojokuto dari bulan Mei 1953
sampai bulan September 1954, yang kemudian diajukan sebagai disertasi
doktoral dan diterbitkan dengan judul The Religion of Java, tampak ada
beberapa hal yang menarik untuk dikaji, antara lain:
1. Agama sebagai fakta budaya
Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa, ia melihat
agama sebagai fakta budaya –bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan
sosial, ketegangan ekonomi atau neurosis tersembunyi --meskipun
hal-hal ini juga diperhatikan—melalui simbol, ide, ritual, dan adat
kebiasaanya. Agama juga bukan hanya berkutat dengan wacana kosmis
tentang asal-usul manusia, surga, dan neraka, tetapi juga merajut
perilaku politik saat memilih partai, jenis perhelatan, dan corak
paguyuban. Praktik-praktik beragama seperti itulah yang memberi semacam
“peta budaya” untuk melacak jaringan sosial yang dibentuk oleh warga.
Realitas keagamaan dalam keseharian, menurut perspektif Geertz, sangat
pluralistis daripada doktrin formal yang menekankan wacana standar yang
global.[34]
Selain itu, menurut Geertz, agama tidak hanya memainkan
peranan yang integratif dan menciptakan harmoni sosial tapi juga peranan
memecah masyarakat. Dengan demikian ketiga varian agama “Jawa” di
Mojokuto itu mempunyai peranan yang saling kontradiksi.[35]
2. Trikotomi budaya (agama?) “Jawa”
Dalam buku Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa, Geertz juga
menyuguhkan fenomena agama “Jawa” ke dalam tiga varian utama: abangan,
santri, dan priyayi. Trikotomi agama “Jawa” itulah yang sampai sekarang
terus disebut-sebut dalam wacana sosial, politik, dan budaya di
Indonesia dan menjadikannya referensi induk atas upaya ilmuwan sosial di
belakangnya yang membedah tentang Jawa. Kekuatan utama Geertz
mengungkap fenomena agama “Jawa” adalah kemampuan mendeskripsikan secara
detail ketiga varian tersebut dan menyusun ulang dalam konklusi
hubungan konflik dan integrasi yang logis dan utuh atas ketiga varian
tersebut.
3. Hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa
Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya
tentang dinamika hubungan antara Islam dan masyarakat Jawa yang
sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang
Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan
seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam
diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di
dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui
numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak
boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa
di-setting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya.
Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar
atau tidaknya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan
numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa
tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai
agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan:
Islam dan budaya Jawa.[36]
Apresiasi untuk Geertz
Tidak bisa disangkal, Clifford Geertz sangat mempengaruhi pemikiran
banyak orang tentang budaya. Geertz menggambarkan bagaimana
simbol-simbol mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Hanya saja,
Geertz tidak memberikan banyak perhatian pada proses sebaliknya, yaitu
bagaimana realitas sosial dan si pelaku dalam realitas itu mempengaruhi
dan membentuk simbol-simbol. Sebenarnya, manusia ditentukan oleh
budaya-budaya dan budaya juga ditentukan oleh manusia. Budaya dan
manusia dikonstruksi melalui proses yang sering disebut ‘praksis’, yaitu
sebuah konsep yang menekankan adanya hubungan timbal balik antara si
pelaku aktif dengan kebudayaan sebagai struktur obyektif. Proses itu
juga bisa dijelaskan dengan tiga prinsip yang dikemukakan oleh Peter L.
Berger & Thomas Luckmann:
a. Kebudayaan dibentuk oleh manusia;
b. Manusia dibentuk oleh kebudayaan;
c. Kebudayaan menjalani hidup sendiri.
Dari ketiga prinsip tersebut dapat dijelaskan bahwa budaya memerlukan
manusia sebagai aktor untuk diproduksikan dan direproduksikan melalui
proses pemberian makna terhadap kehidupannya. Manusia tidak hanya
dikondisikan oleh budaya-budaya, baik secara sadar atau tidak sadar,
tetapi manusia juga dapat mempengaruhi budaya. Manusia bisa mengubah dan
menambahkan nilai dan norma, meskipun akan menghadapi struktur-struktur
yang tidak dapat diubah dengan mudah.[37]
Kaitannya dengan
“trikotomi yang dibuat Geertz, tentunya bukan Geertz yang menemukan
istilah santri, abangan, dan priyayi dalam The Religion of Java,[38]
karena istilah-istilah itu sendiri sudah dipakai di kalangan yang lebih
terbatas. Namun, harus diakui Geertz-lah yang pertama kali
mensistematisasi istilah-istilah itu sebagai perwakilan
kelompok-kelompok kultural yang penting.
Sebagai sebuah konsepsi,
harus diakui pula bahwa trikotomi Geertz ini adalah sebuah sumbangan
yang luar biasa bagi masyarakat Jawa khususnya, dan Indonesia pada
umumnya karena mampu memberikan semacam “peta budaya” yang selanjutnya
dapat digunakan untuk menganalisa bagaimana pola hubungan antara agama
dengan politik, relasi agama-sosial, serta agama-ekonomi. Namun
demikian, tesis “trikotomisasi” Geertz tampak sekali membuka peluang
untuk diperdebatkan. Hal ini terbukti dengan “keberhasilan” teori Geertz
itu dalam memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra.
Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsja W. Bachtiar, ahli
sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan
realitas sosial.
Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai
pencampuran istilah priyayi (yang merupakan kategori kelas) dengan
istilah santri dan abangan (kategori keagamaan. Abangan adalah lawan
dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi
sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik
dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan
abangan, santri dan priyayi.[39] Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
salah satu kelemahan tulisan Geertz ini adalah terdapatnya
ketidakparalelan dalam susunan kategorisasi. Di satu sisi terdapat
strata “ekonomi” untuk menggambarkan priyayi, sementara di sisi lain
terdapat kategori “religi” ketika dia menggambarkan santri dan abangan.
Hal ini berarti Geertz telah mengacaukan dua pembagian yang termasuk
susunan yang berlainan, serta mencampuradukkan pembagian horisontal dan
vertikal dalam masyarakat Jawa karena pada kenyataannya terdapat priyayi
yang abangan atau priyayi yang santri.[40]
Terlepas dari berbagai
kritik terhadap teori Geertz, tampaknya kita patut memberikan
penghargaan kepadanya atas pandangannya mengenai tipologi masyarakat
Indonesia (Jawa). Lewat buah pengamatan Geertz yang dituangkan dalam
buku The Religion of Java ini keberadaan abangan, santri, dan priyayi di
masyarakat Jawa dikenal luas. Dan dari laporan Geertz ini pula, kita
“dikejutkan” dengan sebuah kenyataan bahwa muslim “Mojokuto”
(Indonesia?) walaupun mayoritas tetapi masih abangan, dimana hanya
lapisan atasnya saja yang Islam, sementara di lapisan bawahnya kejawen.
Lebih dari itu semua, Geertz telah memberikan kontribusi pemikiran yang
sangat besar terhadap ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan dunia,
khususnya antropologi dan sosiologi, karena keberaniannya melawan suatu
tradisi besar di dalam ilmu sosial, yaitu tradisi positivisme yang sarat
dengan pendekatan kuantitatif. Seandainya Geertz dan pendekatan
Antropologi Interpretif tak ada, mungkin kita akan tetap membaca
buku-buku teks antropologi dan sosiologi yang memperlakukan budaya
sebagai suatu gejala universal dengan narasi besar tanpa melihat
bagaimana secara kontekstual dan secara historis kultur-kultur lokal itu
“dibangun.”
DAFTAR PUSTAKA
Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin, Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981
Pals, Daniel L., Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B. Taylor,
Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz, terj. Ali
Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press, Cet. II, 1987
Strauss, Anselm & Corbin, Juliet, Dasar-dasar Penelitian
Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj. Djunaidi Ghony,
Surabaya: Bina Ilmu, 1997
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002
Thufail, Fadjar I., “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam http://fithufail. wordpress.com
Kleden, Ignas, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam http://mirifica.net/
wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
Ma’ruf Jamhari, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”
http://www.ditpertais.net/
artikel/jamhari01.asp
Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam
www.pdf4free.com
Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam
http://www.kompas/. com/kompas-cetak/0611/05/
seni/3071699.htm
Budiman, Kris, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.a
c.idkaryadetail.phpid=12
Thohir, Ajid, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam
http://forum.uinsgd.ac.id/
showthread.php?t=315
Syam, Nur, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam
www.ditpertais.net/
annualconference/ancon06/
makalah /20Nursyam.doc.
Veen, Corrie van der, ”Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam
http://www.geocities.com/
forlog/lintas1corrie.htm
Azra, Azyumardi, ”Asia Muslim” dalam
http://
www.republika.co.id/
koran_detail. asp?id=189590
Topan, Moh. Ali, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/
news/jurlemlit/9Ali00
www.researchover.com/
biographies/
Clifford_Geertz-28238.html
Artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam
http://
www.republika.co.id/
[1]
www.researchover.com/
biographies/
Clifford_Geertz-28238.html
[2] Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion; dari Animisme E.B.
Taylor, Materialisme Karl Marx hingga Antropologi Budaya C. Geertz,
terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Qalam, 2001, hlm. 397
[3] Fadjar I. Thufail, “Clifford Geertz: Sebuah Obituari” dalam
http://
fithufail.wordpress.com/
[4] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 396
[5] Lihat Ignas Kleden, “Clifford Geertz, Teori Kebudayaan, dan Studi Indonesia” dalam
http://mirifica.net/
wmview.php?ArtID=3527 tanggal 16 Nopember 2006
[6] Ibid.
[7] Lihat artikel “Yang Populer, Imajinatif, dan tidak Sombong” dalam
http://
www.republika.co.id/
[8] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 401
[9] Tradisi ini dirintis oleh Imigran asal Jerman, Franz Boas yang
melaksanakan ekspedisi tunggal ke daerah suku-suku bangsa eskimo di
pantai Pulau Baffinland pada tahun 1883-1884. Aktifitas-aktifitas ilmiah
F. Boas ini, kemudian diikuti oleh Alfred Louis Kroeber, Robert H.
Lowie dan masih banyak antropolog lain, sehingga ilmu antropologi
Amerika mengalami kemajuan yang pesat dengan penelitian-penelitian yang
luas terhadap kebudayaan-kebudayaan suku-suku bangsa Indian di Amerika.
Lihat Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press,
Cet. II, 1987, hlm. 122-137
[10] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 402 et. seq.
[11] Tampaknya konsep-konsep weber, yang diperkenalkan Parson,
mendapatkan tempat di dalam pendekatan interpretatif Geertz terhadap
kebudayaan. Hal ini dapat dilihat dari esai-esai dan buku-buku Geertz,
dimana tidak ada seorang pun teoritisi sosial yang lebih sering dirujuk
Geertz dibandingkan Weber. Lihat Ibid., hlm. 404 et. seq.
[12] Lihat Jamhari Ma’ruf, “Pendekatan Antropologi Dalam Kajian Islam”
http://www.ditpertais.net/
artikel/jamhari01.asp
[13] Moh. Ali Topan, “Memahami Metode Hermeneutik Dalam Studi Arsitektur Dan Kota” dalam online.trisakti.ac.id/
news/jurlemlit/9Ali00
[14] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[15] Danile L. Pals, Op. Cit., hlm. 398
[16] Geertz mempercayai bahwa sebagian besar kehidupannya ditentukan oleh faktor “kebetulan”.
[17] Lihat Diskusi: ”Memperbincangkan Kembali Pemikiran dan Teori Clifford Geertz” dalam
www.pdf4free.com
[18] Ignas Kleden, Loc. Cit.
[19] Degung Santikarma, “Selamat Jalan Pak Cilf....” dalam
http://www.kompas.com/
kompas-cetak/0611/05/seni/
3071699.htm
[20] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 399
[21] Lihat kata pengantar Parsudi Suparlan dalam Clifford Geertz,
Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin,
Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981, Cet. I, hlm. vii
[22] Ibid., hlm. 6
[23] Ibid., hlm. 5
[24] Ibid., hlm. 9
[25] Ibid., hlm. vii
[26] Penelitian Kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan
penemuan-penemuan yang tidak dapat diperoleh dengan menggunakan
prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi
(pengukuran). Penelitian kualitatif ini dapat menunjukkan pada
penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah laku, serta
tentang fungsionalisasi organisai, pergerakan sosial, atau hubungan
kekerabatan. Lihat Anselm Strauss & Juliet Corbin, Dasar-dasar
Penelitian Kualitatif; Prosedur, Tehnik, dan Teori Grounded, terj.
Djunaidi Ghony, Surabaya: Bina Ilmu, 1997, hlm. 11
[27] Terobosan
pendekatan interpretif Geertz dapat disarikan dalam dua hal. Pertama,
interpretasi haruslah berdasarkan “deskripsi tebal” (thick description)
gejala atau peristiwa sosial. Kedua, tujuan akhir interpretasi adalah
menemukan dan memahami pandangan, keyakinan, dan penjelasan aktor sosial
dari perspektif aktor itu sendiri. Tujuan ini hanya bisa dicapai
apabila peneliti dapat menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat
yang ditelitinya. Lihat Fadjar I. Thufail, Loc. Cit.
[28] Kris Budiman, “Jejaring Tanda-tanda Pilihan Pendekatan dalam Analisis Kebudayaan” dalam httpjurnal-humaniora.ugm.a
c.idkaryadetail.phpid=12
[29] Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 408 et.seq.
[30] Ajid Thohir, “Beberapa Pendekatan Studi Islam Di Indonesia” dalam
http://forum.uinsgd/. ac.id/
showthread.php?t=315
[31] Ibid.
[32] hlm. 511
sumber artikel:
http://
banyubeningku.blogspot.com/
2011/04/
clifford-geertz-dan-agama-j
awa-abangan.html
[33] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 513
[34] Degung Santikarma, Loc. Cit.
[35] Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 475-477
[36] Lihat Nur Syam, “Islam Pesisiran Dan Islam Pedalaman: Tradisi Islam Di Tengah Perubahan Sosial” dalam
www.ditpertais.net/
annualconference/ancon06/
makalah/
Makalah%20Nursyam.doc.
[37] Lihat Corrie van der Veen, “Transformasi Agama dan Budaya di Tengah-tengah Kekerasan Sosial” dalam
http://www.geocities.com/
forlog/lintas1corrie.htm
[38] Istilah The Religion of Java sendiri pertama kali bukan dari
Geertz, tapi konon dari penerbit. Tetapi, Geertz tidak pernah mengoreksi
istilah itu menjadi lebih benar, karena apa yang disebut sebagai “agama
Jawa” tersebut jelas dalam banyak hal bersumber dari tradisi Islam dan
Muslim lokal, yang sama sekali tidak bisa dilepaskan dari “tradisi
besar” Islam. Lihat Azyumardi Azra, “Asia Muslim” dalam
http://
www.republika.co.id/
koran-detail. asp?id=189590
[39] Lihat Harsja W. Bachtiar, “The Religion of Java; Sebuah Komentar”, dalam Clifford Geertz, Op. Cit., hlm. 525 et.seq.
[40] Zaini Muchtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 16 et.seq.