MAAF, SUDAH TERJUAL by TANGERANG SELATAN
Judul: DIPANEGARA
Dikarang oleh: MUHAMMAD YAMIN
Penerbit: JAJASAN PEMBANGUNAN DJAKARTA
Edisi : Soft Cover
Halaman: 127
Tjetakan : KeTIGA 1952
Kondisi lumayan bagus
Price : IDR 100.000,00
Oleh: Nurel Javissyarqi*
Sebelum jauh merambah pada
karya Beliau, terus terang saya terusik dengan ejaan Diponegoro menjadi
Dipanegara. Kenapa Bojonegoro tidak dirubah menjelma Bajanegara? Dst. Bagi saya
tetap menggunakan logat aslinya (:Jawa) yakni Diponegoro, disamping mengukuhkan
literatur yang terakhir ada. Berangkat dari asal dialek, daya pamornya dapat
disadap lebih mantab, saat mengejawantahkan suatu kalimah, apalagi kerja
bersastra.
Di tanah Jawa, sebutan
Pangeran yang kesohorannya melebihi raja-raja kecil ialah Pangeran Diponegoro. Padahal jauh di
benaknya tiada membanggakan titel itu, ia lebih nyaman sebagai rakyat biasa,
lebih berasa mengunyah asin garam kehidupan jelata. Tak ada pantulan lain,
selain kesadaran berontak-lah hal tersebut terbit, menyunggi matahari bencah
Dwipa kala itu.
Saat membaca roman sejarah
karangan J.H. Tarumetor TS. yang bertitel “Aku Pangeran Dipanegara” penerbit
Gunung Agung Djakarta 1966. Saya merasakan betapa sengit pergolakan
kemerdekaan, yang berkumandang terang mewujudkan idealitas kebebasan, dari
kungkungan rezim penjajahan, yang sewenang-wenang mengadu-domba darah biru,
darah merah bumiputra. Adalah berdasar niat suci, perlawanan terus dikibarkan,
bergerilya menculik musuh dengan panah api, sekali waktu berhadap muka meriam
dengan tombak, keris dan bambu runcing.
Tiap-tiap laluan parit,
tebing curam, kaki bukit, semak belukar, hutan rimba, batu licin derasnya air
sungai, padang amis darah rumput, merupakan referensi dalam meningkatkan mutu
pemberontakan dikemudian hari. Maka ingatan senantiasa harus terawat, terbasuh
kucuran kesadaran, semisal kelembutan air bersanggup menelusup ke serat-serat
batu, mendenting melobangi bebatuan pada goa perenungan. Niscaya tubuh
kebangsaan berteriak lantang, manakala kaki-kaki rumput terinjak sepatu besi,
kuda-kuda birahi yang kesurupan serupa kompeni. Jika berkaca pada cermin masa
kini, nasib tanah pertiwi terserang virus-virus korupsi.
Ontowiryo (bahasa
Indonesia usil menulisnya dengan Antawirya, nama kecil Pangeran Diponegoro), ia
terlahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta, dan wafat pada tanggal 8
Januari 1855 di benteng Rotterdam kota Makasar. Sebagaimana catatan Muhammad
Yamin dalam bukunya yang berjudul, Sedjarah Peperangan “Dipanegara” Pahlawan
Kemerdekaan Indonesia, penerbit Jajasan Pembangunan Djakarta 1952, tjtakan
ketiga. Jika menengok literatur YB. Sudarmanto, terbitan Grasindo 1996 yang
berjudul “Jejak-Jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Syekh Yusuf” membubuhi
puisi Chairil Anwar yang berlabel “Diponegoro”: Di depan sekali tuan menanti/
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali/ Pedang di kanan, keris di kiri/
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
Di bawah ini saya
tunjuntukkan Pangeran Diponegoro sebagai Pujangga Indonesia, sebelum santri
Tegalsari R. Ng. Ronggowarsito. Bermaksud menguri-uri ruhaniah pertiwi atas
tumbal para pemudanya, guna jejiwa mengikuti kegigihannya. Menempa mental agar
tak berkarat dimakan usia, tidak busuk dalam buih kecewa. Andai kedangkalan
gurit sekadar kenangan, masih bersimpan semangat pengguratnya. Apalagi
tetembangan yang dihasilkan dari jiwa-jiwa paripurna kepahlawanan; tidak tunduk
harta benda, pangkat jabatan maupun gadis-gadis berambut pirang.
Demikian simaklah…
Sun amedar surasaneng ati
atembang pamijos
pan kinarjo anglipur
brangtane
aneng kita Menado duk
kardi
tan ana kaeksi.
Mapan katah kang keraseng galih
ing tingkah kadudon
pan mengkana ing tijas
pangestine
kaja paran polahingsun iki
jen tan ana ugi
apura Ijang Agung.
Lara wirang pan wus sun
lakoni
nging panuhuningong
ingkang kari dan kang
dingin kabeh
kaluarga ngestokken jekti
mring Agama Nabi
oleh pitulung.
Ketika membaca bahasa
asalnya, tubuh penyaksi gemetaran; bulu-bulu berdiri seolah jejarum di jemari
tangan perawan, menyuntik seluruh jasad yang memendam masa silam. Sejarah
dihasilkan kerja kesungguan, tak ada basa-basi tersimpan, seluruhnya
meruang-waktu kejadian lampau. Perjuangan suci mengukuhkan lelangkah menjadi
panutan dikemudian hari. Bahasa bukan sekadar penyampai, di dalamnya ada
dinaya, sukma yang terekam membetot jatah dipertarungkan ruang-waktu pembaca.
Maka usah sekali-kali menganggap remeh sikap pembacaan, agar tak terhempas
gelombang kelupaan sebelum sampai tujuan.
Di bawah ini salinan
maknawi karya beliau:
Hamba curahkan perasaan
kalbu yang fitri
mengarang syair menghibur
duka-nestapa
menyusun karangan di kota
Manado
ketika tak kelihatan
pandangan mata
selain daripada Tuhan Yang
Maha Esa.
Banyaklah yang terasa
dalam hati
berbuat kelakuan yang
salah arah
sampai timbul jantung
berfikiran:
apakah jadinya hamba hina
ini,
sekiranya tingkah
perbuatan itu
tidak diturunkan ampun,
oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa.
Pedih-pilu, hina bencana
dirasa
tetapi memohonkan sungguh,
supaya kehilafan dahulu
dan kemudian
diturunkan pengampunan
dari Tuhan,
kepada keluarga dan sanak
saudara
yang dengan ikhlas sepenuh
sungguh
menuruti ajaran Nabi
pembawa sabda.
Demikian Tembang Midjil
yang disusun Pangeran Diponegoro di kota Manado, sebagai Muqaddimah “Babad
Diponegoro,” yang dirampungkannya di kota Makasar. Babad tersebut berisikan
sejarah leluhur, tareh runtuhnya kerajaan Majapahit hingga detik-detik akhir
Beliau. Perjuangan tangan-tangan baja, kaki-kaki gajah, amis darah segar,
keringat berdebu, harta-nyawa melayang-layang selama lima tahun terus-menerus melawan
penjajahan, dari tanggal 20 Juli 1825 sampai 28 Maret 1830. Dan seperempat abad
Beliau meringkuk di benteng tawanan, mendekam terisolasi di tanah asing
pembungan. Dimana kurun waktu menyimpan peristiwa, tempo suatu kenangan
menjelma harmoni tetembangan, kejayaan hati bergetar dalam perjuangan.
Ontowiryo atau Pangeran
Diponegoro, diberi gelar rakyaknya dengan sebutan; “Sultan Abdulhamid
Herutjokro Amirul Mukminin Syaidina Panatagama Khalifatulloh Tanah Djawa.”
Bersama Sentot Prawirodirdjo serta Kiai Modjo, membakar medan peperangangan di
lingkup tanah tengah dwipa; Selarong, Dekso, Pleret, Lengkong, kaki Gunung
Merapi, Bantul, Kedjiwan, Gawok, Bagelen, Banyumas, Pekalongan, Ledok,
Semarang, Rembang, Bojonegoro, Madiun, Pengasih, Banyumeneg, Kedu, dan seluruh
ruh bumi Nusantara berbangkit atas hembusan badai pemberontakannya.
Adalah tak diragukan lagi,
tubuh-tubuh yang terpendam tanah pertiwi sebagai daulat kesatuan, bagi hakikat
paku bumi, gunung-gunung tertancap, agar tak buyar makna ke-Indonesia-an.
Dimana tiap-tiap pergolakan terangkat, embun pagi kabarkan peristiwa makna
puitik, lahir dari pergumulan ruh abthin matahari. Dan sisanya tersimpan dalam
resapan daun-daun sejarah. Niscaya pancaran hati, atas pantulan tekad
memperjuangkan tanah sepenuh jiwa, tulus setia menghadap Ridho-Nya.
Jatim, 19 Maret 2009,
kamis legi Rabiul Awal 1430 H.
*) Pengelana asal
Lamongan,
SUMBER ARTIKEL:
http://www.poetikaonline.org/2011/04/kaepujanggaannya-pahlawan-diponegoro.html
1 komentar:
apa buku ini masih ada?
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....