TERJUAL BPK. ANDRE BANTUL
Judul: DARMOGANDUL
Penerbit: Toko Buku “SADU-BUDI” Solo
Edisi : Soft Cover
Halaman: 62
Kondisi: masih menggunakan ejaan Bahasa: Jawa lama, cetakan kertas
buram
Tjetakan : Ke – VI 1960
Kondisi lumayan bagus
Price : IDR 120.000,00
assalaamu’alaikum wr. wb.
JUDULNYA aneh: Darmogandul. Di telinga orang ~Jawa pun hal itu
terdengar lucu. Tapi buku ini, Serat Darmogandul, memang dimaksud sebagai
ejekan yang lucu, yang dikaitkan dengan hal-hal porno. Judul buku fiksi yang
mengisahkan masuknya Islam ke Jawa dan runtuhnya Kerajaan Majapahit ini juga
menimbulkan gambaran yang tak jauh dari (maa~ kelamin pria. Pada 1920-an,
Darmogandul pernah diprotes masyarakat Islam dan Cina ketika pertama kali
dimuat dalam sebuah almanak. Darmogandul, yang ditulis dalam bahasa Jawa dan
dalam bentuk~ sekar atau puisi Jawa itu, memang mencemooh orang Cina, orang
Arab, dan menyerang Islam. Ketika itu, konon, Pemerintah Hindia Belanda lantas
melarang peredarannya. Tapi kini, setengah abad kemudian, buku itu diterbitkan
kembali dengan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Dan lagi-lagi protes pun
muncul -- kali ini oleh pakar kebudayaan Jawa sendiri: Karkono Kamajaya
Partokusumo. "Buku itu mencemoohkan dan menyelewengkan pandangan orang
terhadap Islam," katanya ~pekan lalu. Ketua Javanologi Yogyakarta itu
cenderung agar buku yang "tidak sepatutnya beredar di masa sekarang"
itu dilarang. Bulan Agustus lalu, buku ini dicetak lima ribu eksemplar,~ Rp
4.000. Dengan tujuan "melestarikan kebudayaan Jawa", Derajat Harahap,
direktur Dahara Pri~e, penerbitnya, juga akan menerbitkan buku-buku lain
se~perti Wulamtreh, Wedhatama, Dewaruci, termasuk Suluk Gatoloco, yang isinya
mirip Darmogandul. Pada 1987, Gatoloco (juga menimbulkan kesan porno) pernah
diresensi oleh dosen sastra Jawa UGM, Sumiarsih, di TVRI Stasiun Yogya.
Buntutnya: surat protes melayang dari Kanwil Departemen Agama Jawa Tengah.
Siapa pengarang Darmogandul, tak jelas. Pada terbitan Dahara Prize ini memang
disebutkan namanya: Ki Kalamwadi. Tapi ini nama samaran (kalam adalah pena,
wadi berarti rahasia: "penulis yang merahasiakan namanya"). Pengarang
yang sesungguhnya mungkin Raden Budi Sukardi, yang beberapa kali disebut oleh
Ki Kalamwadi (pencerita dalam buku itu) sebagai "guru yang dapat
dipercaya". Beberapa ahli juga tak berhasil menemukan nama dan identitas
pengarangnya. Menurut M. Hari Soewarno dalam Serat Darmogandul dan Suluk
Gatoloco tentang Islam, pengarangnya adalah Ronggowarsito (1802-1873),
sastrawan Jawa terkenal dari Keraton Surakarta. Menurut Simuh, dekan Fakultas
Ushuluddin IAIN Yogya, buku itu ditulis pada zaman Kerajaan Surakarta antara
tahun 1755 dan 1881. Tapi doktor yang disertasinya mengenai karya Ronggowarsito
Wirid Hidayat Jati itu tidak tahu persis siapa penulisnya. Dalam pada itu,
menurut Prof. Dr. G.W.J. Drewes, dalam The Struggle between Javanism and Islam
as Illustrated by the Serat Dermogandul dan Javanese Poems Dealing with or
Attributed to the Saint of Bonang, buku itu karangan seorang bangsawan tinggi
di Kediri, dan bersumber dari Babad Kediri yang ditulis sekitar 1873. Sementara
itu, menurut Prof. Dr. H.M. Rasjidi, dalam Islam dan Kebatinan, pengarang
Darmogandul adalah Pangeran Suryonegoro, putra Hamengku Buwono VII. Menteri
Aga~ma RI yang pertama itu ~ yakin bahwa Darmogandul ditulis pada zaman
penjajahan Belanda, terbukti dari adanya beberapa kata Belanda seperti kelah
(klacht) dan puisi. Sebelum Dahara Prize menerbitkannya, pada tahun 1954
(sekitar tiga puluh tahun setelah heboh), penerbit buku-buku Jawa di Kediri
yang ketika itu sangat terkenal, Tan Koen Swie, sudah menerbitkannya sebagai
cetakan kedua. Sampai kini, buku itu hanya dikenal kalangan terbatas: generasi
tua dan para ilmuwan yang khusus mempelajari literatur Jawa yang berkaitan
dengan paham kebatinan. Darmogandul memang pernah jadi salah satu acuan para
penganut kepercayaan. Tapi, menurut tokoh kejawen almarhum Mr. Wongsonagoro,
Darmogandul kemudian tidak menjadi pedoman para penghayat Kepercayaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Isi Darmogandul sebenarnya mengenai penyebaran Islam di
Jawa (dari kawasan pesisir utara) dan runtuhnya Kerajaan Majapahit (di
pedalaman), yang dituturkan secara fiktif. Paham keagamaan di dalamnya
merupakan cerminan perbenturan nilai setelah datangnya agama baru, juga antara
kerajaan pesisir yang Islam dengan kerajaan pedalaman yang masih Budha-Hindu.
Orang Jawa, ketika itu, hanya menerima nilai-nilai Islam yang rada-rada cocok
dengan paham lama lalu mencampur-adukkannya -- yang belakangan melahirkan paham
kepercayaan yang sinkretis. Yang mengundang keresahan masyarakat Islam ialah
penyajian pikiran pikiran tentang seks dalam buku itu, yang dipakai sebagai
usaha untuk meletakkan "penafsiran" materi ajaran Islam pada
kedudukan pornografis -- yang tidak lepas dari kerangka pertentangan politik
dan budaya antara kedua kerajaan itu, antara "Jawa" dan
"Islam". Semangat anti-Islam muncul akibat trauma keruntuhan
Majapahit yang diserang oleh Raden Patah, putra raja Majapahit Brawijaya V
sendiri yang sebelumnya diangkat sebagai adi~pati di Demak. Raden Patah dinilai
sebagai anak~ durhaka, apalagi ia sebenarnya bukan "Jawa asli" tapi
lahir dari rahim~ ibundanya yang~ berdarah Cina (tepatnya: Campa,Kamboja).
Sampai sekarang "kambing hitam" keruntuhan Majapahit adalah Raden
Patah. Padahal, menurut Tardjan Hadidjaja dan Kamajaya dalam Serat Centhini
Dituturkan dalam Bahasa Indonesia Jilid I-A, sesungguhnya Raden Patah hanyalah
merebut kekuasaan Girindrawardhana, yang sebelumnya telah lebih dahulu
memporak-porandakan Majapahit dari dalam. Darmogandul juga melukiskan, meski
Brawijaya V akhirnya dibaiat sebagai muslim oleh Sunan Kalijaga "secara
lahir batin", banyak rakyat dipaksa masuk Islam. Ini tentu penilaian
sepihak, sebab para wali di Jawa selama ini dikenal sebagai penyebar Islam yang
akulturatif. Seperti digambarkan oleh Dojosantosa dalam buku Unsur Religius
dalam Sastra Jawa, meski agama Budha dan Hindu sudah berakar berabad-abad,
orang Jawa menerima Islam "dengan senang hati untuk memperkaya
peradaban". Gara-gara protes masyarakat Islam, menurut Anung Tejo Wirawan,
'dosen sastra Jawa UGM yang rneneliti Darmogandul, buku yang kontroversial ini
beberapa kali disunat oleh penerbitnya. Pada terbitan Dahara Prize kali ini,
misalnya, pendapat bahwa "babi dan anjing lebih baik dari kambing
curian" sudah dihapus. Begitu pula cara penghinaan dengan gaya jarwodosok
terhadap Quran. Jarwodosok atau plesedan adalah gaya bahasa dalam penulisan
sastra maupun dalam bahasa lisan para pelawak Jawa, dengan mencari persamaan
bunyi yang cenderung lucu dan porno. Dalam Darmogandul (edisi lama), misalnya,
disebut syari'at atau sarengat diartikan "kalau sare (tidur) anunya
njengat (ereksi)". Beberapa kata dalam surah al-Baqarah juga
dipeleset-pelesetkan. Misalnya, huda dalam huda lilmuttaqien diartikan wuda
alias telanjang. Dan banyak lagi. Dalam penelitian itu Anung menemukan, hanya
10% isi buku itu yang menghina Islam atau porno. Sementara itu, menurut dosen
sastra Jawa UGM yang lain, Dr. Kuntara Wiryamartana, Darmogandul bukanlah
sastra Jawa yang punya arus yang kuat. Karena itu, beberapa ilmuwan, termasuk
Simuh, kurang setuju buku itu dilarang beredar. "Kalaupun diedarkan secara
luas, penerbit hendaknya memberikan pengantar dan catatan, sehingga pembaca
mengerti duduk soalnya," katanya Namun, bagi A.R. Fachruddin, ketua PP
Muhammadiyah, betapapun yang 10% itu tetap berarti penghinaan. Mengapa Dahara
Prize berani menerbitkannya? "Karena masyarakat kita sudah maju, dan saya
yakin umat Islam tidak tersinggung membaca Darmogandul, yang hanya merupakan
imajinasi pengarang itu," ujar Deradjat Harahap, direktur Dahara Prize.
Dalam kata pengantar buku itu, pembaca memang diimbau oleh penerjemah (yang
tidak menyebutkan namanya) agar kritis, sehingga "tidak gampang
terpengaruh oleh isi buku ini".
~~~~~~~Budiman S. Hartoyo
(Jakarta), Heddy Lugito, Tri Jauhari (Yogya)
Buku langka , tentang ajaran Filsafat hidup Jawa, berbahasa Jawa.
Berisi tembang-tembang sekar macapat, yang berisi tentang cerita
kejadian-kejadian pada masa kerajaan jaman Hindu - Budha di Nusantara.
Pernahkah Anda mendengar suatu aliran kebatinan yang bernama
Darmogandul? Aliran ini berasal dari
tanah Jawa, disebarkan dengan bait-bait dalam ‘kitab sucinya’ yang penuh dengan
caci maki, utamanya terhadap agama Islam.
Kita berhutang banyak pada Prof. Rasjidi yang telah menerjemahkan naskah
Darmogandul itu dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia. Simaklah beberapa petikannya di bawah ini :
- “Akan tetapi bangsa Islam, jika diperlakukan dengan baik, mereka membalas jahat. Ini adalah sesuai dengan dzikir mereka. Mereka menyebut nama Allah, memang Ala (jahat) hati orang Islam. Mereka halus dalam lahirnya saja, pada hakekatnya mereka itu terasa pahit dan asin.”
- “Adapun orang yang menyebut nama Muhammad, Rasulullah, Nabi terakhir, ia sesungguhnya melakukan dzikir salah, Muhammad artinya makam atau kubur. Ra-su-lu-lah, artinya rasa yang salah. Oleh karena itu ia itu orang gila, pagi sore berteriak-teriak, dadanya ditekan dengan tangannya, berbisik-bisik, kepala ditaruh di tanah berkali-kali.”
- “Semua makanan dicela, umpamanya : masakan cacing, dendeng kucing, pindang kera, opor monyet, masakan ular sawah, sate rase (seperti luwak), masakan anak anjing, panggang babi atau rusa, kodok dan tikus goreng.”
- “Makanan lintah yang belum dimasak, makanan usus anjing kebiri, kare kucing besar, bistik gembluk (babi hutan), semua itu dikatakan haram. Lebih-lebih jika mereka melihat anjing, mereka pura-pura dirinya terlalu bersih.”
- “Saya mengira, hal yang menyebabkan santri sangat benci kepada anjing, tidak sudi memegang badannya atau memakan dagingnya, adalah karena ia suka bersetubuh dengan anjing di waktu malam. Baginya ini adalah halal walaupun dengan tidak pakai nikah. Inilah sebabnya mereka tidak mau makan dagingnya.”
- “Kalau bersetubuh dengan manusia tetapi tidak dengan pengesahan hakim, tindakannya dinamakan makruh. Tetapi kalau partnernya seekor anjing, tentu perkataan najis itu tidak ada lagi. Sebab kemanakah untuk mengesahkan perkawinan dengan anjing?”
Prof. Rasjidi juga telah membuat ringkasan ajaran aliran
Darmogandul dalam beberapa poin, di antaranya :
- Menurut Darmogandul, yang penting dalam Islam bukan sembahyang, tetapi syahadat “sarengat”. “Sarengat” artinya hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan. Hubungan seksual itu penting sekali, sehingga empat kiblat juga berarti hubungan seksual.
- Darmogandul menafsirkan kata-kata pada ayat kedua dalam surah Al-Baqarah sebagai berikut : “Dzaalikal” artinya “jika tidur, kemaluan bangkit”, “kitaabu laa” artinya “kemaluan-kemaluan laki-laki masuk secara tergesa-gesa ke dalam kemaluan perempuan”, “raiba fiihi hudan” artinya “perempuan telanjang”, “lil muttaqiin” artinya “kemaluan laki-laki berasa dalam kemaluan perempuan”.
Mengenai poin terakhir di atas, saya harus meminta maaf. Saya tidak bermaksud untuk mengotori jurnal
saya dengan hal senista ini, namun bagaimana pun kisah ini penting untuk
diungkapkan. Demi kebenaran.
Rasanya pada titik ini saya harus meminta maaf juga kepada para
pembaca karena saya terlalu lemah dan tak mampu mengendalikan perasaan. Ijinkanlah saya untuk tidak mengomentari
lebih jauh mengenai aliran kebatinan Darmogandul ini, karena sungguh sulit
sekali untuk tetap berkepala dingin di hadapan penghinaan mereka terhadap
Allah, Rasul-Nya, dan Ad-Diin yang telah diridhai-Nya ini. Saya tidak sanggup berkata-kata lebih jauh
dari ini.
wassalaamu’alaikum wr. wb.
SUMBER ARTIKEL:
http://akmal.multiply.com/journal/item/22
1 komentar:
saya juga punya koleksi buku ini "darmogandul" tp belum sempat baca walaupun pengantarnya pakai bahasa jawa tp perlu pemahaman extra karena susunan bahasanya.
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....