TERJUAL BY BANDUNG
Judul: HOAKIAU DI INDONESIA
OLEH: PRAMOEDYA ANANTA
TOER
Penerbit: GARBA BUDAYA
Edisi : Soft Cover
Halaman: 291
Kondisi: Mulus dan bagus.Pakai SAMPULPLASTIK
JAKARTA 1998
Price : IDR 300.000,00 (blum ongkir)
Di Indonesia, rasialisme Negara
punya sejarah yang lebih panjang ketimbang sejarah Republik. Bahkan lebih tua
ketimbang entitas yang disebut sebagai “negara”.
Ketika Pramoedya Ananta Toer
menerbitkan Hoakiau di Indonesia dan kemudian ditangkap, saya baru
datang ke Jakarta. Umur saya 19.
Saya datang dari sebuah sekolah
menengah di udik, di Jawa Tengah. Di tahun 1960 itu, saya tak tahu apa yang
terjadi di dunia. Saya tak tahu bahwa sebuah buku dilarang dan seorang pengarang
terkenal dipenjarakan. Minat saya waktu itu agak terbatas. Kini saya bersyukur
dapat membaca buku ini, yang hampir 40 tahun bersembunyi sebagai buku yang
dilarang. Kini saya tahu apa yang terjadi, kurang-lebih.
Membaca Hoakiau di Indonesia
membuat saya tercengang akan kukuhnya Pramoedya Ananta Toer dengan argumentasi.
Ia siap dengan catatan sejarah, statistik dan kutipan koran. Barangkali ini
memang harus ia lakukan. Ia mengguncang asumsi yang umum berlaku. Ia bukan
sekadar bertolak dari anggapan bahwa “ras” bukanlah sebuah kepastian yang
absolut. Ia juga mengungkapkan bahwa tak benar keturunan Cina anak emas
pemerintah kolonial.
Ia mempersoalkan gambaran perbedaan
sosial-ekonomi antara Hoakiau dan “pribumi”, sesuatu yang (menurut data
statistik) memang tak teramat tajam di pedalaman Indonesia di tahun 1950-an.
Saya telah
menyebut hal itu dalam resensi saya atas Hoakiau di Indonesia dalam
Majalah TEMPO nomor pertama setelah terbit kembali dari pembredelan. Saya tak
hendak mengulangi apa yang sudah saya tulis lebih lanjut. Dalam kesempatan ini
saya hanya ingin mencoba menelusuri suatu segi yang agak berbeda.
Buku ini sebuah karya polemik.
Sebab itu sebenarnya sayang bahwa sekarang ini kita tidak bisa membaca
bagaimana lawan polemiknya menyerang atau memeprtahankan diri. Yang kita-tahu
ialah bahwa Pramoedya dihadapi dengan suatu cara yang brutal dalam “melawan”
sebuah pendapat – yaitu meringkusnya di dalam sel Rumah Tahanan Militer. Tetapi
justru itu menunjukkan posisi yang lemah dari yang berkuasa. Memang tak
terbayangkan oleh saya bagaimana pihak lawan akan dapat mengambil posisi yang
lebih kuat, kecuali dengan bedil.
Apalagi bila kita menyimak dengan
baik nada Pramoedya di sini: teks ini adalah sebuah cetusan dari suatu sikap
berperikemanusiaan, suatu sikap yang tidak mungkin diberi tapal geografis
ataupun rasial. Pramoedya mengecam “perikemanusiaan limited”, yang terbatas.
Dengan demikian ia – mungkin ini mengingatkan kita akan “humanisme universal”
H.B. Jassin – menunjukkan suatu hati yang lebih terbuka, seraya berdiri di
landasan moral yang lebih tinggi, dibanding dengan mereka yang mendukung
tindakan paksa, terkadang dengan kekerasan, terhadap orang Tionghoa.
Bagaimanapun, sebenarnya perlu,
setelah kita membaca buku ini, untuk mengikuti apa gerangan argumen lawan waktu
itu dalam membantah Pramoedya. Pertama-tama karena argumen itu mungkin dapat
dipakai untuk menilai tendensi yang masih kuat sekarang, yakni kehendak untuk
menyingkirkan keturunan Cina – meskipun tidak selamanya berupa pemindahan
tempat secara paksa – dari posisinya semula. Juga karena kehendak seperti itu
bukan sesuatu yang datang dari sepotong kepala. Peraturan Pemerintah No. 10
tahun 1959 (lebih dikenal sebagai “P.P. No. 10”), yang memindahkan orang
Tionghoa dari pedesaan, nampaknya didukung oleh hampir semua partai politik,
kecuali PKI.
Seperti kita bisa baca dalam buku
ini, di awal masa “Demokrasi Terpimpin”, 1959, Presiden Soekarno menandatangani
P.P. No. 10 itu: semua pedagang eceran Cina harus menutup usaha mereka di
wilayah pedalaman. Sebetulnya tak jelas apakah itu juga berarti bahwa para
keturunan Cina dilarang bermukim di pedesaan.
Tapi di Jawa Barat, panglima
militer setempat, Kol. Kosasih, memaksa mereka pindah. Semacam pogrom terjadi.
Sebuah reportase Koran menceritakan bagaimana tentara “melemparkan ratusan
keluarga Tionghoa ke atas truk-truk dan membawa mereka ke kamp-kamp yang
dibangun tergesa-gesa”. Bahkan dalam pengusiran di Cimahi, tentara menembak
mati dua perempuan Tionghoa. Kira-kira lebih dari 100 ribu keturunan Cina
meninggalkan Indonesia.
Dengan kata lain, ada tangan
pemerintah di sini. Tapi barangkalai kita juga harus menelaah, benarkah yang
terjadi di tahun 1950-an itu sebuah rasialisme Negara atau rasialisme orang
ramai. Atau kombinasi keduanya. Siapa tahu, setelah menelaah, kita akan dapat
menganalisa lebih baik kerusuhan dan kekerasan, termasuk pemerkosaan, yang
terjadi di bulan Mei 1998 di Jakarta dan Surakarta, dan kemudian juga di Bagan
Siapi-api, Kebumen, dan lain-lain.
Di Indonesia, rasialisme Negara punya
sejarah yang lebih panjang ketimbang sejarah Republik. Bahkan lebih tua
ketimbang entitas yang disebut sebagai “negara”.
Sejak di tahun 1612 VOC memulai
menanam benihnya dengan suatu manajemen atas seks, yang melarang perempuan
Belanda beremigrasi. Yang diharapkan ialah menjaga agar tidak ada perilaku
seksual yang menyebabkan perempuan kulit putih itu membuat malu dan berhubungan
dengan orang setempat.
Di pertengahan abad ke-19, ada
usaha untuk menghabisi kebudayaan “mestizo” dan membuat koloni di Asia Tenggara
ini menjadi lebih punya “karakter Belanda”. Ketika VOC runtuh dan digantikan
oleh administrasi kolonial, yang berkuasa meletakkan penduduk yang “kreol”,
“berwarna” dan kaum peranakan campur dari yang disebut “inlandsche kinderen” di
bawah pengawasan. Di tahun 1838 semua inlandsche kinderen dilarang dari jabatan
yang memungkinkan mereka punya kontak langsung dengan “orang Jawa”.
Sekitar pertengahan abad ke-18, mestissage
(“percampuran rasial”) dianggap sebagai sumber subversi yang berbahaya, yang mengakibatkan
kemerosotan Eropa dan keruntuhan moral. Rasa cemas akan “hibriditas” ini muncul
dalam pelbagai perdebatan, yang agaknya tidak untuk mencari penyelesaian.
Seperti dikatakan oleh Ann Laura
Stoler, pembicaraan itu merupakan usaha untuk selalu mengingatkan mereka yang
menghendaki pembaharuan yang lebih liberal bagi Hindia Belanda, bahwa
kolonialisme bukan sekadar merangkum-masuk bangsa jajahan, tetapi juga
membedakan antara orang Belanda sejati (echte) dan inlander yang punya status
bikinan yang membuat mereka sama dengan orang Eropa, membedakan antara yang
mengkoloni dan yang dikoloni, antara warga negara dan kawula, dan tak kurang
dari itu, antara kelas-kelas social dan orang Eropa sendiri. Dengan pembedaan
itulah suatu bangunan tubuh “borjuis” menyatakan diri, dan memepertahankan diri
beserta segala harkatnya.
Dalam ikhtiar itu disusunlah
penggolongan – atau pelapisan – sosial di Hindia Belanda yang dasarnya adalah
ras, dan bukan agama atau yang lain. Yang kita lihat di sana adalah berperannya
kembali apa yang disebut Foucault sebagai “simbolik darah”, seperti di zaman
aristokrasi dulu; hanya kali ini ia tumpang-tindih dengan manajemen atas
kehidupan seksual yang hendak menjaga masyarakat kolonial dari kekacauan, atau
ketidak-jelasan, dari bentuk-bentuk percampuran atau hibriditas rasial.
Maka, si inlander harus berada
dalam kalangan inlander, si cina harus berada dalam kalangan cina dan
berperilaku Cina. Sebab itu, sampai dengan menjelang awal abad ini, di Hindia
Belanda dengan gampang orang Tionghoa dibedakan dari orang lain. Mereka memakai
taucang atau kuncir panjang berjela di punggung – tanda yang dikenakan oleh
pemerintah kolonial – dan mereka harus mengenakan pakaian cina: gaun Mandarin
bagi para opsir, dan bagi yang lain, celana komprang dan baju logro (yang kini
pun masih disebut sebagai “baju Cina”). Juga sepatu bersol tebal. Mereka
umumnya harus tinggal di pecinan (sebagaimana orang Melayu harus tinggal di
Kampung Melayu dan ambon di Kampung Ambon). Untuk melintasi ghetto mereka,
orang Tionghoa harus mendapatkan pas jalan yang dikeluarkan oleh kapten Cina.
Dari sini bisa dimengerti apabila
kesadaran akan perbedaan kelompok berdasarkan ras menguat. Kebudayaan peranakan
sebenarnya, menurut kodratnya, selalu berubah dan bercampur, dibentuk oleh
isteri atau piaraan pribumi di satu pihak dan arus laki-laki dari Cina di lain
pihak.
Tetapi di abad ke-18, pola
pembentukannya agaknya telah menjadi stabil. Orang tionghoa menyadari dirinya
sebagai Cina, sebagaimana nampak dalam pakaian dan adat istiadat. Meskipun
sedikit sekali peranakan Tionghoa di Jaea yang bisa berbahasa Cina, bahasa
Melayu mereka diwarnai oleh bahasa Hokkien dan logat yang khas.
Rekaman sejarah itu sudah lama
diketahui, tetapi terkadang saya bertanya kepada diir sendiri: bagaimana
gerangan masyarakat Indonesia kini seandainya pemerintah kolonial
mengklasifikasi penduduk Hindia Belanda dengan cara lain, misalnya dengan
berdasarkan besarnya kekayaan, dan politik identitas berlangsung berdasarkan
kesadaran kelas? Dengan kata lain, masih adakah ketegangan rasial? Ataukah
ketegangan rasial yang terutama diarahkan ke kalangan Tionghoa itu sebenarnya
tidak pernah terjadi sebelum pemerintah Hindia Belanda menjalankan segregasi
rasial?
Pertanyaan ini bagi saya ada
hubungannya dengan pertanyaan di atas: sejauh mana kita kini bisa berbicara
tentang rasialisme orang ramai.
Di tahun 1946, baru setahun
Indonesia berdiri, suatu gelombang kekerasan berlangsung menghantam penduduk
Tionghoa di sekitar Tangerang, Jawa Barat. Seberapa besar korban waktu itu tak
diketahui persis. Yang menarik bagi saya, kekerasan ini (pemmbunuhan, dan
kabarnya bahkan pemerkosaan) berlangsung sebelum ada Negara yang telah
terkonsolidasi dan mengerahkan kekuatannya untuk melakukan pogrom seperti di
tahun 1960.
Meskipun demikian, jika kita baca
laporan pers waktu itu, yang melakukan kekerasan adalah “Lasykar Rakyat”,
pemuda bersenjata yang waktu itu bergerak semacam milisia di luar tentara resmi
tetapi memegang peran dalam “keamanan”. Dan yang meledakkan tragedi itu adalah
sebuah desas-desus, bahwa seorang tentara Nica keturunan Cina menurunkan Sang
Merah Putih.
Menarik pula bahwa Star Weekly,
sebuah berkala yang dikelola aleh para wartawan Tionghoa, dalam laporannya
menyebut “pribumi“ yang marah itu sebagai “Indonesiers” dan Merdeka menyebutnya
sebagai “rakyat Indonesia”. Negara Indonesia memang belum tersusun rapi,
masalah kewarganegaraan orang keturunan Cina masih belum pasti, tetapi
lambang-lambang nasion sudah menjadi lambang orang ramai.
Kita bisa mengatakan bahwa kejadian
ini memang suatu ledakan antagonism rasial anti-Cina, meskipun masih menjadi
pertanyaan bisakah di sini kita lihat adanya rasialisme dalam arti seperti yang
terjadi dengan P.P. No.10. Yakni, sebagai kebijakan untuk menyingkirkan sebuah
minoritas.
Namun tampaklah dalam memebentuk
imajinasi tentang sebuah bangsa – yang mendasari nasionalisme itu – kita selalu
bisa menyisihkan “yang lain” dalam imajinasi kita. Memang, nasionalisme
Indonesia lebih merupakan nasionalisme yang civic, berdasarakan kewarganegaraan,
ketimbang nasionalisme “darah”. Tetapi di lapis bawah, mungkin yang berbicara
bukanlah sebuah imajinasi tentang bangsa. Di Tangerang itu juga tercatat
persoalan konflik lokal dalam masalah tanah. Dan barangkali kerusuhan Mei juga
mengandung konflik-konflik lokal – misalnya milik dan harapan yang tergusur
secara paksa untuk pembangunan dan lain-lain.
Jangan-jangan kita cenderung
melupakan bahwa batas rasialisme Negara dan rasialisme orang ramai sering
kabur, atau, seperti penyakit, saling tular menular. Terutama justru ketika
tatanan sosial ambruk dan negara seakan-akan tidak bisa hadir, sebuah
gerombolan orang bisa menghadirkan diri mewakili sebuah kekuatan yang ingin
menyisihkan apa saja yang berbeda.
Jangan-jangan kita cenderung
melupakan, bahwa rasialisme tidak selamanya berbaju seragam dan bersafari.
SUMBER ARTIKEL: http://goenawanmohamad.com/esei/sebuah-catatan-lain.html