HARGA: RP.150.000 (BLUM ONGKIR)
Kondisi: bagus Jakarta 2000. CET 4 MEI 2000
tebal: 316 hal
Satu perhelatan sederhana digelar di Puri Ardhya Garini di kawasan Halim Perdanakusumah, Selasa sore lalu. Puluhan purnawirawan dari berbagai angkatan dan Polri serta beberapa pejabat negara dan tokoh masyarakat turut hadir. Mereka menyaksikan peluncuran buku baru yang dihadirkan Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP AURI). Menilik judulnya, buku itu tampaknya bukan terbitan biasa. Menyingkap Kabut Halim 1965, seolah-olah hendak mengungkap rahasia yang selama tiga dasawarsa dipendam dalam-dalam.
Peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru diantarai oleh sebuah peristiwa kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat (AD) itu dengan serta merta menyeret nama Partai Komunis Indonesia sebagai dalang penculikan dan pembunuhan atas tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
Oleh kaum beragama, orang- orang PKI disamakan dengan orang kafir yang halal darahnya. Dalam kasus pembantaian orang PKI oleh kaum beragama ini, dapat dilihat bagaimana kekuasaan telah berhasil melakukan manipulasi. Kaum beragama dijadikan alat bagi kepentingan membasmi musuh ideologi penguasa. Di atas kesadaran kaum beragama yang melakukan pembunuhan atas nama keyakinan agama mereka, berjalan kepentingan penguasa (Orde Baru) untuk membasmi musuh ideologi sang penguasa dan usaha menegakkan pamor kekuasaan di atas kenistaan ideologi lawan.
34 tahun kalangan TNI AU (dulu Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI) tak pernah membantah. Sampai eksekusi Omar Dani tak pernah terlaksana dan dia dibebaskan pada 1996. Lantas ada reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru, dan terbitlah buku ini. Sebuah upaya menolak tudingan. Sebuah "mercu" yang berambisi menyingkap pekatnya kabut sejarah.
Pun diungkapkan beberapa hal sebagai kunci penerang persoalan. Termasuk mengenai dua tempat berbeda yang bernama sama, Lubang Buaya. Pertama adalah dropping zone AU yang masuk kawasan PAU Halim. Kedua, sebuah desa yang terletak di luar kawasan PAU Halim. Lokasi kedua ini lah yang
sebenarnya menjadi basis G-30/S.
Hal lainnya adalah senjata yang ditemukan di Lubang Buaya (basis G-30 S), yang membuat Leo Wattimena, dalam film tadi, sangat terpukul (karakter Leo di buku ini sangat tegas. Berbeda dengan karakter Leo di film yang peragu) , ternyata tidak hanya dari AURI (yang merasa di-fait accomply Soeharto di depan Presiden). Senjata itu juga berasal dari TNI AL, Kepolisian, bahkan
TNI AD sendiri.
Di Halim, tulis buku ini, setelah G-30S, tak pernah berkumpul Presiden Soekarno, Ketua CC PKI DN Aidit, Ketua BC PKI Sjam Kamaruzaman, Brigadir Jenderal Soeprapto dan Kolonel Latief. Yang ada hanya Presiden yang tengah diamankan, didampingi Omar Dani. Jadi, tulis buku ini, tak benar Halim
adalah pusat gerakan.
Kisah seram di seputar Halim ini kemudian memunculkan citra tak sedap bagi angkatan udara. Citra buruk itu makin mengental, sampai-sampai, angkatan udara tidak dianggap sebagai kesatuan penting di tubuh TNI. "Seperti dianaktirikan," kata Ketua PP AURI Marsekal Muda (Purn.) Sri Mulyono Herlambang.
Pengamat sejarah dan politik Dahlan Ranuwihardjo setuju dengan upaya para purnawirawan itu. Bila memang ada fakta-fakta baru yang bisa mengungkap hal yang sebenarnya, tidak masalah untuk diluruskan. "Tapi harus disertai data dan fakta," kata kata mantan ketua umum PB HMI ini. Namun, kalau fakta dan datanya tidak benar, menurut dia, ya apa gunanya.
Dibanding beberapa penerbitan terdahulu, Menyingkap Kabut Halim 1965 banyak mengungkap data dan fakta baru. Misalnya mengenai peran TNI AU secara institusional dalam aksi PKI. Dalam buku ini tidak cukup signifikan adanya bukti keterlibatan institusi ini. "Bahkan tak ada bukti pimpinan angkatan udara waktu itu terlibat PKI," kata Sri Mulyono meyakinkan.
Selain itu, tak terbersit dari Omar Dhani untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintahan Bung Karno. Walaupun fakta-fakta dari kejadian 1 Oktober 1965 menunjukkan bahwa G-30-S jelas mengadakan kup terhadap pemerintahan yang sah.
Soal penculikan para jenderal, kata Omar, itu merupakan urusan intern AD. Dan, AURI pada prinsipnya tidak mau ikut campur. "Jadi bukannya saya tidak kolegial, tidak setia kawan," katanya. Karena itu, Soeharto menganggap sikap AURI sama dengan sikap Letkol Untung dkk. yang melakukan kudeta.
Sebelum tahun 1965, AURI merupakan salah satu angkatan udara terkuat di kawasan AsiaTenggara, bahkan di Asia. Angkatan Udara yang dipimpin Laksamana Omar Dani sangat loyal terhadap Soekarno. Omar Dani pernah mengatakan bahwa ia ingin seluruh insan AURI itu menjadi kleine Soekarnotjes atau Soekarno-soekarno kecil. Mereka mendukung gerakan ”Ganyang Malaysia” yang dilancarkan pemerintahan Soekarno. Namun, pihak Angkatan Darat, dalam hal ini Soeharto, tidak mendukung kebijakan itu dengan sepenuh hati. Benih konflik di antara mereka sudah dimulai sejak ini. Tanggal 30 September 1965 meletus aksi penculikan para jenderal. Omar Dani dengan spontan menulis perintah harian Men/Pangau setelah mendengar siaran berita RRI pukul 07.00 tentang G30S. Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto. Sejak 25 Desember 1966, Omar Dani dipenjara selama 29 tahun. Ia baru bebas 16 Agustus 1995.
Sekarang tergantung pada pembaca menilai dan melihat fakta-faktanya bagaimana. Itu yang mestinya menjadi dasar. Kita bebas berpikir dan menyatakan sesuatu. Sehingga, menurut saya, era reformasi itu baik sekali untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya.
Yang di Halim itu, tanggal 1 Oktober dan 2 Oktober. Tapi yang paling utama adalah tuduhan bahwa AURI menjadi basis komunis. Kita menyaksikan selama tiga puluh tahun lebih, film G-30-S/PKI yang menyakitkan hati dan menekan jiwa. Tapi pihak TNI-AU sadar, yang menyusun sejarah selalu orang yang menang perang dan yang berkuasa. Dan cepat atau lambat, kebenaran itu akan terbuka dengan sendirinya.
Sumber: http://id.shvoong.com/ books/ 1971855-menyingkap-kabut-ha lim-1965/#ixzz0wm2U6j6g
Kondisi: bagus Jakarta 2000. CET 4 MEI 2000
tebal: 316 hal
Satu perhelatan sederhana digelar di Puri Ardhya Garini di kawasan Halim Perdanakusumah, Selasa sore lalu. Puluhan purnawirawan dari berbagai angkatan dan Polri serta beberapa pejabat negara dan tokoh masyarakat turut hadir. Mereka menyaksikan peluncuran buku baru yang dihadirkan Perhimpunan Purnawirawan AURI (PP AURI). Menilik judulnya, buku itu tampaknya bukan terbitan biasa. Menyingkap Kabut Halim 1965, seolah-olah hendak mengungkap rahasia yang selama tiga dasawarsa dipendam dalam-dalam.
Peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru diantarai oleh sebuah peristiwa kekacauan politik tahun 1965. Peristiwa yang dipicu konflik di tubuh Angkatan Darat (AD) itu dengan serta merta menyeret nama Partai Komunis Indonesia sebagai dalang penculikan dan pembunuhan atas tujuh perwira AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965.
Oleh kaum beragama, orang- orang PKI disamakan dengan orang kafir yang halal darahnya. Dalam kasus pembantaian orang PKI oleh kaum beragama ini, dapat dilihat bagaimana kekuasaan telah berhasil melakukan manipulasi. Kaum beragama dijadikan alat bagi kepentingan membasmi musuh ideologi penguasa. Di atas kesadaran kaum beragama yang melakukan pembunuhan atas nama keyakinan agama mereka, berjalan kepentingan penguasa (Orde Baru) untuk membasmi musuh ideologi sang penguasa dan usaha menegakkan pamor kekuasaan di atas kenistaan ideologi lawan.
34 tahun kalangan TNI AU (dulu Angkatan Udara Republik Indonesia atau AURI) tak pernah membantah. Sampai eksekusi Omar Dani tak pernah terlaksana dan dia dibebaskan pada 1996. Lantas ada reformasi 1998 yang menumbangkan Orde Baru, dan terbitlah buku ini. Sebuah upaya menolak tudingan. Sebuah "mercu" yang berambisi menyingkap pekatnya kabut sejarah.
Pun diungkapkan beberapa hal sebagai kunci penerang persoalan. Termasuk mengenai dua tempat berbeda yang bernama sama, Lubang Buaya. Pertama adalah dropping zone AU yang masuk kawasan PAU Halim. Kedua, sebuah desa yang terletak di luar kawasan PAU Halim. Lokasi kedua ini lah yang
sebenarnya menjadi basis G-30/S.
Hal lainnya adalah senjata yang ditemukan di Lubang Buaya (basis G-30 S), yang membuat Leo Wattimena, dalam film tadi, sangat terpukul (karakter Leo di buku ini sangat tegas. Berbeda dengan karakter Leo di film yang peragu) , ternyata tidak hanya dari AURI (yang merasa di-fait accomply Soeharto di depan Presiden). Senjata itu juga berasal dari TNI AL, Kepolisian, bahkan
TNI AD sendiri.
Di Halim, tulis buku ini, setelah G-30S, tak pernah berkumpul Presiden Soekarno, Ketua CC PKI DN Aidit, Ketua BC PKI Sjam Kamaruzaman, Brigadir Jenderal Soeprapto dan Kolonel Latief. Yang ada hanya Presiden yang tengah diamankan, didampingi Omar Dani. Jadi, tulis buku ini, tak benar Halim
adalah pusat gerakan.
Kisah seram di seputar Halim ini kemudian memunculkan citra tak sedap bagi angkatan udara. Citra buruk itu makin mengental, sampai-sampai, angkatan udara tidak dianggap sebagai kesatuan penting di tubuh TNI. "Seperti dianaktirikan," kata Ketua PP AURI Marsekal Muda (Purn.) Sri Mulyono Herlambang.
Pengamat sejarah dan politik Dahlan Ranuwihardjo setuju dengan upaya para purnawirawan itu. Bila memang ada fakta-fakta baru yang bisa mengungkap hal yang sebenarnya, tidak masalah untuk diluruskan. "Tapi harus disertai data dan fakta," kata kata mantan ketua umum PB HMI ini. Namun, kalau fakta dan datanya tidak benar, menurut dia, ya apa gunanya.
Dibanding beberapa penerbitan terdahulu, Menyingkap Kabut Halim 1965 banyak mengungkap data dan fakta baru. Misalnya mengenai peran TNI AU secara institusional dalam aksi PKI. Dalam buku ini tidak cukup signifikan adanya bukti keterlibatan institusi ini. "Bahkan tak ada bukti pimpinan angkatan udara waktu itu terlibat PKI," kata Sri Mulyono meyakinkan.
Selain itu, tak terbersit dari Omar Dhani untuk memberontak dan menjatuhkan pemerintahan Bung Karno. Walaupun fakta-fakta dari kejadian 1 Oktober 1965 menunjukkan bahwa G-30-S jelas mengadakan kup terhadap pemerintahan yang sah.
Soal penculikan para jenderal, kata Omar, itu merupakan urusan intern AD. Dan, AURI pada prinsipnya tidak mau ikut campur. "Jadi bukannya saya tidak kolegial, tidak setia kawan," katanya. Karena itu, Soeharto menganggap sikap AURI sama dengan sikap Letkol Untung dkk. yang melakukan kudeta.
Sebelum tahun 1965, AURI merupakan salah satu angkatan udara terkuat di kawasan AsiaTenggara, bahkan di Asia. Angkatan Udara yang dipimpin Laksamana Omar Dani sangat loyal terhadap Soekarno. Omar Dani pernah mengatakan bahwa ia ingin seluruh insan AURI itu menjadi kleine Soekarnotjes atau Soekarno-soekarno kecil. Mereka mendukung gerakan ”Ganyang Malaysia” yang dilancarkan pemerintahan Soekarno. Namun, pihak Angkatan Darat, dalam hal ini Soeharto, tidak mendukung kebijakan itu dengan sepenuh hati. Benih konflik di antara mereka sudah dimulai sejak ini. Tanggal 30 September 1965 meletus aksi penculikan para jenderal. Omar Dani dengan spontan menulis perintah harian Men/Pangau setelah mendengar siaran berita RRI pukul 07.00 tentang G30S. Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto. Sejak 25 Desember 1966, Omar Dani dipenjara selama 29 tahun. Ia baru bebas 16 Agustus 1995.
Sekarang tergantung pada pembaca menilai dan melihat fakta-faktanya bagaimana. Itu yang mestinya menjadi dasar. Kita bebas berpikir dan menyatakan sesuatu. Sehingga, menurut saya, era reformasi itu baik sekali untuk mengungkap kejadian yang sebenarnya.
Yang di Halim itu, tanggal 1 Oktober dan 2 Oktober. Tapi yang paling utama adalah tuduhan bahwa AURI menjadi basis komunis. Kita menyaksikan selama tiga puluh tahun lebih, film G-30-S/PKI yang menyakitkan hati dan menekan jiwa. Tapi pihak TNI-AU sadar, yang menyusun sejarah selalu orang yang menang perang dan yang berkuasa. Dan cepat atau lambat, kebenaran itu akan terbuka dengan sendirinya.
Sumber: http://id.shvoong.com/
1 komentar:
Saya ingin membeli buku tsb untuk melengkapi bacaan lain terkait yg pernah saya baca, bagaimana cara mendapatkannya ?
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....