Judul: Merahnya Merah
Penulis: Iwan Simatupang
Tebal: 124 Halaman
Penerbit: Gunung Agung- Jakarta MCMLXXXIII
Tahun: Cetakan Ke-4, 1983
Kondisi: LUMAYAN, eks. Perpust
Harga: Rp.200.000 (blum ongkir)
Adanya Tokoh Kita dalam suatu komunitas gelandangan di sebuah kota besar. Tokoh Kita ini sebelumnya mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sebelum meletusnya revolusi fisik, Tokoh Kita ini adalah seorang calon rahib. Selama revolisi, dia merupakan seorang komandan kompi. Di akhir revolusi, dia menjadi algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat. Akhirnya sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa.
Kedatangan Tokoh Kita dalam komunitas kaum gelandangan itu cukup mendapat perhatian para anggota gelandangan. Dia cukup dianggap dan dihormati serta dicintai oleh beberapa diantara penghuni komunitas itu. Maria adalah salah seseorang yang mempunyai perhatian lebih terhadapnya. Maria, yang dalam komunitas kaum gelandangan ini dianggap sebagai sebagai ibu dari sekian para wanita setengah baya yang punya sejarah hidup yang kelam. Sebelumnya, wanita ini bercita-cita menjadi perawat namun, karena takut dengan darah cita-citanya dia tanam dalam hati. Batal menjadi perawat, Maria menjadi pelayan sebuah restoran Katolik. Akan tetapi, di restoran ini dia mengalami nasib sial, dia diperkosa oleh seseorang yang tak dikenal. Akhirnya, seminggu setelah kejadian itu, dia keluar dari restoran itu setelah menyaksikan seorang pastor bunuh diri.
Setelah masuknya Fifi, hubungan Maria dengan Tokoh Kita menjadi sering tidak mesra padahal sebelumnya mereka sangat mesra. Maria mulai uring-uringan terhadap Tokoh Kita karena cemburu Tokoh Kita terlihat begitu akrab hubungannya dengan Fifi, yang membawa Fifi masuk ke dalam komunitas kaum gelandangan mereka itu adalah si Tokoh Kita itu. Fifi diketemukannya di suatu tempat. Fifi ini adalah seorang gadis berusia 14 tahun, yang karena keganasan suatu gerombolan yang membuatnya menjadi seorang gadis yatim piatu dantidak punya tempat tinggal, akhirnya membuat dirinya terpaksa seorang pelacur kelas teri dalam usahanya agar tetap hidup diatas dunia yang ganas ini. Dari awal Maria memang sudah tak bersedia menerima Fifi masuk ke dalam kelompok mereka namun, karena dia terus didesak oleh Tokoh Kita dan dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa kalau Tokoh Kita yang berbicara, selain mengirakan apa yang dikehendaki si Tokoh Kita karena cintanya yang demikian dalam pada si Tokoh Kita.
Suatu hari Fifi raib dari lingkungan mereka. Para anggota gelandangan dikerahkan mencari Fifi ke segenap penjuru kota, tapi mereka selalu pulang dengan keadaan nihil dan putus asa. Yang paling merasa kecewa tiap kali pulang, yaitu Pak Centeng. Pak Centeng merasa terhina karena gagal mencari dan menemukan Fifi. Dia malu sebab selama ini belum pernah Pak Centeng gagal menjalankan misi. Dia malu berat karena predikatnya sebagai Centeng yang paling jagoan diantara para Centeng se kota itu. Ia pun yakin akan dapat menemukan Fifi.
Beberapa hari berikutnya giliran Tokoh Kita yang raib dari kelompok gelandangan itu. Lagi-lagi kelompok gelandangan itu ribut dan kalang kabut mencari ke segenap pelosok kota. Lagi-lagi Pak Centeng merasa malu dan terhina tak terhingga karena dia gagal lagi menemukan Tokoh Kita. Yang paling mengejutkan adalah ketika Maria juga tiba-tiba menghilang. Dia raib seperti Fifi dan Tokoh Kita. Seluruh armada telah dikerahkan dalam mencari ketika gelandangan yang raib, tapi nihil lagi. Lagi-lagi yang paling merasa terhina adalah Pak Centeng, sebab bagaimanapun dia merasa martabatnya sebagai Centeng yang jagoan telah rendah di mata para Centeng yang lain maupun diantara para temannya sesama gelandangan. Para polisi juga dikerahkan sama, mereka tak berhasil menemukan ketika manusia yang raib bagaikan tertelan bumi.
Lama-kelamaan, tiba-tiba Tokoh Kita muncul ke permukaan gelandangan itu. Tapi dia sendiri, Fifi dan Maria tidak bersamanya. Serta merta berpuluh pertanyaan menyerbu di Tokoh Kita. Semua mempertanyakan dimana Fifi dan Maria. Tokoh Kita menceritakan apa sebenarnya telah terjadi. Ternyata Fifi yang raib itu sebenarnya telah lama mati. Fifi dibunuh Maria karena iri dan cemburu yang berlebihan. Sedangkan Maria sendiri sekarang telah masuk biara, mencoba mengakui dosa-dosanya pada Tuhan. Dan sekaligus mencoba mengabdikan diirnya pada Tuhan Yang Mahakuasa, dengan harapan segala kesalahannya bisa dimaafkan olehTuhan Seru Sekalian Alam.
Bagi para gelandangan lainnya, kabar yang diberikan oleh si Tokoh Kita membuat mereka haru dan lega. Tapi bagi si Pak Centeng, sebaliknya. Dia sangat marah pada si Tokoh Kita. Dia menganggap bahwa semua kejadian itu Tokoh Kita lah penyebabnya, karena sebelum Tokoh Kita ini masuk ke dalam lingkungan mereka. Kehidupan kampung gelandangan itu aman-aman saja. Dia sendiri atau Pak Centeng masih bisa bermesraan dengan Maria. Tapi ketika mauk Tokoh Kita, cinta Maria beralih pada si Tokoh Kita lah yang menjadi penghalang cintanya pada Maria. Dengan marah yang berkobar-kobar, Pak Centeng mencabut goloknya. Sewaktu goloknya diayunkan tepat ke arah batang leher si Tokoh Kita itu, polisi pun datang sambil mengacungkan laras pistolnya pada si Pak Centeng. Dan memerintahkan agar Pak Centeng melepaskan goloknya dan menyerah pada polisi. Tapi karena marahnya sama Tokoh Kita sudah demikian besar dan tak tertahankan, Pak Centeng tak mau peduli dengan ancaman polisi itu. Dia tetap mengayunkan goloknya ke batang leher si Tokoh Kita. Akibatnya tanpa ampun, sekali tebas kepala si Tokoh Kita langsung pisah dari badannya pun pistol di polisi, langsung pelurunya menerjang kepala Pak Centeng. Keduanya roboh dan tak pernah bangkit lagi untuk selama-lamanya. Tokoh Kita dan Pak Centeng dikuburkan dengan upacara militer yang dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara.
Potongan artikel diambil di blog: http://kedairomanindonesia.blogspot.com/2011/06/merahnya-merah.html
Penulis: Iwan Simatupang
Tebal: 124 Halaman
Penerbit: Gunung Agung- Jakarta MCMLXXXIII
Tahun: Cetakan Ke-4, 1983
Kondisi: LUMAYAN, eks. Perpust
Harga: Rp.200.000 (blum ongkir)
Adanya Tokoh Kita dalam suatu komunitas gelandangan di sebuah kota besar. Tokoh Kita ini sebelumnya mempunyai sejarah yang cukup panjang. Sebelum meletusnya revolusi fisik, Tokoh Kita ini adalah seorang calon rahib. Selama revolisi, dia merupakan seorang komandan kompi. Di akhir revolusi, dia menjadi algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat. Akhirnya sesudah revolusi, dia masuk rumah sakit jiwa.
Kedatangan Tokoh Kita dalam komunitas kaum gelandangan itu cukup mendapat perhatian para anggota gelandangan. Dia cukup dianggap dan dihormati serta dicintai oleh beberapa diantara penghuni komunitas itu. Maria adalah salah seseorang yang mempunyai perhatian lebih terhadapnya. Maria, yang dalam komunitas kaum gelandangan ini dianggap sebagai sebagai ibu dari sekian para wanita setengah baya yang punya sejarah hidup yang kelam. Sebelumnya, wanita ini bercita-cita menjadi perawat namun, karena takut dengan darah cita-citanya dia tanam dalam hati. Batal menjadi perawat, Maria menjadi pelayan sebuah restoran Katolik. Akan tetapi, di restoran ini dia mengalami nasib sial, dia diperkosa oleh seseorang yang tak dikenal. Akhirnya, seminggu setelah kejadian itu, dia keluar dari restoran itu setelah menyaksikan seorang pastor bunuh diri.
Setelah masuknya Fifi, hubungan Maria dengan Tokoh Kita menjadi sering tidak mesra padahal sebelumnya mereka sangat mesra. Maria mulai uring-uringan terhadap Tokoh Kita karena cemburu Tokoh Kita terlihat begitu akrab hubungannya dengan Fifi, yang membawa Fifi masuk ke dalam komunitas kaum gelandangan mereka itu adalah si Tokoh Kita itu. Fifi diketemukannya di suatu tempat. Fifi ini adalah seorang gadis berusia 14 tahun, yang karena keganasan suatu gerombolan yang membuatnya menjadi seorang gadis yatim piatu dantidak punya tempat tinggal, akhirnya membuat dirinya terpaksa seorang pelacur kelas teri dalam usahanya agar tetap hidup diatas dunia yang ganas ini. Dari awal Maria memang sudah tak bersedia menerima Fifi masuk ke dalam kelompok mereka namun, karena dia terus didesak oleh Tokoh Kita dan dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa kalau Tokoh Kita yang berbicara, selain mengirakan apa yang dikehendaki si Tokoh Kita karena cintanya yang demikian dalam pada si Tokoh Kita.
Suatu hari Fifi raib dari lingkungan mereka. Para anggota gelandangan dikerahkan mencari Fifi ke segenap penjuru kota, tapi mereka selalu pulang dengan keadaan nihil dan putus asa. Yang paling merasa kecewa tiap kali pulang, yaitu Pak Centeng. Pak Centeng merasa terhina karena gagal mencari dan menemukan Fifi. Dia malu sebab selama ini belum pernah Pak Centeng gagal menjalankan misi. Dia malu berat karena predikatnya sebagai Centeng yang paling jagoan diantara para Centeng se kota itu. Ia pun yakin akan dapat menemukan Fifi.
Beberapa hari berikutnya giliran Tokoh Kita yang raib dari kelompok gelandangan itu. Lagi-lagi kelompok gelandangan itu ribut dan kalang kabut mencari ke segenap pelosok kota. Lagi-lagi Pak Centeng merasa malu dan terhina tak terhingga karena dia gagal lagi menemukan Tokoh Kita. Yang paling mengejutkan adalah ketika Maria juga tiba-tiba menghilang. Dia raib seperti Fifi dan Tokoh Kita. Seluruh armada telah dikerahkan dalam mencari ketika gelandangan yang raib, tapi nihil lagi. Lagi-lagi yang paling merasa terhina adalah Pak Centeng, sebab bagaimanapun dia merasa martabatnya sebagai Centeng yang jagoan telah rendah di mata para Centeng yang lain maupun diantara para temannya sesama gelandangan. Para polisi juga dikerahkan sama, mereka tak berhasil menemukan ketika manusia yang raib bagaikan tertelan bumi.
Lama-kelamaan, tiba-tiba Tokoh Kita muncul ke permukaan gelandangan itu. Tapi dia sendiri, Fifi dan Maria tidak bersamanya. Serta merta berpuluh pertanyaan menyerbu di Tokoh Kita. Semua mempertanyakan dimana Fifi dan Maria. Tokoh Kita menceritakan apa sebenarnya telah terjadi. Ternyata Fifi yang raib itu sebenarnya telah lama mati. Fifi dibunuh Maria karena iri dan cemburu yang berlebihan. Sedangkan Maria sendiri sekarang telah masuk biara, mencoba mengakui dosa-dosanya pada Tuhan. Dan sekaligus mencoba mengabdikan diirnya pada Tuhan Yang Mahakuasa, dengan harapan segala kesalahannya bisa dimaafkan olehTuhan Seru Sekalian Alam.
Bagi para gelandangan lainnya, kabar yang diberikan oleh si Tokoh Kita membuat mereka haru dan lega. Tapi bagi si Pak Centeng, sebaliknya. Dia sangat marah pada si Tokoh Kita. Dia menganggap bahwa semua kejadian itu Tokoh Kita lah penyebabnya, karena sebelum Tokoh Kita ini masuk ke dalam lingkungan mereka. Kehidupan kampung gelandangan itu aman-aman saja. Dia sendiri atau Pak Centeng masih bisa bermesraan dengan Maria. Tapi ketika mauk Tokoh Kita, cinta Maria beralih pada si Tokoh Kita lah yang menjadi penghalang cintanya pada Maria. Dengan marah yang berkobar-kobar, Pak Centeng mencabut goloknya. Sewaktu goloknya diayunkan tepat ke arah batang leher si Tokoh Kita itu, polisi pun datang sambil mengacungkan laras pistolnya pada si Pak Centeng. Dan memerintahkan agar Pak Centeng melepaskan goloknya dan menyerah pada polisi. Tapi karena marahnya sama Tokoh Kita sudah demikian besar dan tak tertahankan, Pak Centeng tak mau peduli dengan ancaman polisi itu. Dia tetap mengayunkan goloknya ke batang leher si Tokoh Kita. Akibatnya tanpa ampun, sekali tebas kepala si Tokoh Kita langsung pisah dari badannya pun pistol di polisi, langsung pelurunya menerjang kepala Pak Centeng. Keduanya roboh dan tak pernah bangkit lagi untuk selama-lamanya. Tokoh Kita dan Pak Centeng dikuburkan dengan upacara militer yang dihadiri sejumlah pejabat tinggi negara.
Potongan artikel diambil di blog: http://kedairomanindonesia.blogspot.com/2011/06/merahnya-merah.html