Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: BAGUS
PENERBIT: MIZAN CET 5 TAHUN 1993
Tebal:344 halaman
Berat: 0,33 Kg
Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang pemikir-Muslim modernis atau, lebih tepat, neomodernis—menggunakan peristilahan yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan. Di segi lain, sebagai pendukung neomodernisme, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks nasional—dalam hal ini, keindonesiaan.
Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan ini—di tengah berbagai pembahasan atas tokoh ini—adalah buku pertama yang menampilkan secara lengkap pikiran-pikiran “tangan pertama” Nurcholish Madjid, lewat tulisan-tulisannya sendiri mengenai soal-soal di atas. Meliputi rentang waktu tak kurang dari dua dasawarsa, antologi ini memuat pula pikiran-pikirannya tentang sekularisasi, plus tinjauan-tinjauan kembalinya atas “heboh intelektual” yang disulutnya itu—tak kurang dari lima belas tahun setelah itu.
“Setiap pembaru, di mana pun di muka bumi ini, hampir pasti
selalu dilawan, dicaci-maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas cendekiawan Indonesia Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan, sebuah sumbangan
berharga tinggi telah diberikannya kepada bangsa ini.”
—Ahmad Syafii Maarif,
Mantan Ketua PP Muhammadiyah
Kondisi: BAGUS
PENERBIT: MIZAN CET 5 TAHUN 1993
Tebal:344 halaman
Berat: 0,33 Kg
Tak sulit disepakati bahwa Nurcholish Madjid adalah seorang pemikir-Muslim modernis atau, lebih tepat, neomodernis—menggunakan peristilahan yang sering ia sendiri lontarkan. Maka, melanjutkan para perambah modernisme (klasik) di masa-masa lampau, Nurcholish Madjid berpendapat bahwa Islam harus dilibatkan dalam pergulatan-pergulatan modernistik. Namun, berbeda dengan para pendahulunya, kesemuanya itu tetap harus didasarkan atas kekayaan khazanah pemikiran keislaman tradisional yang telah mapan. Di segi lain, sebagai pendukung neomodernisme, ia cenderung meletakkan dasar-dasar keislaman dalam konteks nasional—dalam hal ini, keindonesiaan.
Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan ini—di tengah berbagai pembahasan atas tokoh ini—adalah buku pertama yang menampilkan secara lengkap pikiran-pikiran “tangan pertama” Nurcholish Madjid, lewat tulisan-tulisannya sendiri mengenai soal-soal di atas. Meliputi rentang waktu tak kurang dari dua dasawarsa, antologi ini memuat pula pikiran-pikirannya tentang sekularisasi, plus tinjauan-tinjauan kembalinya atas “heboh intelektual” yang disulutnya itu—tak kurang dari lima belas tahun setelah itu.
“Setiap pembaru, di mana pun di muka bumi ini, hampir pasti
selalu dilawan, dicaci-maki, dan dimusuhi, tetapi ajaibnya diam-diam diikuti. Ini juga berlaku atas cendekiawan Indonesia Nurcholish Madjid yang telah bekerja keras untuk mengawinkan keislaman dan keindonesiaan, sebuah sumbangan
berharga tinggi telah diberikannya kepada bangsa ini.”
—Ahmad Syafii Maarif,
Mantan Ketua PP Muhammadiyah
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....