SOLD BY NTB
Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: baru lepas segel 2000
Tebal:642 Kg
Berat: 1,05 Kg
Judul Buku
:Bo‘ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima
Penulis
:Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahudin
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta
Cetakan
:Pertama, Januari 2000
Tebal
:Ixviii + 642 halaman
Ukuran
:15,7 x 23,8 cm
Buku di hadapan anda ini adalah buku penting karena merupakan sebuah dokumen sejarah yang berisikan berbagai hal yang berkaitan dengan Kerajaan Bima, kerajaan terbesar yang pernah berkuasa di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para sejarawan maupun khalayak luas yang berminat menelusuri sejarah Kerajaan Bima.
Selain dokumen sejarah, buku ini sangat menarik karena menyertakan pula dokumen asli dari Bo’ Sangaji Kai yang masih berbahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Jawi. Dengan demikian, pembaca yang mengerti tulisan Melayu dapat membandingkan dengan transliterasi yang ada. Jika ada ketidaksesuaian antarkeduanya, pembaca langsung dapat memberi komentar atau membenarkannya sendiri. Akan tetapi, bagi pembaca yang tidak mengerti aksara Jawi tetap akan kebingungan jika tidak memahami transliterasinya.
Maka dari itu, buku ini ditransliterasi oleh dua individu yang cukup seimbang dan saling melengkapi. Pertama adalah Henri Chambert-Loir, seorang sarjana Prancis yang memang menfokuskan diri pada kajian tentang dokumen-dokumen Kesultanan Bima dan yang kedua adalah Siti Maryam R. Salahudin, salah seorang keturunan langsung dari Sultan terakhir Kesultanan Bima. Dalam konteks ini, Henri dapat langsung mengoreksi dan membandingkan apa yang dipahami dan ditulisnya dari naskah Melayu dengan kerabat Kesultanan yang sedikit banyak ada ikatan emosional dengan nenek moyangnya dan tentunya mengenal betul kebudayaan Bima.
Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai foto dan silsilah raja-raja Bima yang pernah berkuasa. Dengan informasi ini, pembaca dapat membayangkan bagaimana keadaan Kerajaan Bima kala itu dan kemudian membandingkannya dengan informasi yang ada dalam naskah Bo’ Sangaji Kai ini.
Tentang Bo’ Sangaji Kai
Bo’ berasal dari bahasa Belanda Boek. Kata ini selanjutnya diserap ke dalam bahasa Mbojo dan menjadi Bo’. Adapun Sangaji Kai adalah gelar tradisonal Bima untuk raja-raja mereka sebelum berubah menjadi Sultan. Dengan demikian, Bo’ Sangaji Kai berarti “buku catatan raja-raja Bima” (h.xi).
Bo’ Sangaji Kai adalah salah satu buku terpenting dari berbagai jenis Bo’ Kerajaan Bima yang lain seperti Bo’ Bicara Kai, catatan Raja Bicara (wazir atau ketua adat) Kerajaan Bima, Bo’ Bumi Luma Rasana’e, catatan pegawai adat Kerajaan Bima, Bo Kadi, catatan tentang urusan agama, Bo’ Melayu, catatan tentang orang Melayu di Bima, dan Bo’ Dare Dura, catatan tentang keluarga bangsawan Makassar. Bo’ Sangaji Kai ditulis ketika Bima masih menjadi kerajaan dan berlaku hingga Kerajaan Bima berubah menjadi kesultanan, tentunya dengan disesuaikan dengan syariat Islam.
Bo’ Sangaji Kai aslinya ditulis di atas daun lontar dengan bahasa dan aksara kuno Bima. Naskah ini kemudian diubah ke dalam bahasa Melayu beraksara Arab atau Jawi pada masa Sultan Abil Khair Sirajudin (1645). Namun, sungguh sangat disayangkan, naskah asli Bo’Sangaji Kai dan Bo’ yang lain kini tidak ada lagi. Semua naskah Bo’ saat ini berbahasa Melayu dengan aksara Jawi. Di satu sisi, hal ini memudahkan pembaca karena bahasa Melayu lebih mudah dipahami (dengan syarat mengerti tulisan Arab) daripada bahasa Bima. Akan tetapi, dari sisi pelestarian naskah asli, hal ini tentu saja sangat menyedihkan.
Bo’ Sangaji Kai secara umum memuat berbagai catatan-catatan pendek atau panjang, yaitu pemerintahan Bima, mulai dari Sultan sampai pejabat yang paling rendah, silsilah keluarga raja-raja Bima ditambah sejumlah catatan tentang hari lahir atau wafat beberapa tokoh dari keluarga bangsawan, undang-undang Kerajaan Bima ditambah dengan catatan pengadilan perkara tertentu, hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan luar dan kompeni Belanda, cerita tentang berbagai ekspedisi Bima ke Manggarai pada tiga masa yang berbeda, yaitu 1727, 1760-1784, dan 1846, antara lain untuk merebut kembali daerah taklukan yang telah dikuasai oleh Makassar, dan sejumlah besar salinan akte yang disahkan oleh Sultan atau Raja Bicara, terutama tentang penjualan tanah dan kelompok masyarakat yang dinamai Dari (h. xiii).
Naskah-naskah ini tentu saja sangat penting untuk dipelajari jika ingin mengetahui seluk-beluk Kerajaan Bima pada masa lalu. Naskah-naskah ini juga menjadi bukti bahwa Kerajaan Bima adalah sebuah kerajaan besar dengan rakyat yang banyak karena sudah memiliki berbagai aturan yang ketat dan rinci.
Jejak Kerajaan Maritim
Satu hal yang sulit dibantah adalah bahwa Kerajaan Bima merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar di wilayah Indonesia Timur. Salah satu petunjuk tentang hal ini terdapat dalam kutipan teks-teks Jawa kuno, semisal Negarakertagama dan Pararaton, yang menyebutkan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi oleh kapal-kapal asing sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai menjelajah nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti (h. xiv).
Bukti lain bahwa Kerajaan Bima pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di kawasan Indonesia timur adalah adanya undang-undang Bandar Bima. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan perdagangan yang berlangsung di Bandar Bima kala itu. Undang-undang ini begitu rinci mengatur perilaku para pedagang, utang piutang, budak-budak yang bekerja di Bandar Bima, dan berbagai masalah yang sering terjadi antarpedagang, seperti perkelahian antarpedagang.
Kerajaan Bima sebagai sebuah kerajaan maritim menyadarkan kita bahwa ternyata bangsa Bima memiliki akar kebudayaan perdagangan laut yang kuat. Fakta ini menimbulkan ironi ketika dibandingkan dengan pembangunan masyarakat Indonesia timur saat ini yang masih tertinggal. Kenapa justru kantong-kantong kemiskinan itu bertebaran di belahan timur nusantara yang pernah jaya ini?
Buku ini seolah-olah ingin mengingatkan kita akan ironi tersebut. Barangkali kita memang lupa bahwa Bima dahulu pernah jaya, bahkan menguasai bangsa-bangsa asing yang berniaga di sana. Tidak hanya Kerajaan Bima, beberapa kerajaan di Sulawesi seperti Gowa dan Luwu yang juga memiliki kebudayaan laut yang besar juga sangat Berjaya. Dua kerajaan ini bahkan lebih dulu maju daripada Kerajaan Bima karena budaya tulis Kerajaan Bima konon diajarkan oleh Kerajaan Gowa. Begitu juga dengan Kerajaan Sumbawa dan Dompu seperti yang diungkap secara sekilas dalam topik ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan adalah fakta sejarah dan Kerajaan Bima adalah fakta sejarah yang lain. Naskah Bo’ Sangaji Kai ini menjadi dokumen yang penting dan berharga untuk selalu mengingatkan penguasa negeri ini agar terus berusaha mengembalikan kejayaan laut Indonesia dan bukan hanya menjadi sadar hanya setelah pulau atau bagian perbatasan negeri ini diklaim oleh bangsa lain.
(Yusuf Efendi/Res/27/05-10)
SUMBER ARTIKEL: http://melayuonline.com/ ind/bookreview/read/161/ bo-sangaji-kai-catatan-kera jaan-bima
Harga: Rp.150.000 (blum ongkir)
Kondisi: baru lepas segel 2000
Tebal:642 Kg
Berat: 1,05 Kg
Judul Buku
:Bo‘ Sangaji Kai: Catatan Kerajaan Bima
Penulis
:Henri Chambert-Loir dan Siti Maryam R. Salahudin
Penerbit :
Yayasan Obor Indonesia (YOI), Jakarta
Cetakan
:Pertama, Januari 2000
Tebal
:Ixviii + 642 halaman
Ukuran
:15,7 x 23,8 cm
Buku di hadapan anda ini adalah buku penting karena merupakan sebuah dokumen sejarah yang berisikan berbagai hal yang berkaitan dengan Kerajaan Bima, kerajaan terbesar yang pernah berkuasa di Nusa Tenggara Barat. Oleh karena itu, buku ini sangat penting dibaca bagi para sejarawan maupun khalayak luas yang berminat menelusuri sejarah Kerajaan Bima.
Selain dokumen sejarah, buku ini sangat menarik karena menyertakan pula dokumen asli dari Bo’ Sangaji Kai yang masih berbahasa Melayu dan ditulis dengan aksara Jawi. Dengan demikian, pembaca yang mengerti tulisan Melayu dapat membandingkan dengan transliterasi yang ada. Jika ada ketidaksesuaian antarkeduanya, pembaca langsung dapat memberi komentar atau membenarkannya sendiri. Akan tetapi, bagi pembaca yang tidak mengerti aksara Jawi tetap akan kebingungan jika tidak memahami transliterasinya.
Maka dari itu, buku ini ditransliterasi oleh dua individu yang cukup seimbang dan saling melengkapi. Pertama adalah Henri Chambert-Loir, seorang sarjana Prancis yang memang menfokuskan diri pada kajian tentang dokumen-dokumen Kesultanan Bima dan yang kedua adalah Siti Maryam R. Salahudin, salah seorang keturunan langsung dari Sultan terakhir Kesultanan Bima. Dalam konteks ini, Henri dapat langsung mengoreksi dan membandingkan apa yang dipahami dan ditulisnya dari naskah Melayu dengan kerabat Kesultanan yang sedikit banyak ada ikatan emosional dengan nenek moyangnya dan tentunya mengenal betul kebudayaan Bima.
Buku ini juga dilengkapi dengan berbagai foto dan silsilah raja-raja Bima yang pernah berkuasa. Dengan informasi ini, pembaca dapat membayangkan bagaimana keadaan Kerajaan Bima kala itu dan kemudian membandingkannya dengan informasi yang ada dalam naskah Bo’ Sangaji Kai ini.
Tentang Bo’ Sangaji Kai
Bo’ berasal dari bahasa Belanda Boek. Kata ini selanjutnya diserap ke dalam bahasa Mbojo dan menjadi Bo’. Adapun Sangaji Kai adalah gelar tradisonal Bima untuk raja-raja mereka sebelum berubah menjadi Sultan. Dengan demikian, Bo’ Sangaji Kai berarti “buku catatan raja-raja Bima” (h.xi).
Bo’ Sangaji Kai adalah salah satu buku terpenting dari berbagai jenis Bo’ Kerajaan Bima yang lain seperti Bo’ Bicara Kai, catatan Raja Bicara (wazir atau ketua adat) Kerajaan Bima, Bo’ Bumi Luma Rasana’e, catatan pegawai adat Kerajaan Bima, Bo Kadi, catatan tentang urusan agama, Bo’ Melayu, catatan tentang orang Melayu di Bima, dan Bo’ Dare Dura, catatan tentang keluarga bangsawan Makassar. Bo’ Sangaji Kai ditulis ketika Bima masih menjadi kerajaan dan berlaku hingga Kerajaan Bima berubah menjadi kesultanan, tentunya dengan disesuaikan dengan syariat Islam.
Bo’ Sangaji Kai aslinya ditulis di atas daun lontar dengan bahasa dan aksara kuno Bima. Naskah ini kemudian diubah ke dalam bahasa Melayu beraksara Arab atau Jawi pada masa Sultan Abil Khair Sirajudin (1645). Namun, sungguh sangat disayangkan, naskah asli Bo’Sangaji Kai dan Bo’ yang lain kini tidak ada lagi. Semua naskah Bo’ saat ini berbahasa Melayu dengan aksara Jawi. Di satu sisi, hal ini memudahkan pembaca karena bahasa Melayu lebih mudah dipahami (dengan syarat mengerti tulisan Arab) daripada bahasa Bima. Akan tetapi, dari sisi pelestarian naskah asli, hal ini tentu saja sangat menyedihkan.
Bo’ Sangaji Kai secara umum memuat berbagai catatan-catatan pendek atau panjang, yaitu pemerintahan Bima, mulai dari Sultan sampai pejabat yang paling rendah, silsilah keluarga raja-raja Bima ditambah sejumlah catatan tentang hari lahir atau wafat beberapa tokoh dari keluarga bangsawan, undang-undang Kerajaan Bima ditambah dengan catatan pengadilan perkara tertentu, hubungan Bima dengan kerajaan-kerajaan luar dan kompeni Belanda, cerita tentang berbagai ekspedisi Bima ke Manggarai pada tiga masa yang berbeda, yaitu 1727, 1760-1784, dan 1846, antara lain untuk merebut kembali daerah taklukan yang telah dikuasai oleh Makassar, dan sejumlah besar salinan akte yang disahkan oleh Sultan atau Raja Bicara, terutama tentang penjualan tanah dan kelompok masyarakat yang dinamai Dari (h. xiii).
Naskah-naskah ini tentu saja sangat penting untuk dipelajari jika ingin mengetahui seluk-beluk Kerajaan Bima pada masa lalu. Naskah-naskah ini juga menjadi bukti bahwa Kerajaan Bima adalah sebuah kerajaan besar dengan rakyat yang banyak karena sudah memiliki berbagai aturan yang ketat dan rinci.
Jejak Kerajaan Maritim
Satu hal yang sulit dibantah adalah bahwa Kerajaan Bima merupakan salah satu kerajaan maritim terbesar di wilayah Indonesia Timur. Salah satu petunjuk tentang hal ini terdapat dalam kutipan teks-teks Jawa kuno, semisal Negarakertagama dan Pararaton, yang menyebutkan bahwa pelabuhan Bima telah disinggahi oleh kapal-kapal asing sekitar abad ke-10. Waktu orang Portugis mulai menjelajah nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti (h. xiv).
Bukti lain bahwa Kerajaan Bima pernah menjadi kerajaan maritim terbesar di kawasan Indonesia timur adalah adanya undang-undang Bandar Bima. Undang-undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan perdagangan yang berlangsung di Bandar Bima kala itu. Undang-undang ini begitu rinci mengatur perilaku para pedagang, utang piutang, budak-budak yang bekerja di Bandar Bima, dan berbagai masalah yang sering terjadi antarpedagang, seperti perkelahian antarpedagang.
Kerajaan Bima sebagai sebuah kerajaan maritim menyadarkan kita bahwa ternyata bangsa Bima memiliki akar kebudayaan perdagangan laut yang kuat. Fakta ini menimbulkan ironi ketika dibandingkan dengan pembangunan masyarakat Indonesia timur saat ini yang masih tertinggal. Kenapa justru kantong-kantong kemiskinan itu bertebaran di belahan timur nusantara yang pernah jaya ini?
Buku ini seolah-olah ingin mengingatkan kita akan ironi tersebut. Barangkali kita memang lupa bahwa Bima dahulu pernah jaya, bahkan menguasai bangsa-bangsa asing yang berniaga di sana. Tidak hanya Kerajaan Bima, beberapa kerajaan di Sulawesi seperti Gowa dan Luwu yang juga memiliki kebudayaan laut yang besar juga sangat Berjaya. Dua kerajaan ini bahkan lebih dulu maju daripada Kerajaan Bima karena budaya tulis Kerajaan Bima konon diajarkan oleh Kerajaan Gowa. Begitu juga dengan Kerajaan Sumbawa dan Dompu seperti yang diungkap secara sekilas dalam topik ini.
Indonesia sebagai negara kepulauan adalah fakta sejarah dan Kerajaan Bima adalah fakta sejarah yang lain. Naskah Bo’ Sangaji Kai ini menjadi dokumen yang penting dan berharga untuk selalu mengingatkan penguasa negeri ini agar terus berusaha mengembalikan kejayaan laut Indonesia dan bukan hanya menjadi sadar hanya setelah pulau atau bagian perbatasan negeri ini diklaim oleh bangsa lain.
(Yusuf Efendi/Res/27/05-10)
SUMBER ARTIKEL: http://melayuonline.com/
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....