TERJUAL BY TANGERANG
Harga: Rp.400.000 (blum ongkir)
SIAPA CEPAT, DIA DAPAT!
Kondisi: LUMAYAN. tjetakan kedua.
Penerbit N.V. NUSANTARA BUKITTINGGI DJAKARTA 1961
tEBAL: 156 HAL
BERAT: 0,10 KG
Andy Firmansyah: 087 85 955 86 78
Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.
Dalam karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang memikat bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi kebiasaan sosial. Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat relevan dengan problema sosial-politik Indonesia dewasa ini. Pramoedya menulis cerita ini di tahun 1953—hanya delapan tahun setelah kemerdekaan republik ini diproklamasikan—dan kini, di awal abad 21, kita masih saja menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup kian menggerogoti uang negara dan rakyat banyak mesti menanggung akibatnya. Seakan-akan, korupsi tak pernah mati. (Redaksi Infokorupsi.com)
Berikut petikan dua bab (Bab 10 dan Bab 11) Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer:
BAB 10
Sejak mendapat keuntungan pertama hingga kini kalender dinding kantor yang tergantung di pintu lemari telah sekali diganti dengan yang baru. Dan kalender baru itu pun telah tipis hampir habis.
Kantorku masih tetap aman sebagai sediakala. Juga pegawai-pegawaiku. Juga bangku dan kursi. Hanya terdapat sedikit perubahan: beberapa orang pegawai tambah gaji dan tambah tunjangan untuk anak-anaknya yang baru. Dan untukku sendiri—aku memperoleh tambahan gaji yang jauh lebih banyak daripada biasanya. Kemakmuran akan uang telah membuat aku mendapat kawan-kawan baru dan memasuki pergaulan-pergaulan baru yang tiada pernah kuduga-duga ada sebelumnya. Sirad masih duduk di meja di sampingku. Sikapnya sudah lama berubah terhadap aku. Ia tidak seramah dahulu. Namun aku tak berani melarangnya bila hendak pergi berkuliah atau menyiapkan dri untuk menempuh ujian. Dan sebagai dahulu juga di depannya selalu terletak tumpukan dari tiga atau empat buku. Ke mejanya masih tetap dua lembar hanya kini agak usang.
Perubahan yang sesungguhnya tidaklah ada. rupa-rupanya hanya akulah yang berubah. Dahulu semua ramah terhadap aku dan sebaliknya. Tapi kini aku tidak berani ramah terhadap mereka, takut kalau-kalau tergelincir petunjuk-petunjuk yang bisa menjejaki perbuatanku. Dan karena sikapku yang menarik diri, mereka pun tidak ramah lagi terhadap aku. Bahkan pada kawan-kawan di luar kantor tak berani lagi aku banyak mulut. Mereka mengenal aku belaka, baik sebagai perorangan, maupun sebagai tenaga dan sebagai kemampuan.
Pakaianku sekarang bersih dari wol semua dan cocok rasanya dengan tubuhku yang tak tahan lagi menghadapi udara. Kemeja selalu buatan luar negeri, dan kalau tidak panas, kadang kupergunakan juga jas dan berdasi. Tetapi tidak selamanya, karena panas Jakarta yang keparat itu tidak memberi banyak kesempatan untuk berdendi. Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth. Juga aku tidak tinggal di kamar di belakang warung cina, tetapi di sebuah gedung dari dua setengah ratus ribu. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.
Juga kini aku tidak tinggal bersama anak-anakku beserta mamahnya. Tetapi dengan Sutijah. Jarang sekali aku dapat bertemu dengan isteriku dahulu. Dan perempuan sebenarnya pun tidak aku harapkan apabila tidak terpaksa amat. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya? Siapa pula yang tidak ingin bertemu dengan isterinya sendiri yang telah dua puluh tahun lamanya meladeni diri? Tetapi uang ini—dia telah membawa aku ke jurusan lain—di urusan yang tidak kuhendaki sendiri—dengan kekuatan yang penuh dan tiada terlawan. Aku masih ingin hidup dengan isteriku yang setia itu, dengan anakku yang cerdas-cerdas. Tetapi bertambah lama jarak itu bertambah jauh, bertambah jauh, jauh. Dan aku kini telah dapat menentukan nasibku sendiri serta apa yang akan datang di kemudian hari: jadi pengembara yang setia dari perasaan ke perasaan, dari ilusi ke ilusi dan dari nafsu ke nafsu—kutukan yang melekat pada jiwaku untuk selama-lamanya.
Tiap kali akan terdengar suara panggilan dari nuraniku, dan suara ini harus kuperturutkan, baik aku rela atau tidak. Dan suara itu begitu manis mendayu-dayu, tiap saat pabila tubuh belum menghendaki tidur. Hati kian lama terasa kian kecil dan tidak sanggup mengimbangi apa pun juga yang ada di luar diri. Ketakutan kian menguasai diri dan tiap kali asal mau dia memencak-mencak riang di dalam dada. Akhirnya tiap tindakan hanyalah usaha untuk menutupi kekecilan hati dan kekecutan.
Perasaan celaka tiap kali meminta perhatianku pabila dapatlah aku kesempatan mentertawakan diriku sendiri karena penduduk di sekeliling rumahku di Bogor amat menghormati aku karena mempunyai perhatian besar terhadap pemberantasan buta huruf, bahkan aku telah menjadi pelindung waktu lebaran menyerahkan beras sekarung kepada panitia zakat fitrah, waktu terjadi kebakaran menyerahkan uang lima ribu untuk para korban, dan sekiranya aku mempunyai perusahaan, maka semua surat kabar akan kuberi iklan tiap bulan tujuh kali agar mereka tak coba-coba membongkar rahasiaku.
Inilah keadaanku sekarang. Inilah diriku yang mentertawakan diriku sendiri pula. Dan barangkali orang-orang lain telah mulai mentertawakan.
Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku kini telah hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang tinggal adalah keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hati Sutijah sebelum kami kawin. Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. Ingin aku mengetahui bagaimana tingkah lakuku pabila mendapat kesempatan menjadi menteri yang bertugas untuk memberantas korupsi. Pasti ini merupakan peperangan yang hebat—tetapi lebih banyak memerangi keluar dan melindungi ke dalam. Atau mungkin juga aku harus cepat-cepat angkat kaki dari jabatanku, atau mempergunakan kesempatan itu untuk menolong diri sendiri. Tetapi yang akhir ini aku kira tidak mungkin, karena akhirnya jiwa tambah kacau balau, dan mungkin dalam sebentar waktu terus menjadi gila dan mati di rumah sakit Grogol sebagai binatang ajaib yang bisa bicara.
Bila malam tiada bisa aku memejamkan mata dan dalam jas kamar terhuyung-huyung bangun, kadang kuhafalkan wajahku di cermin dan aku dapati di situ manusia lain yang bukan diriku beberapa tahun yang lalu. Kerut mirut yang melingkungi mata seperti gelang-gelang pesakitan seratus tahun yang lalu. Kejapan mataku seperti maut yang mengimbau-imbau dari kejauhan. Dan bila pandangku kujatuhkan pada Sutijah yang tergolek di bawah selimut dan di sana sini membuat pegunungan dengan bayang-bayang tubuhnya aku bertambah tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi atas diriku.
Hal yang segila-gilanya telah pula terjadi. Apabila Sutijah pergi ke kota—ke Jakarta—sebentar kemudian datang sedan baru dari Jakarta, dan turun seorang wanita setengah tua tetapi masih molek, dengan tingkahnya yang manis mengajak aku mengobrol, kemudian mengeluarkan album yang berisi potret wanita-wanita muda dan agak tidak muda lagi, semua hanya dengan kantung dada. Mas—ia selalu memanggilku demikian. Mas boleh ambil kalau jeng Sutijah sedang terlena. Ini isteri propesor, ini isteri anggota parlemen. Terus disebut pangkat-pangkat itu, dari kolonel hingga kapten. Dan bukan main kagetku waktu ada melihat potret yang sering kulihat di surat kabar sebagai wanita gesit yang memperjuangkan emansipasi kelaminnya. Ah, tidak usah membayar, karena itu memang bukan tujuan kami, cukup kalau orang itu punya mobil dan kelas satu, karena adanya mobil akan melenyapkan bukti-bukti dan saksi. Mas bisa setir sendiri, bukan?
Wanita ini tak mau menyebutkan nama mereka tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Hanya menyebutkan, bahwa pria-pria berpangkat tak mau ketinggalan ikut menceburkan diri dalam gerakan “muda kembali” ini. Dan syarat pertama: punya mobil.
Untuk ketiga kalinya ia datang, dan waktu ternyata aku belum juga memberikan jawaban, ia—dan tiada pernah aku duga-duga—mengancam dengan suaranya yang lunak dan lemah-lembut. Bila Mas tidak ikut, nah, mas dalam beberapa hari ini akan bangkrut, karena semua orang tahu tidak ada warisan apa-apa yang ditinggalkan orang tua mas untuk mas.
Aku minta keterangan bagaimana caranya membangkrutkan daku. Dan ia menerangkan dengan senyum yang rela: mas, kami ini adalah golongan tersendiri dalam masyarakat yang memperoleh kebahagiaan dan kekayaan dari uang negara. Kami mengerti kegoyahan nasib kami, karena itu harus diadakan ikatan yang lebih mendalam, lebih lagi dari hati ke hati, agar dengan demikian antara kami tak ada rahasia lagi, antara kami tak ada pengkhianatan lagi, dan antara kami bisa dinikmati segala-gala yang mungkin.
Keterangan itu membuat aku mengerti dan sekaligus juga mengikatkan daku pada pergaulan dan lingkungan baru. Ah, segala-galanya yang sekiranya bisa memberi pegangan dan jaminan keselamatan akan kuraih—hanya untuk menunda datangnya keruntuhan, sedangkan keruntuhan itu sendiri telah kuketahui akan datang juga. Namun aku tak mau runtuh atas kehendakku sendiri. Kekuasaan dari luar harus meruntuhkan daku. Dan biarlah aku runtuh—keruntuhan yang semestinya dialami oleh tiap orang. Mungkin juga keruntuhan yang diikuti oleh keruntuhan hidupku.
Pengalaman yang akhir-akhir ini menyebabkan jiwaku menjadi bolong. Dan untuk menyembuhkan kebolongan ini berbotol-botol minuman keras habis meruap setelah sebentar melalui kerongkongan. Dahulu belum pernah aku menjamahnya—dahulu dalam hidup berumah tangga dengan anak-anak isteriku.
Di malam-malam di kala hari begini sunyi, dan diri tak berani meninggalkan rumah, tidak jarang aku berjam-jam termenung di salon sambil menghabiskan berbatang-batang cerutu. Inilah aku sekarang dalam gudang kemewahan dan harta benda. Inilah aku yang telah insaf akan datangnya keruntuhan. Inilah aku dikutuki menjadi pengembara dari perasaan ke perasaan, dari ketakutan ke ketakutan. Dan juga inilah aku yang setiap saat siap mengikuti panggilan nyaring yang terdengar di hati. Inilah aku....
BAB 11
Pada suatu hari kembali aku masuk bekerja. Sirad sudah lama duduk di bangkunya membaca buku. Demikian terpikat sehingga tak dilihatnya aku masuk ke dalam.
“Tidak ada surat?” tanyaku.
Ia letakkan bukunya. Mengangguk, kemudian bangun dari duduknya.
“A, sudah datang, pak?” Bukan main sakit hatiku mendengar pertanyaan seperti itu. Ah, tiap hari aku merasai sakit hati sekalipun mungkin orang tidak berbuat dengan sengaja.
Sirad meneruskan:
“Sudah lama kutunggu-tunggu, pak. Banyak surat yang tak dapat diurus. Dan aku tak tahu di mana bapak tinggal. Sudah seminggu....”
“Ah, ya, urusan di luar kantor banyak sekarang.”
“Aku tahu juga itu. Urusanku di luar kantor juga banyak, karena itu aku mengerti.”
“Menyiapkan konperensi yang akan datang,” kataku lagi.
“O ya. Baru ingat aku. Di Makasar, bukan?” Aku mengangguk.
“Dan menyiapkan turne,” sambungku.
Untuk kesekian kalinya aku lihat ia tersenyum padaku. Tapi untuk sementara ini pemuda itu takkan menyebabkan datangnya keruntuhanku. Aku percaya pada budiku yang kutumpahkan padanya, dan dia takkan berbuat apa-apa karena hutang budi itu. Tidak! Sekalipun ada kurasai di hatiku sendiri keruntuhan yang sebongkah demi sebongkah.
“Kemarin aku bertamu lagi, tetapi bapak masih juga tidak ada. Tak tahulah aku di mana bapak bisa kutemui di waktu-waktu aku membutuhkan.”
“Ah, ya, di waktu-waktu belakangan ini aku harus banyak ke luar rumah. Pikir saja, mengurus pemberantasan buta huruf di wilayahku, memimpin rapat kematian, menguruskan tunjangan untuk para korban kebakaran....”
“Pak,” katanya sungguh-sungguh, kesungguhan yang menggoncangkan hatiku, “kita sudah sama-sama dewasa dan tahu kewajiban.”
Ancaman itu terasa ditetakkan lurus-lurus pada buah hatiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku hebat, berani dan tajam menutupi kekecilanku sendiri.
“Aku sudah sering datang ke rumah, dan ibu bilang—sudah lama bapak tak pulang. Lebih setahun, katanya.”
Aku tergagap-gagap, tetapi jawaban yang sesungguhnya tidak mau keluar dari mulutku. Kurebahkan diri di atas kursi kedudukanku, menarik nafas panjang. Kemudian barulah keluar suara dari mulutku, lemah-lembut dan minta perhatian:
“Banyak orang yang bertanya demikian kepadaku. Karena itu aku heran kalau engkau yang sesopan itu ikut bertanya pula. Itu adalah urusan rumah tanggaku, dan aku kira tak ada orang berhak ikut campur tentangnya.”
“Ah, bapak ini. Apakah bapak pikir orang dapat menceraikan pekerjaan kantor dengan rumah tangganya? Tanpa pekerjaan kantor rumah tangga tidak bangun, atau setidak-tidaknya akan berantakan, ini untuk pegawai seperti kita. Apakah yang tidak campur aduk dalam hidup ini, pak?”
“Sekalipun engkau benar aku tak sudi bicara tentang rumah tanggaku.”
“Barangkali terlampau banyak rahasia bapak simpan di sana,” katanya mulai mendesak dengan kurang ajarnya. “Tapi aku banyak mengetahui rahasia itu, sehingga bapak sesungguhnya tak perlu lagi bercerita tentangnya.”
“Bicara saja tentang pekerjaan kantor.”
“Memang itulah kumaksudkan, pak. Bapak terlalu sering mengabaikan kantor. Pekerjaan menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan keluhan kelambatan pesanan.”
“Toh mereka bisa tunggu!” Sesungguhnya kemarahanku yang terlatih menjolak, kini meluap dan menjolak pula. Raungan garang terdengar: “Mereka bisa tunggu aku.”
Sirad berdiam diri oleh kemarahanku itu. Aku tahu benar bahwa ia takkan dapat berbuat apa-apa untuk menggulingkan diriku dari kedudukanku. Ia duduk lurus-lurus di atas kursinya dan meneruskan bacaannya. Tetapi kemarahan telah menguasai diriku seluruhnya. Segera aku berdiri lagi dan berjalan mondar-mandir di depan meja.
Tiba-tiba pintu diketuk dan opas nampak dari kiraian pintu.
“Pak, ada tamu,” opas memberitakan dari kiraian.
“Persetan dengan tamu.”
Pintu tertutup kembali dan kuteruskan mondar-mandirku. Aku lihat Sirad menulis sesuatu di atas sehelai kertas, kemudian catatan itu disimpannya di dalam kantongnya.
Kembali pintu diketuk, dan sekali lagi opas muncul di kiraian.
“Pak, ada surat dari tamu.”
Dengan sendirinya saja tanganku menerima surat itu dan membuka. Isinya: lima ratus rupiah dengan sedikit tulisan—kalau diperkenankan kami hendak menghadap. Segera surat kumasukkan ke dalam kantong dan menyemburkan perintah pada opas:
“Tidak terima tamu.”
Pintu tertutup dan ia hilang dari pemandangan. Waktu tegakku kubalikkan menghadap ke kursiku, nampak olehku Sirad sedang membuat catatan kembali. Syak mulai menggantikan kemarahanku. Aku dekati dia dan mengintip tulisannya. Cuma beberapa patah kata dapat terbaca olehku, itu pun dalam bahasa asing dan tak ada bahasa asing yang kufahami selain Belanda. Karena itu mengamuklah cemburu hatiku bergumul bersama syak.
“Engkau membuat catatan tentang diriku?” tanyaku.
“Sekiranya benar, bukankah tidak ada yang melarang?”
“Untuk siapa catatan ini?”
“Ini cuma catatan untuk melengkapkan ikhtisar.”
“Jangan dikira aku tidak bekerja sebaik-baiknya untuk keberesan kantor ini. Tidak ada seorang pun dapat menggulingkan aku.”
“Oh, itu aku mengerti. Untuk itu memang dibutuhkan hubungan batin yang kuat. Hubungan batin seperti itu tak ada padaku. Lagipula tak ada kedengkian di dalam hatiku untuk menggulingkan. Di sini aku banyak belajar dan mengetahui.”
Kembali pintu terketuk dan tampang opas yang menyebalkan itu muncul kembali di kiraian.
“Pak, ada tamu lagi,” katanya sambil mengulurkan amplop baru.
Kuterima amplop itu dan kubuka isinya. Seribu lima ratus rupiah, dengan surat di dalamnya: “kalau tuan tidak sempat menerima, baiklah nanti sore kutemui di rumah.” Amplop itu kumasukkan ke dalam kantong, sedang suratnya aku robek-robek. Kemarahanku—aku tidak tahu—lenyap dan dengan gangguan syak yang tidak juga mengendur pelahan aku menuju ke kursi kembali. Terdengar olehku tertawa Sirad yang sengaja diperdengarkan. Dan waktu kupandang dia, tertawanya kian disengaja. Dia mengerti kataku. Memang bodoh aku kini tiap orang kuanggap tidak mengrti apa yang kukerjakan. Tiap saat aku harus menghibur diri, bahwa tak ada orang yang mengerti apa yang sesungguhnya yang telah aku perbuat.
“Sekarang, apa yang bisa kuperbuat, pak?” katanya kemudian.
Kupandang dia dan dia memandang aku begitu tajam dan jernih sehingga aku terpaksa menghindarkan mataku. Kemudian ia bicara pelahan:
“Baiklah. Pasti akan kukerjakan sendiri apa yang wajib aku kerjakan.”
“Engkau mengancam aku?”
“Apakah sebabnya aku mengancam?”
Aku diam lagi dan merenung lama-lama. Aku harapkan opas itu muncul kembali agar aku tahu apa yang seharusnya kukerjakan sekarang untuk menghindarkan diri dari campur aduk yang menggilakan. Tetapi ia tidak muncul lagi. Ada datang pikiran hendak membagi rejeki hari ini dengan Sirad, tetapi aku tak berani, takut kalau-kalau ia lebih-lebih lagi mendapat bukti. Dan seperti dengan sendirinya saja kuambil aktentas diplomatku yang tebal itu dan siap meninggalkan kantor.
“Bagaimana dengan surat-surat yang tertunda?” tanya Sirad.
“Mereka boleh tunggu.”
“Baiklah.”
Sebelum meninggalkan ruangan kerja kulihat jam. Satu jam lagi, dan aku baru dapat mengunjungi Mariam—salah seorang anggota organisasi orang-orang semacam aku, dalam kesulitan seperti aku pula.
Lambat-lambat aku meninggalkan kantor dan menuju ke mobilku. Tetapi ada suatu perasaan yang menyuruh aku balik kembali. Sekali ini kuperturutkan lagi suara di dalam hati itu, dengan tangan kiri menjinjing tas diplomat dan tangan kanan tertekuk di belakang badan—lambat-lambat, tiada bertujuan.
Di kalau aku sampai di depan pintu ruanganku terdengar berbagai macam suara yang berkobar-kobar: di dalam ruangan kerjaku. Berdengung-dengung silang-siur. Berisi hasutan satu sama lain. Aku pandangai pegawai-pegawai yang masih duduk di tempatnya masing-masing di luar ruanganku. Mereka segera menghindarkan pandangnya masing-masing dan meneruskan pekerjaan. Hatiku berdentaman. Apakah yang terjadi sekarang? Sambil memandangi pegawai-pegawai yang sedang bekerja kupingku kupertajam dan ternyata mereka sedang berunding untuk menentukan nasibku sebagai kepala bagian. Aku tidak boleh mengalah pada putusan mereka, teriak hatiku. Aku harus hancurkan mereka, terdengar jawaban atas teriakan hatiku.
Kembali aku mendengarkan. Dan kini suara-suara mulai teratur.
“Sudah kenyang makan uang negara. Harus disimpan di rumah besar.”
“Sabar-sabar. Kita harus cari bukti.”
Kemudian suara-suara itu kembali menjadi campur-aduk sehingga tak dapat lagi aku menangkap sepatah kalimat yang teratur.
Kehancuran belum tiba hari ini. Aku masih sanggup menghancurkan mereka. Tak ada bukti kekurangan uang di kas. Tidak ada bukti pemalsuan kuitansi. Semua beres. Ha, aku lebih cerdik daripada mereka semua. Mereka takkan ada alasan untuk menggugat! Mereka tidak berani menggugat! Negara masih sibuk dengan gerombolan.
Dengan keteguhan hati dan kenekadan yang membuta aku pun segera melompat ke dalam. Orang-orang yang ada di dalam terkejut, memandangi aku sebentar bahkan di antaranya hanya menunduk, kemudian seorang demi seorang keluar seperti domba meninggalkan kandangnya di pagi hari.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Sirad.
“Kami sedang menyusun tenaga untuk memberantas korupsi.”
“Siapa di kantor ini yang berkorupsi?”
“Itulah yang sedang kuselidiki.”
“Adakah uang kas kurang?”
“Tentang itu aku kira bapak lebih mengetahui daripada aku.”
“Apakah mereka menuduh aku melakukan korupsi?”
“Mungkin juga.”
“Jangan menuduh aku sembarangan kalau tidak ada bukti nyata.”
“Mungkin aku pun tertuduh.”
“Engkau mau menghibur aku?” tanyaku berangsangan.
“Apakah kesulitan bapak hingga aku terpaksa menghibur?”
Aku kehabisan perkataan. Dalam luapan berangsang itu tak tahu lagi aku apa yang harus kuperbuat. Hanya tas diplomatku kulemparkan ke mejaku.
“Aha, kita sama-sama dewasa, tua malah, untuk mengerti seluk-beluk kejadian,” Sirad berkata pelahan pada diri sendiri. Aku pandangi dia, dan ternyata ia memandangi aku dengan senyuman iblis melingkungi mulutnya. Teranglah kini bagiku bahwa setan muda ini akan memasang aku lagi ke dalam ranjau tersedia bagiku.
“Tiap orang, mau tak mau,” Sirad meneruskan. Dan aku merasa disindir mentah-mentah.
“Apa maksudmu?”
“Ah, aku sedang menghafal beberapa bait dari sandiwara Shakespeare.”
Aku tak tahu tentang sandiwara, juga tak pernah membaca karangan Shakespeare. Itu pula yang menyebabkan aku merasa kecil berhadapan dengan setan muda ini dengan kata-katanya yang langsung ditusukkan padaku, dan dengan alasan-alasan yang aku tak dapat menolak ia bisa artikan lain.
Lama kelamaan setan muda ini sungguh-sungguh menggilakan ucapan-ucapannya. Dan karena tak mengerti apa yang harus kuperbuat selanjutnya kuambil kembali tas diplomatku dan dengan kepala menunduk menuju ke pintu. Bukan main amarahku ketika kudapati beberapa pegawai menggerombol di depan pintu ruangan kerjaku.
“Apa kalian perbuat di sini?” gertakku dengan kemarahan yang kehilangan kendali.
Mereka bubar dan menuju ke tempatnya masing-masing dengan tiada bicara sepatah pun.
Aku merindukan masa dahulu sewaktu tiap kepala kantor ada kekuasaan untuk melepas pegawainya. Tapi kekuasaan seperti itu kini tidak ada lagi. Barangkali juga ada, tetapi aku tak tahu. Dan pabila masa dahulu itu datang kembali, pegawai-pegawai itu pasti aku usir di waktu ini juga. Sungguh sayang. Tapi, yah, kepala kantor jaman sekarang seperti aku ini belum lagi mampu membuat laporan, bahkan tidak pernah mengetahui pentingnya laporan yang diterima dari bawah. Aku ingat beberapa laporan yang pernah kuterima, kubaca, kemudian hanya menjadi bahan dongengan di luar kantor. Dan kini tahulah aku apa harganya laporan, tetapi semua sudah terlambat. Aku sendiri tak bisa membuat untuk kuteruskan ke tempat yang lebih atas lagi. Dan semua itu membuat aku insaf, bahwa aku sesungguhnya tidak tahu apa-apa tentang kewajibanku sebagai kepala bagian yang berhak mengeluarkan uang jutaan rupiah. Tambah lama tambah terasa akan kegoyahan kedudukanku. Juga tambah teranglah kini, bahwa Sirad itu jelas merupakan ancaman bagi kedudukanku. Sebenarnya ia harus kuperlakukan secara lemah-lembut dan mempergunakan kepalanya untuk mempertahankan kedudukanku. Aku sungguh-sungguh bodoh memperlakukan begitu kasar beberapa waktu yang akhir-akhir ini. Ia tak punya hubungan apa-apa dengan pihak atasan dan karena sementara ini tak bisa dengan langsung menggugurkan daku. Dan kekuasaan seluruh pegawai bawahannya tidak kuasa meruntuhkan daku, sekalipun mereka berteriak sekeras sekampung gajah.
Dengan perasaan sebal aku pun menuju ke plymouthku. Sebentar kemudian rodanya berderak menggiling pelataran dan akhirnya lenyap ke dalam keriuhan lalu lintas.
Tiba-tiba sopir di depanku bertanya dengan kurang ajarnya:
“Mobil siapa ini sebenarnya, pak?”
“Engkau lagi,” gerutuku.
Dahulu aku selalu membanggakan bisa memiliki mobil. Sekarang untuk pertama kalinya aku tak berani mengakui lagi. Dan menjawab: “Tentu saja kepunyaan kantor.”
“Sudah kuduga juga,” katanya dengan sabarnya, “mesti kepunyaan kantor.” Kemudian dibukanya gas banyak-banyak dan mobil terbang di jalan raya yang agak terluang itu. Kata-katanya yang diucapkan dengan sabar itu sangat menyedihkan hatiku. Selama itu tak pernah ia bertanya mobil siapa yang disopirinya. Juga pertanyaannya merupakan bagian keseluruhan dari kejadian-kejadian tadi.
“Ke mana, pak?” ia bertanya. Suaranya hambar tiada mengandung semangat.
Aku tak mengerti mengapa ia berubah amat hari ini. kudekatkan tubuhku padanya dan berbisik dengan suara hambar pula: “Ka...nan.”
Timbul saja kecurigaanku bahwa ia ikut bersekongkol dengan pegawai-pegawai lainnya. Dan bila demikian halnya, dialah biang keladi yang bisa bercerita banyak tentang kehidupan baruku, rumahku, bini baruku, hubunganku, perkumpulan zinahku—pendeknya segala-galanya. Kalau ada keberanian padaku, pasti kupukul kepalanya biar berdua kita membentur apa saja dan mati dalam kecelakaan lalu lintas. Tapi keberanian seperti itu tidak ada padaku. Dan apa yang dahulu kuanggap keberanian itu tidaklah lain daripada kebulatan nafsu yang tiada dapat ditahan lagi. Keinsafan ini membuat aku tambah mengerti bahwa diriku ini sebenarnya hanya gudang nafsu. Mau aku menghibur diriku bahwa aku sebenarnya masih lebih baik dari penjahat-penjahat lain, pembunuh atau pengkhianat, bahkan di jaman pendudukan aku tak pernah ikut menggampangkan kembalinya kekuasaan Belanda. Tetapi hiburan semacam itu tidak memberi kedamaian jiwa yang kekal dan yang sering aku alami paling-paling bisa menghibur dalam lima menit atau paling banyak dalam sehari.
Tiap hari aku harus menunda keruntuhan ini dengan tingkah sekena-kenanya. Dan lihatlah, kali ini aku dengan sikap yang agung kukeluarkan uang selembar dari dua ratus lima puluh rupiah dari amplop dan kuulurkan ke samping kursi si sopir.
“Ambillah ini. Untuk beli beras di rumah,” kataku.
Tangannya yang kanan menerima, melihat uang kertas itu sebentar dan selintas kemudian memasukkannya ke dalam kantong.
“Terima kasih,” katanya lagi. “Biniku akan girang menerima hadiah sebesar gaji ini. Terima kasih banyak-banyak.”
Kulemparkan tubuhku ke sandaran dan mendudukkannya dalam-dalam. Alangkah nikmat mempunyai mobil besar dan kuat menggaji sopir pula. Sebagus ini, semulia, setenang, seempuk dan seayun begini—seperti dalam mimpi. Mataku kututup. Tidak berani aku melihat lalu lintas, padahal dua tiga bulan yang lalu lalu lintas ini selalu menjadi bulan-bulan mataku untuk mengetahui siapa-siapa yang memperhatikan daku.
Pikiranku bekerja lagi. Harus aku korek isi hati sopir celaka ini.
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku setelah mendekatkan kepala pada tempat duduknya.
“Tentang bapak?”
“Ya,” kataku memberanikan.
“Siapa maksud bapak?”
“Siapa saja.”
“Orang-orang kantor?”
“Ya, orang-orang kantor.”
“Hh, ah, tidak apa-apa, pak. Tidak pernah dengar.”
Jawaban itu memperkuat dugaanku bahwa ia memang tahu apa-apa tentang diriku.
“Sebenarnya aku bisa bersikap lebih baik kepada mereka,” kataku kemudian, “tetapi mereka tidak mengerti maksudku.”
“Hhh.”
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku lagi.
Lama sopir itu tidak menjawab. Ia nampak gugup. Ia terdesak. Untuk menyemprunakan kekecilannya, kuulangi persenku. Sekali ini dengan uang seratus rupiah.
“Apa mereka pikir aku berkorupsi?”
“Tidak tahu, pak.”
“Aku tahu engkau tahu banyak tentang sangkaan-sangkaan salah itu.”
“Betul tidak tahu, pak.”
“Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu. Engkau cuma bercerita tentang kabar-kabar yang engkau dengar. Habis perkara. Bicara saja terus terang.”
Tapi ia tak juga mau bicara. Di depan sebuah restoran ia kuperintahkan berhenti.
Kuajak ia sama-sama makan. Dan waktu bestelan datang kami mulai makan. Ia dengan malu-malu dan kaku, tetapi aku bersikap seramah mungkin hingga akhirnya berkuranglah keseganannya.
“Apa kata mereka tentang aku?” tanyaku lagi setelah ia mengakhiri bagiannya.
Ia tersenyum sambil menunduk, kemudian pelahan-lahan memulai:
“Bapak memang disangka korupsi.”
“Apakah yang mereka pergunakan sebagai bukti?”
“Rumah di Bogor, kata mereka. Mobil. Hubungan dengan perusahaan-perusahaan asing.”
“Dan hidup besar dan amat royal.”
Sekarang pertahanan murah yang sudah lama aku persiapkan mempunyai alasan untuk dilahirkan. Mula-mula kudengarkan tertawa meyakinkan, dan kemudian:
“Orang-orang itu enak saja menuduh orang berkorupsi. Kadang-kadang seorang opas yang bisa beli cincin setempel pun dianggap telah berbuat begitu juga. Tetanggaku—seorang mandor,--waktu menyunatkan anaknya menanggap ronggeng. Tamunya banyak sekali, dan keesokannya terdengar dakwaan yang itu juga.”
“Ya, sekarang memang musim mendakwa,” sopir itu mengiakan. Dan hatiku lega sedikit.
“Dan tentang aku... kalau orang tahu bagaimana dahulu orang tuaku....” Aku tunggu ia bertanya, tetapi ia tidak melakukannya. Terpaksa aku teruskan ceritaku: “Orang tuaku adalah kaya, mempunyai perusahaan pembakaran kapur dan pabrik tegel di Yogya dan Gunung Kidul. Dan kakekku....” Kembali aku tunggu pertanyaannya, tetapi dia tak bertanya juga. “Tahu kakekku?”
“Tentu saja tidak, pak.”
“Dia petani kaya di Purwokerto.”
“Di Purwokerto memang banyak petani kaya.”
“Dua ratus hektar sawahnya.”
“O.”
“Orang-orang itu akan salah duga kalau mendakwa aku melakukan korupsi.”
“Tentu saja salah duga.”
Sekarang datang giliranku untuk bertanya, dan kesempatan sebaik itu takkan kubiarkan hilang percuma.
“Apa mereka akan perbuat terhadap diriku?”
“Mereka mau membuat penyelidikan.”
“Mengertilah aku sekarang. Jadi engkau juga ikut menyelidiki aku?”
“Hhh, sebenarnya aku tak tahu apa-apa, pak. Aku takut sama mereka, jadi....”
“Tidak ada gunanya!” Aku tertawa menghinakan. “Mereka menyangka aku berkorupsi!” Kembali aku memperdengarkan tertawa pendek yang menghinakan.
Sopir itu menyeka mulutnya. Tak tahu lagi ia di mana pandangnya harus ditujukan.
Dan aku meneruskan tetakanku:
“Tidak ada gunanya menyelidiki aku. Dan engkau?”
“Mengapa, pak?”
“Engkau juga ikut mendakwa aku?”
Ia tergagap-gagap, buru-buru menelan ludah, mengintip aku sekilas dalam tunduknya.
“Tidak, pak, tidak. Betul, pak.”
“Sebenarnya mereka tak perlu menuduh-nuduh. Mereka bisa pergi kepada polisi dan mengadukan halku. Itu lebih gampang,” gertakku. Tahu benar aku, bahwa gertakan itu akan melenyapkan dakwaan yang bukan-bukan. Mereka takkan berani mengadu kepada polisi karena mereka pun takut berhubungan dengan polisi dan mendapat kesusahan karenanya.
Tapi sekiranya mereka kerjakan juga, habis tandaslah riwayatku. Aku lihat sopir itu mulai percaya pada kejujuranku.
“Mereka boleh hitung uang di kas, dan berapa yang hilang aku pergunakan. Tidak, sopir, yang pegang uang bukanlah aku tetapi kasir. Dan sekiranya ada korupsi hanya kasirlah yang bisa mengerjakan.”
Sopir itu memandangi aku. Kemudian bertanya:
“Pak, kalau aku mewarisi harta benda sebegitu banyak aku takkan bekerja.”
Mula-mula terkejut juga mendengar itu. Tetapi kala kuketahui bahwa ia bicara tentang dirinya sendiri, dan sama sekali bukan tentang diriku, kusambutlah ucapannya itu dengan:
“Pir, pir—kan engkau tahu kekayaan tidaklah banyak berguna kalau diri tidak punya pangkat. Itu memang ajaran orang tuaku dahulu. Karena ajaran itu telah menjadi kepercayaan sendiri—uah, inilah sebabnya aku menjadi pegawai.”
Ia mengangguk, hormat, malu, takut sekaligus.
Legalah hatiku melihat kemenanganku. Besok ia akan berbicara tentang kebaikanku, lusa ia akan membimbangkan kebenaran dakwaan kawan-kawannya, dan tiga hari kemudian ia akan membela aku. Tapi bagiku sendiri, hari depan yang kian goyah kian terbayang. Tidak bisa! Sungguh tidak bisa diri harus mengerjakan pasukan kebohongan untuk memerang kekuasaan bahan-bahan kenyataan. Kini kenyataan itu belum lagi diketahui orang, dan keadaan itulah sebenarnya hidupku, seluruh hidupku kini.
“Sekali-kali ingin juga aku datang ke rumahmu.”
Ia nampak gembira. Aku mengerti, itu suatu kehormatan bagi keluarganya.
“Terima kasih kalau bapak sudi. Kapan datang, pak?”
“Besok atau lusa. Kalau ada tempo aku kabari.”
Kupandang jamku. Ternyata masa untuk datang ke perkumpulan perzinahan telah beberapa menit lewat. Tapi itu bisa ditunda beberapa jam, pikirku. Dalam hal demikian selamanya ada waktu untuk menunggu dan ada waktu untuk ditunggu. Tapi waktu ini sopir ini harus diisi dahulu. Sopir-sopir ini adalah makhluk yang paling celaka, dia jadi biangkeladi dari keruntuhan orang besar. Dia juga biangkeladi dari keruntuhanku. Ah, sekalipun mau bergerak bagaimanapun juga dunia ini kian lama menjadi sempit. Gunting ini lambat laun kian mendekatkan matanya untuk membagi orang ke dalam dua bagian. Sebaliknya aku harus segera membeli villa di Puncak.
Tata usaha tanah sudah lain di sana, dan tidak mungkin ada pengawasan orang. Di Jakarta membuka perusahaan. Mobil akan memperdekat jarak Puncak-Jakarta. Dan orang akan kehilangan jejak. Atau aku beli kebun dan sawah banyak-banyak. Orang desa suruh mengerjakan. Panen bagi dua, dan habis perkara.
Di atas mobil kegelisahanku makin menjadi. Dahulu, kalau aku kuasa, semua oramg yang ada di jalan akan kusuruh lihat diriku dalam mobil-baruku. Kini aku mati ketakutan kalau orang tahu ini mobilku sendiri. Dahulu besar hatiku pabila bertemu dengan kawan lama, tapi kini adalah sebaliknya. Mereka juga biangkeladi yang bisa menjejaki semua-muanya. Kalau aku punya barisan bersenjata seorang demi seorang di antara mereka harus kubunuh agar di atas bumi ini tidak ada saksi lagi darimana asalku. Ah, banyak orang tiba-tiba merupakan musuhku. Ribuan orang seakan-akan mengintip segala tingkah lakuku. Dan mungkin dengan tidak setahuku mata-mata polisi atau garong telah membuntuti daku ke mana pun juga aku pergi.
Bertambah lama kurasai diriku seperti kanak-kanak yang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rapornya dari mata orang tuanya. Tapi akhir-akhirnya orang tua itu ingat juga dan minta lihat buku rapor itu.
Waktu mobil baru distater seorang menjenguk ke dalam mobilku. Bukan main terkejutku, terutama waktu ia membuka mulutnya.
“Ha, sudah punya mobil segala kau sekarang. Hh, tuan besar rupanya.”
Kalau tidak malu, kuteriakkan perintah pada sopir untuk memberi gas secepat mungkin. Tapi orang di jendela mobil ini adalah kawanku, dahulu, beberapa tahun yang lalu. Dia juga biangkeladi dari keselamatanku. Dan aku tak mau berhubungan dengan biang-biang penyakit. Jadi:
“Maaf, aku tak ada tempo,” kataku.
Dan mobil menderum lagi.
Itulah duniaku yang sempit ini. Inilah jantungku yang terus menggigil oleh ketakutan dan kecurigaan. Mengapa aku harus hidup dalam ketakutan dan kecurigaan selalu? Dahulu, waktu masih di sekoilah, guru selalu bilang bahwa orang ini dilahirkan untuk berbahagia. Ah ya, inikah kebahagiaan? Kutengokkan pandangku melalui kaca belakang. Kawan lama itu masih nampak memandangi aku dengan air muka tiada mempunyai kesan apa-apa. Barangkali ia terkejut. Apa? Hampir-hampir aku tak berani melihat lagi. Di sana lagi isteri dan keempat anakku sedang berjalan. Ya, memang nampak lebih miskin daripada dahulu. Tetapi mereka tidak terus menggigil sebagaimana aku sekarang. Mereka dirahmati kesederhanaan hati. Mereka tidaklah menjadi korban hawa nafsunya sendiri. Dan hawa nafsuku ini—dia cuma berhenti kalau diperhentikan dengan paksa. Diriku hanya hamba lemah yang mengabdi kepadanya. Tambah lama ini tambah terasa. Perasaan murni seorang tua terhadap anak-anaknya tak dapat dibohongi lagi dengan kebesaran-kebesaran yang diperolehnya. Ah, bukan aku tak mau mengakui mereka anak-anakku—bukan aku tak mau tahu mereka—bukan aku tak mau mengongkosi mereka, tetapi bagaimanakah aku harus memulai semuanya itu? Bagaimana? Kembali kupandangi isteriku dan keempat anakku. Mereka sebagai makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia, dengan nafsu dan dengan keinginan-keinginan. Dan waktu meeka hilang di balik gedung-gedung yang berderet di sepanjang jalan, dapatlah aku mengetahui, bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia, hanya saja aku yang tidak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri. Tambah lama aku tambah tak tahu di mana sebenarnya tempatku di dalam masyarakat ini. Dan, apakah harganya lagi manusia ini terlepas dari segala hubungan di dalam masyarakatnya? Apakah harganya lagi! Dan aku tak tahu di mana tempatku sendiri. Aku! Yang dahulu selalu menyadari sebagai manusia yang selalu menghamba pada kebaikan dan kebajikan, juga tahu tempatku ada di suatu pojok masyarakat dan selalu menjanjikan budi. Kadang-kadang nyanyian itu ada terdengar oleh orang, ia mendengarkan dan mengiakan. Dan hatiku senang. Akhirnya aku dahulu tiada lain daripada penyanyi, dan tiap malam mendengarkan dengan kepatuhan lagu yang membubung dari pujaan budi. Kini nyanyian itu telah padam. Seorang penyanyi yang tidak sanggup lagi menyanyi! Tidak bisa menyanyi lagi karena memilih kegiatan lain, dan untuk selama-lamanya kehilangan kepandaiannya menyanyi, bahkan nyanyian itu sendiri.
Tahulah aku kini: untuk memperoleh uang dan kemewahan ini aku telah kehilangan segala-galanya. Juga harapan orang tuaku dahulu beserta pendidikannya kini telah lenyap! Yang tinggal hanya kesempatan untuk memulai jalan baru kembali: tetapi untuk itu umurku yan telah tua ini tidak memungkinkan. Keberanianku bertambah habis....
SIAPA CEPAT, DIA DAPAT!
Kondisi: LUMAYAN. tjetakan kedua.
Penerbit N.V. NUSANTARA BUKITTINGGI DJAKARTA 1961
tEBAL: 156 HAL
BERAT: 0,10 KG
Andy Firmansyah: 087 85 955 86 78
Novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer
Novel ini diterbitkan pertama kali tahun 1954 dan diterbitkan ulang tahun 2002 oleh Hasta Mitra. Novel ini terdiri dari 14 bab dan bercerita tentang seorang pegawai negeri bernama Bakir yang melakukan korupsi. Awalnya, ia melakukan korupsi karena desakan ekonomi keluarga, namun lama kelamaan ia semakin rajin melakukan korupsi sehingga ia menjadi kaya raya. Ia terjerumus ke dalam pergaulan tingkat atas yang penuh kepalsuan dan kemewahan tanpa makna, yang membuat jiwanya kian hampa. Pada akhirnya, segala kejahatannya terbongkar dan ia pun terpuruk dalam penjara.
Dalam karyanya ini Pramoedya menggambarkan dengan jeli dalam gaya satir yang memikat bagaimana penyakit korupsi bisa mewabah secara luas menjadi kebiasaan sosial. Setelah nyaris setengah abad, ternyata novel ini masih sangat relevan dengan problema sosial-politik Indonesia dewasa ini. Pramoedya menulis cerita ini di tahun 1953—hanya delapan tahun setelah kemerdekaan republik ini diproklamasikan—dan kini, di awal abad 21, kita masih saja menghadapi persoalan serupa: para pejabat korup kian menggerogoti uang negara dan rakyat banyak mesti menanggung akibatnya. Seakan-akan, korupsi tak pernah mati. (Redaksi Infokorupsi.com)
Berikut petikan dua bab (Bab 10 dan Bab 11) Novel Korupsi Karya Pramoedya Ananta Toer:
BAB 10
Sejak mendapat keuntungan pertama hingga kini kalender dinding kantor yang tergantung di pintu lemari telah sekali diganti dengan yang baru. Dan kalender baru itu pun telah tipis hampir habis.
Kantorku masih tetap aman sebagai sediakala. Juga pegawai-pegawaiku. Juga bangku dan kursi. Hanya terdapat sedikit perubahan: beberapa orang pegawai tambah gaji dan tambah tunjangan untuk anak-anaknya yang baru. Dan untukku sendiri—aku memperoleh tambahan gaji yang jauh lebih banyak daripada biasanya. Kemakmuran akan uang telah membuat aku mendapat kawan-kawan baru dan memasuki pergaulan-pergaulan baru yang tiada pernah kuduga-duga ada sebelumnya. Sirad masih duduk di meja di sampingku. Sikapnya sudah lama berubah terhadap aku. Ia tidak seramah dahulu. Namun aku tak berani melarangnya bila hendak pergi berkuliah atau menyiapkan dri untuk menempuh ujian. Dan sebagai dahulu juga di depannya selalu terletak tumpukan dari tiga atau empat buku. Ke mejanya masih tetap dua lembar hanya kini agak usang.
Perubahan yang sesungguhnya tidaklah ada. rupa-rupanya hanya akulah yang berubah. Dahulu semua ramah terhadap aku dan sebaliknya. Tapi kini aku tidak berani ramah terhadap mereka, takut kalau-kalau tergelincir petunjuk-petunjuk yang bisa menjejaki perbuatanku. Dan karena sikapku yang menarik diri, mereka pun tidak ramah lagi terhadap aku. Bahkan pada kawan-kawan di luar kantor tak berani lagi aku banyak mulut. Mereka mengenal aku belaka, baik sebagai perorangan, maupun sebagai tenaga dan sebagai kemampuan.
Pakaianku sekarang bersih dari wol semua dan cocok rasanya dengan tubuhku yang tak tahan lagi menghadapi udara. Kemeja selalu buatan luar negeri, dan kalau tidak panas, kadang kupergunakan juga jas dan berdasi. Tetapi tidak selamanya, karena panas Jakarta yang keparat itu tidak memberi banyak kesempatan untuk berdendi. Kalau dahulu pulang pergi naik sepeda tua, kini kendaraanku plymouth. Juga aku tidak tinggal di kamar di belakang warung cina, tetapi di sebuah gedung dari dua setengah ratus ribu. Tidak lagi di gang becek, tetapi di pinggir jalan raya yang tenang di deretan gedung-gedung setengah villa di selatan Bogor.
Juga kini aku tidak tinggal bersama anak-anakku beserta mamahnya. Tetapi dengan Sutijah. Jarang sekali aku dapat bertemu dengan isteriku dahulu. Dan perempuan sebenarnya pun tidak aku harapkan apabila tidak terpaksa amat. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan anak-anaknya? Siapa pula yang tidak ingin bertemu dengan isterinya sendiri yang telah dua puluh tahun lamanya meladeni diri? Tetapi uang ini—dia telah membawa aku ke jurusan lain—di urusan yang tidak kuhendaki sendiri—dengan kekuatan yang penuh dan tiada terlawan. Aku masih ingin hidup dengan isteriku yang setia itu, dengan anakku yang cerdas-cerdas. Tetapi bertambah lama jarak itu bertambah jauh, bertambah jauh, jauh. Dan aku kini telah dapat menentukan nasibku sendiri serta apa yang akan datang di kemudian hari: jadi pengembara yang setia dari perasaan ke perasaan, dari ilusi ke ilusi dan dari nafsu ke nafsu—kutukan yang melekat pada jiwaku untuk selama-lamanya.
Tiap kali akan terdengar suara panggilan dari nuraniku, dan suara ini harus kuperturutkan, baik aku rela atau tidak. Dan suara itu begitu manis mendayu-dayu, tiap saat pabila tubuh belum menghendaki tidur. Hati kian lama terasa kian kecil dan tidak sanggup mengimbangi apa pun juga yang ada di luar diri. Ketakutan kian menguasai diri dan tiap kali asal mau dia memencak-mencak riang di dalam dada. Akhirnya tiap tindakan hanyalah usaha untuk menutupi kekecilan hati dan kekecutan.
Perasaan celaka tiap kali meminta perhatianku pabila dapatlah aku kesempatan mentertawakan diriku sendiri karena penduduk di sekeliling rumahku di Bogor amat menghormati aku karena mempunyai perhatian besar terhadap pemberantasan buta huruf, bahkan aku telah menjadi pelindung waktu lebaran menyerahkan beras sekarung kepada panitia zakat fitrah, waktu terjadi kebakaran menyerahkan uang lima ribu untuk para korban, dan sekiranya aku mempunyai perusahaan, maka semua surat kabar akan kuberi iklan tiap bulan tujuh kali agar mereka tak coba-coba membongkar rahasiaku.
Inilah keadaanku sekarang. Inilah diriku yang mentertawakan diriku sendiri pula. Dan barangkali orang-orang lain telah mulai mentertawakan.
Kedamaian dan ketenangan yang dahulu begitu membahagiakan kehidupan berumah tangga bersama anak-anak dan biniku kini telah hilang, mungkin juga untuk selama-lamanya. Kesederhanaan hati telah terbakar punah. Yang tinggal adalah keriuhan, seperti pernah kuketahui bersarang dalam hati Sutijah sebelum kami kawin. Rupa-rupanya sekali telah melangkahkan kaki di gelanggang korupsi, orang tak ada melihat jalan kembali. Ingin aku mengetahui bagaimana tingkah lakuku pabila mendapat kesempatan menjadi menteri yang bertugas untuk memberantas korupsi. Pasti ini merupakan peperangan yang hebat—tetapi lebih banyak memerangi keluar dan melindungi ke dalam. Atau mungkin juga aku harus cepat-cepat angkat kaki dari jabatanku, atau mempergunakan kesempatan itu untuk menolong diri sendiri. Tetapi yang akhir ini aku kira tidak mungkin, karena akhirnya jiwa tambah kacau balau, dan mungkin dalam sebentar waktu terus menjadi gila dan mati di rumah sakit Grogol sebagai binatang ajaib yang bisa bicara.
Bila malam tiada bisa aku memejamkan mata dan dalam jas kamar terhuyung-huyung bangun, kadang kuhafalkan wajahku di cermin dan aku dapati di situ manusia lain yang bukan diriku beberapa tahun yang lalu. Kerut mirut yang melingkungi mata seperti gelang-gelang pesakitan seratus tahun yang lalu. Kejapan mataku seperti maut yang mengimbau-imbau dari kejauhan. Dan bila pandangku kujatuhkan pada Sutijah yang tergolek di bawah selimut dan di sana sini membuat pegunungan dengan bayang-bayang tubuhnya aku bertambah tidak mengerti apa yang sesungguhnya telah terjadi atas diriku.
Hal yang segila-gilanya telah pula terjadi. Apabila Sutijah pergi ke kota—ke Jakarta—sebentar kemudian datang sedan baru dari Jakarta, dan turun seorang wanita setengah tua tetapi masih molek, dengan tingkahnya yang manis mengajak aku mengobrol, kemudian mengeluarkan album yang berisi potret wanita-wanita muda dan agak tidak muda lagi, semua hanya dengan kantung dada. Mas—ia selalu memanggilku demikian. Mas boleh ambil kalau jeng Sutijah sedang terlena. Ini isteri propesor, ini isteri anggota parlemen. Terus disebut pangkat-pangkat itu, dari kolonel hingga kapten. Dan bukan main kagetku waktu ada melihat potret yang sering kulihat di surat kabar sebagai wanita gesit yang memperjuangkan emansipasi kelaminnya. Ah, tidak usah membayar, karena itu memang bukan tujuan kami, cukup kalau orang itu punya mobil dan kelas satu, karena adanya mobil akan melenyapkan bukti-bukti dan saksi. Mas bisa setir sendiri, bukan?
Wanita ini tak mau menyebutkan nama mereka tanpa ada perjanjian terlebih dahulu. Hanya menyebutkan, bahwa pria-pria berpangkat tak mau ketinggalan ikut menceburkan diri dalam gerakan “muda kembali” ini. Dan syarat pertama: punya mobil.
Untuk ketiga kalinya ia datang, dan waktu ternyata aku belum juga memberikan jawaban, ia—dan tiada pernah aku duga-duga—mengancam dengan suaranya yang lunak dan lemah-lembut. Bila Mas tidak ikut, nah, mas dalam beberapa hari ini akan bangkrut, karena semua orang tahu tidak ada warisan apa-apa yang ditinggalkan orang tua mas untuk mas.
Aku minta keterangan bagaimana caranya membangkrutkan daku. Dan ia menerangkan dengan senyum yang rela: mas, kami ini adalah golongan tersendiri dalam masyarakat yang memperoleh kebahagiaan dan kekayaan dari uang negara. Kami mengerti kegoyahan nasib kami, karena itu harus diadakan ikatan yang lebih mendalam, lebih lagi dari hati ke hati, agar dengan demikian antara kami tak ada rahasia lagi, antara kami tak ada pengkhianatan lagi, dan antara kami bisa dinikmati segala-gala yang mungkin.
Keterangan itu membuat aku mengerti dan sekaligus juga mengikatkan daku pada pergaulan dan lingkungan baru. Ah, segala-galanya yang sekiranya bisa memberi pegangan dan jaminan keselamatan akan kuraih—hanya untuk menunda datangnya keruntuhan, sedangkan keruntuhan itu sendiri telah kuketahui akan datang juga. Namun aku tak mau runtuh atas kehendakku sendiri. Kekuasaan dari luar harus meruntuhkan daku. Dan biarlah aku runtuh—keruntuhan yang semestinya dialami oleh tiap orang. Mungkin juga keruntuhan yang diikuti oleh keruntuhan hidupku.
Pengalaman yang akhir-akhir ini menyebabkan jiwaku menjadi bolong. Dan untuk menyembuhkan kebolongan ini berbotol-botol minuman keras habis meruap setelah sebentar melalui kerongkongan. Dahulu belum pernah aku menjamahnya—dahulu dalam hidup berumah tangga dengan anak-anak isteriku.
Di malam-malam di kala hari begini sunyi, dan diri tak berani meninggalkan rumah, tidak jarang aku berjam-jam termenung di salon sambil menghabiskan berbatang-batang cerutu. Inilah aku sekarang dalam gudang kemewahan dan harta benda. Inilah aku yang telah insaf akan datangnya keruntuhan. Inilah aku dikutuki menjadi pengembara dari perasaan ke perasaan, dari ketakutan ke ketakutan. Dan juga inilah aku yang setiap saat siap mengikuti panggilan nyaring yang terdengar di hati. Inilah aku....
BAB 11
Pada suatu hari kembali aku masuk bekerja. Sirad sudah lama duduk di bangkunya membaca buku. Demikian terpikat sehingga tak dilihatnya aku masuk ke dalam.
“Tidak ada surat?” tanyaku.
Ia letakkan bukunya. Mengangguk, kemudian bangun dari duduknya.
“A, sudah datang, pak?” Bukan main sakit hatiku mendengar pertanyaan seperti itu. Ah, tiap hari aku merasai sakit hati sekalipun mungkin orang tidak berbuat dengan sengaja.
Sirad meneruskan:
“Sudah lama kutunggu-tunggu, pak. Banyak surat yang tak dapat diurus. Dan aku tak tahu di mana bapak tinggal. Sudah seminggu....”
“Ah, ya, urusan di luar kantor banyak sekarang.”
“Aku tahu juga itu. Urusanku di luar kantor juga banyak, karena itu aku mengerti.”
“Menyiapkan konperensi yang akan datang,” kataku lagi.
“O ya. Baru ingat aku. Di Makasar, bukan?” Aku mengangguk.
“Dan menyiapkan turne,” sambungku.
Untuk kesekian kalinya aku lihat ia tersenyum padaku. Tapi untuk sementara ini pemuda itu takkan menyebabkan datangnya keruntuhanku. Aku percaya pada budiku yang kutumpahkan padanya, dan dia takkan berbuat apa-apa karena hutang budi itu. Tidak! Sekalipun ada kurasai di hatiku sendiri keruntuhan yang sebongkah demi sebongkah.
“Kemarin aku bertamu lagi, tetapi bapak masih juga tidak ada. Tak tahulah aku di mana bapak bisa kutemui di waktu-waktu aku membutuhkan.”
“Ah, ya, di waktu-waktu belakangan ini aku harus banyak ke luar rumah. Pikir saja, mengurus pemberantasan buta huruf di wilayahku, memimpin rapat kematian, menguruskan tunjangan untuk para korban kebakaran....”
“Pak,” katanya sungguh-sungguh, kesungguhan yang menggoncangkan hatiku, “kita sudah sama-sama dewasa dan tahu kewajiban.”
Ancaman itu terasa ditetakkan lurus-lurus pada buah hatiku.
“Apa maksudmu?” tanyaku hebat, berani dan tajam menutupi kekecilanku sendiri.
“Aku sudah sering datang ke rumah, dan ibu bilang—sudah lama bapak tak pulang. Lebih setahun, katanya.”
Aku tergagap-gagap, tetapi jawaban yang sesungguhnya tidak mau keluar dari mulutku. Kurebahkan diri di atas kursi kedudukanku, menarik nafas panjang. Kemudian barulah keluar suara dari mulutku, lemah-lembut dan minta perhatian:
“Banyak orang yang bertanya demikian kepadaku. Karena itu aku heran kalau engkau yang sesopan itu ikut bertanya pula. Itu adalah urusan rumah tanggaku, dan aku kira tak ada orang berhak ikut campur tentangnya.”
“Ah, bapak ini. Apakah bapak pikir orang dapat menceraikan pekerjaan kantor dengan rumah tangganya? Tanpa pekerjaan kantor rumah tangga tidak bangun, atau setidak-tidaknya akan berantakan, ini untuk pegawai seperti kita. Apakah yang tidak campur aduk dalam hidup ini, pak?”
“Sekalipun engkau benar aku tak sudi bicara tentang rumah tanggaku.”
“Barangkali terlampau banyak rahasia bapak simpan di sana,” katanya mulai mendesak dengan kurang ajarnya. “Tapi aku banyak mengetahui rahasia itu, sehingga bapak sesungguhnya tak perlu lagi bercerita tentangnya.”
“Bicara saja tentang pekerjaan kantor.”
“Memang itulah kumaksudkan, pak. Bapak terlalu sering mengabaikan kantor. Pekerjaan menjadi berantakan dan dari daerah-daerah datang protes dan keluhan kelambatan pesanan.”
“Toh mereka bisa tunggu!” Sesungguhnya kemarahanku yang terlatih menjolak, kini meluap dan menjolak pula. Raungan garang terdengar: “Mereka bisa tunggu aku.”
Sirad berdiam diri oleh kemarahanku itu. Aku tahu benar bahwa ia takkan dapat berbuat apa-apa untuk menggulingkan diriku dari kedudukanku. Ia duduk lurus-lurus di atas kursinya dan meneruskan bacaannya. Tetapi kemarahan telah menguasai diriku seluruhnya. Segera aku berdiri lagi dan berjalan mondar-mandir di depan meja.
Tiba-tiba pintu diketuk dan opas nampak dari kiraian pintu.
“Pak, ada tamu,” opas memberitakan dari kiraian.
“Persetan dengan tamu.”
Pintu tertutup kembali dan kuteruskan mondar-mandirku. Aku lihat Sirad menulis sesuatu di atas sehelai kertas, kemudian catatan itu disimpannya di dalam kantongnya.
Kembali pintu diketuk, dan sekali lagi opas muncul di kiraian.
“Pak, ada surat dari tamu.”
Dengan sendirinya saja tanganku menerima surat itu dan membuka. Isinya: lima ratus rupiah dengan sedikit tulisan—kalau diperkenankan kami hendak menghadap. Segera surat kumasukkan ke dalam kantong dan menyemburkan perintah pada opas:
“Tidak terima tamu.”
Pintu tertutup dan ia hilang dari pemandangan. Waktu tegakku kubalikkan menghadap ke kursiku, nampak olehku Sirad sedang membuat catatan kembali. Syak mulai menggantikan kemarahanku. Aku dekati dia dan mengintip tulisannya. Cuma beberapa patah kata dapat terbaca olehku, itu pun dalam bahasa asing dan tak ada bahasa asing yang kufahami selain Belanda. Karena itu mengamuklah cemburu hatiku bergumul bersama syak.
“Engkau membuat catatan tentang diriku?” tanyaku.
“Sekiranya benar, bukankah tidak ada yang melarang?”
“Untuk siapa catatan ini?”
“Ini cuma catatan untuk melengkapkan ikhtisar.”
“Jangan dikira aku tidak bekerja sebaik-baiknya untuk keberesan kantor ini. Tidak ada seorang pun dapat menggulingkan aku.”
“Oh, itu aku mengerti. Untuk itu memang dibutuhkan hubungan batin yang kuat. Hubungan batin seperti itu tak ada padaku. Lagipula tak ada kedengkian di dalam hatiku untuk menggulingkan. Di sini aku banyak belajar dan mengetahui.”
Kembali pintu terketuk dan tampang opas yang menyebalkan itu muncul kembali di kiraian.
“Pak, ada tamu lagi,” katanya sambil mengulurkan amplop baru.
Kuterima amplop itu dan kubuka isinya. Seribu lima ratus rupiah, dengan surat di dalamnya: “kalau tuan tidak sempat menerima, baiklah nanti sore kutemui di rumah.” Amplop itu kumasukkan ke dalam kantong, sedang suratnya aku robek-robek. Kemarahanku—aku tidak tahu—lenyap dan dengan gangguan syak yang tidak juga mengendur pelahan aku menuju ke kursi kembali. Terdengar olehku tertawa Sirad yang sengaja diperdengarkan. Dan waktu kupandang dia, tertawanya kian disengaja. Dia mengerti kataku. Memang bodoh aku kini tiap orang kuanggap tidak mengrti apa yang kukerjakan. Tiap saat aku harus menghibur diri, bahwa tak ada orang yang mengerti apa yang sesungguhnya yang telah aku perbuat.
“Sekarang, apa yang bisa kuperbuat, pak?” katanya kemudian.
Kupandang dia dan dia memandang aku begitu tajam dan jernih sehingga aku terpaksa menghindarkan mataku. Kemudian ia bicara pelahan:
“Baiklah. Pasti akan kukerjakan sendiri apa yang wajib aku kerjakan.”
“Engkau mengancam aku?”
“Apakah sebabnya aku mengancam?”
Aku diam lagi dan merenung lama-lama. Aku harapkan opas itu muncul kembali agar aku tahu apa yang seharusnya kukerjakan sekarang untuk menghindarkan diri dari campur aduk yang menggilakan. Tetapi ia tidak muncul lagi. Ada datang pikiran hendak membagi rejeki hari ini dengan Sirad, tetapi aku tak berani, takut kalau-kalau ia lebih-lebih lagi mendapat bukti. Dan seperti dengan sendirinya saja kuambil aktentas diplomatku yang tebal itu dan siap meninggalkan kantor.
“Bagaimana dengan surat-surat yang tertunda?” tanya Sirad.
“Mereka boleh tunggu.”
“Baiklah.”
Sebelum meninggalkan ruangan kerja kulihat jam. Satu jam lagi, dan aku baru dapat mengunjungi Mariam—salah seorang anggota organisasi orang-orang semacam aku, dalam kesulitan seperti aku pula.
Lambat-lambat aku meninggalkan kantor dan menuju ke mobilku. Tetapi ada suatu perasaan yang menyuruh aku balik kembali. Sekali ini kuperturutkan lagi suara di dalam hati itu, dengan tangan kiri menjinjing tas diplomat dan tangan kanan tertekuk di belakang badan—lambat-lambat, tiada bertujuan.
Di kalau aku sampai di depan pintu ruanganku terdengar berbagai macam suara yang berkobar-kobar: di dalam ruangan kerjaku. Berdengung-dengung silang-siur. Berisi hasutan satu sama lain. Aku pandangai pegawai-pegawai yang masih duduk di tempatnya masing-masing di luar ruanganku. Mereka segera menghindarkan pandangnya masing-masing dan meneruskan pekerjaan. Hatiku berdentaman. Apakah yang terjadi sekarang? Sambil memandangi pegawai-pegawai yang sedang bekerja kupingku kupertajam dan ternyata mereka sedang berunding untuk menentukan nasibku sebagai kepala bagian. Aku tidak boleh mengalah pada putusan mereka, teriak hatiku. Aku harus hancurkan mereka, terdengar jawaban atas teriakan hatiku.
Kembali aku mendengarkan. Dan kini suara-suara mulai teratur.
“Sudah kenyang makan uang negara. Harus disimpan di rumah besar.”
“Sabar-sabar. Kita harus cari bukti.”
Kemudian suara-suara itu kembali menjadi campur-aduk sehingga tak dapat lagi aku menangkap sepatah kalimat yang teratur.
Kehancuran belum tiba hari ini. Aku masih sanggup menghancurkan mereka. Tak ada bukti kekurangan uang di kas. Tidak ada bukti pemalsuan kuitansi. Semua beres. Ha, aku lebih cerdik daripada mereka semua. Mereka takkan ada alasan untuk menggugat! Mereka tidak berani menggugat! Negara masih sibuk dengan gerombolan.
Dengan keteguhan hati dan kenekadan yang membuta aku pun segera melompat ke dalam. Orang-orang yang ada di dalam terkejut, memandangi aku sebentar bahkan di antaranya hanya menunduk, kemudian seorang demi seorang keluar seperti domba meninggalkan kandangnya di pagi hari.
“Apa yang terjadi?” tanyaku pada Sirad.
“Kami sedang menyusun tenaga untuk memberantas korupsi.”
“Siapa di kantor ini yang berkorupsi?”
“Itulah yang sedang kuselidiki.”
“Adakah uang kas kurang?”
“Tentang itu aku kira bapak lebih mengetahui daripada aku.”
“Apakah mereka menuduh aku melakukan korupsi?”
“Mungkin juga.”
“Jangan menuduh aku sembarangan kalau tidak ada bukti nyata.”
“Mungkin aku pun tertuduh.”
“Engkau mau menghibur aku?” tanyaku berangsangan.
“Apakah kesulitan bapak hingga aku terpaksa menghibur?”
Aku kehabisan perkataan. Dalam luapan berangsang itu tak tahu lagi aku apa yang harus kuperbuat. Hanya tas diplomatku kulemparkan ke mejaku.
“Aha, kita sama-sama dewasa, tua malah, untuk mengerti seluk-beluk kejadian,” Sirad berkata pelahan pada diri sendiri. Aku pandangi dia, dan ternyata ia memandangi aku dengan senyuman iblis melingkungi mulutnya. Teranglah kini bagiku bahwa setan muda ini akan memasang aku lagi ke dalam ranjau tersedia bagiku.
“Tiap orang, mau tak mau,” Sirad meneruskan. Dan aku merasa disindir mentah-mentah.
“Apa maksudmu?”
“Ah, aku sedang menghafal beberapa bait dari sandiwara Shakespeare.”
Aku tak tahu tentang sandiwara, juga tak pernah membaca karangan Shakespeare. Itu pula yang menyebabkan aku merasa kecil berhadapan dengan setan muda ini dengan kata-katanya yang langsung ditusukkan padaku, dan dengan alasan-alasan yang aku tak dapat menolak ia bisa artikan lain.
Lama kelamaan setan muda ini sungguh-sungguh menggilakan ucapan-ucapannya. Dan karena tak mengerti apa yang harus kuperbuat selanjutnya kuambil kembali tas diplomatku dan dengan kepala menunduk menuju ke pintu. Bukan main amarahku ketika kudapati beberapa pegawai menggerombol di depan pintu ruangan kerjaku.
“Apa kalian perbuat di sini?” gertakku dengan kemarahan yang kehilangan kendali.
Mereka bubar dan menuju ke tempatnya masing-masing dengan tiada bicara sepatah pun.
Aku merindukan masa dahulu sewaktu tiap kepala kantor ada kekuasaan untuk melepas pegawainya. Tapi kekuasaan seperti itu kini tidak ada lagi. Barangkali juga ada, tetapi aku tak tahu. Dan pabila masa dahulu itu datang kembali, pegawai-pegawai itu pasti aku usir di waktu ini juga. Sungguh sayang. Tapi, yah, kepala kantor jaman sekarang seperti aku ini belum lagi mampu membuat laporan, bahkan tidak pernah mengetahui pentingnya laporan yang diterima dari bawah. Aku ingat beberapa laporan yang pernah kuterima, kubaca, kemudian hanya menjadi bahan dongengan di luar kantor. Dan kini tahulah aku apa harganya laporan, tetapi semua sudah terlambat. Aku sendiri tak bisa membuat untuk kuteruskan ke tempat yang lebih atas lagi. Dan semua itu membuat aku insaf, bahwa aku sesungguhnya tidak tahu apa-apa tentang kewajibanku sebagai kepala bagian yang berhak mengeluarkan uang jutaan rupiah. Tambah lama tambah terasa akan kegoyahan kedudukanku. Juga tambah teranglah kini, bahwa Sirad itu jelas merupakan ancaman bagi kedudukanku. Sebenarnya ia harus kuperlakukan secara lemah-lembut dan mempergunakan kepalanya untuk mempertahankan kedudukanku. Aku sungguh-sungguh bodoh memperlakukan begitu kasar beberapa waktu yang akhir-akhir ini. Ia tak punya hubungan apa-apa dengan pihak atasan dan karena sementara ini tak bisa dengan langsung menggugurkan daku. Dan kekuasaan seluruh pegawai bawahannya tidak kuasa meruntuhkan daku, sekalipun mereka berteriak sekeras sekampung gajah.
Dengan perasaan sebal aku pun menuju ke plymouthku. Sebentar kemudian rodanya berderak menggiling pelataran dan akhirnya lenyap ke dalam keriuhan lalu lintas.
Tiba-tiba sopir di depanku bertanya dengan kurang ajarnya:
“Mobil siapa ini sebenarnya, pak?”
“Engkau lagi,” gerutuku.
Dahulu aku selalu membanggakan bisa memiliki mobil. Sekarang untuk pertama kalinya aku tak berani mengakui lagi. Dan menjawab: “Tentu saja kepunyaan kantor.”
“Sudah kuduga juga,” katanya dengan sabarnya, “mesti kepunyaan kantor.” Kemudian dibukanya gas banyak-banyak dan mobil terbang di jalan raya yang agak terluang itu. Kata-katanya yang diucapkan dengan sabar itu sangat menyedihkan hatiku. Selama itu tak pernah ia bertanya mobil siapa yang disopirinya. Juga pertanyaannya merupakan bagian keseluruhan dari kejadian-kejadian tadi.
“Ke mana, pak?” ia bertanya. Suaranya hambar tiada mengandung semangat.
Aku tak mengerti mengapa ia berubah amat hari ini. kudekatkan tubuhku padanya dan berbisik dengan suara hambar pula: “Ka...nan.”
Timbul saja kecurigaanku bahwa ia ikut bersekongkol dengan pegawai-pegawai lainnya. Dan bila demikian halnya, dialah biang keladi yang bisa bercerita banyak tentang kehidupan baruku, rumahku, bini baruku, hubunganku, perkumpulan zinahku—pendeknya segala-galanya. Kalau ada keberanian padaku, pasti kupukul kepalanya biar berdua kita membentur apa saja dan mati dalam kecelakaan lalu lintas. Tapi keberanian seperti itu tidak ada padaku. Dan apa yang dahulu kuanggap keberanian itu tidaklah lain daripada kebulatan nafsu yang tiada dapat ditahan lagi. Keinsafan ini membuat aku tambah mengerti bahwa diriku ini sebenarnya hanya gudang nafsu. Mau aku menghibur diriku bahwa aku sebenarnya masih lebih baik dari penjahat-penjahat lain, pembunuh atau pengkhianat, bahkan di jaman pendudukan aku tak pernah ikut menggampangkan kembalinya kekuasaan Belanda. Tetapi hiburan semacam itu tidak memberi kedamaian jiwa yang kekal dan yang sering aku alami paling-paling bisa menghibur dalam lima menit atau paling banyak dalam sehari.
Tiap hari aku harus menunda keruntuhan ini dengan tingkah sekena-kenanya. Dan lihatlah, kali ini aku dengan sikap yang agung kukeluarkan uang selembar dari dua ratus lima puluh rupiah dari amplop dan kuulurkan ke samping kursi si sopir.
“Ambillah ini. Untuk beli beras di rumah,” kataku.
Tangannya yang kanan menerima, melihat uang kertas itu sebentar dan selintas kemudian memasukkannya ke dalam kantong.
“Terima kasih,” katanya lagi. “Biniku akan girang menerima hadiah sebesar gaji ini. Terima kasih banyak-banyak.”
Kulemparkan tubuhku ke sandaran dan mendudukkannya dalam-dalam. Alangkah nikmat mempunyai mobil besar dan kuat menggaji sopir pula. Sebagus ini, semulia, setenang, seempuk dan seayun begini—seperti dalam mimpi. Mataku kututup. Tidak berani aku melihat lalu lintas, padahal dua tiga bulan yang lalu lalu lintas ini selalu menjadi bulan-bulan mataku untuk mengetahui siapa-siapa yang memperhatikan daku.
Pikiranku bekerja lagi. Harus aku korek isi hati sopir celaka ini.
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku setelah mendekatkan kepala pada tempat duduknya.
“Tentang bapak?”
“Ya,” kataku memberanikan.
“Siapa maksud bapak?”
“Siapa saja.”
“Orang-orang kantor?”
“Ya, orang-orang kantor.”
“Hh, ah, tidak apa-apa, pak. Tidak pernah dengar.”
Jawaban itu memperkuat dugaanku bahwa ia memang tahu apa-apa tentang diriku.
“Sebenarnya aku bisa bersikap lebih baik kepada mereka,” kataku kemudian, “tetapi mereka tidak mengerti maksudku.”
“Hhh.”
“Apa kata mereka tentang diriku?” tanyaku lagi.
Lama sopir itu tidak menjawab. Ia nampak gugup. Ia terdesak. Untuk menyemprunakan kekecilannya, kuulangi persenku. Sekali ini dengan uang seratus rupiah.
“Apa mereka pikir aku berkorupsi?”
“Tidak tahu, pak.”
“Aku tahu engkau tahu banyak tentang sangkaan-sangkaan salah itu.”
“Betul tidak tahu, pak.”
“Aku tidak berbuat apa-apa terhadapmu. Engkau cuma bercerita tentang kabar-kabar yang engkau dengar. Habis perkara. Bicara saja terus terang.”
Tapi ia tak juga mau bicara. Di depan sebuah restoran ia kuperintahkan berhenti.
Kuajak ia sama-sama makan. Dan waktu bestelan datang kami mulai makan. Ia dengan malu-malu dan kaku, tetapi aku bersikap seramah mungkin hingga akhirnya berkuranglah keseganannya.
“Apa kata mereka tentang aku?” tanyaku lagi setelah ia mengakhiri bagiannya.
Ia tersenyum sambil menunduk, kemudian pelahan-lahan memulai:
“Bapak memang disangka korupsi.”
“Apakah yang mereka pergunakan sebagai bukti?”
“Rumah di Bogor, kata mereka. Mobil. Hubungan dengan perusahaan-perusahaan asing.”
“Dan hidup besar dan amat royal.”
Sekarang pertahanan murah yang sudah lama aku persiapkan mempunyai alasan untuk dilahirkan. Mula-mula kudengarkan tertawa meyakinkan, dan kemudian:
“Orang-orang itu enak saja menuduh orang berkorupsi. Kadang-kadang seorang opas yang bisa beli cincin setempel pun dianggap telah berbuat begitu juga. Tetanggaku—seorang mandor,--waktu menyunatkan anaknya menanggap ronggeng. Tamunya banyak sekali, dan keesokannya terdengar dakwaan yang itu juga.”
“Ya, sekarang memang musim mendakwa,” sopir itu mengiakan. Dan hatiku lega sedikit.
“Dan tentang aku... kalau orang tahu bagaimana dahulu orang tuaku....” Aku tunggu ia bertanya, tetapi ia tidak melakukannya. Terpaksa aku teruskan ceritaku: “Orang tuaku adalah kaya, mempunyai perusahaan pembakaran kapur dan pabrik tegel di Yogya dan Gunung Kidul. Dan kakekku....” Kembali aku tunggu pertanyaannya, tetapi dia tak bertanya juga. “Tahu kakekku?”
“Tentu saja tidak, pak.”
“Dia petani kaya di Purwokerto.”
“Di Purwokerto memang banyak petani kaya.”
“Dua ratus hektar sawahnya.”
“O.”
“Orang-orang itu akan salah duga kalau mendakwa aku melakukan korupsi.”
“Tentu saja salah duga.”
Sekarang datang giliranku untuk bertanya, dan kesempatan sebaik itu takkan kubiarkan hilang percuma.
“Apa mereka akan perbuat terhadap diriku?”
“Mereka mau membuat penyelidikan.”
“Mengertilah aku sekarang. Jadi engkau juga ikut menyelidiki aku?”
“Hhh, sebenarnya aku tak tahu apa-apa, pak. Aku takut sama mereka, jadi....”
“Tidak ada gunanya!” Aku tertawa menghinakan. “Mereka menyangka aku berkorupsi!” Kembali aku memperdengarkan tertawa pendek yang menghinakan.
Sopir itu menyeka mulutnya. Tak tahu lagi ia di mana pandangnya harus ditujukan.
Dan aku meneruskan tetakanku:
“Tidak ada gunanya menyelidiki aku. Dan engkau?”
“Mengapa, pak?”
“Engkau juga ikut mendakwa aku?”
Ia tergagap-gagap, buru-buru menelan ludah, mengintip aku sekilas dalam tunduknya.
“Tidak, pak, tidak. Betul, pak.”
“Sebenarnya mereka tak perlu menuduh-nuduh. Mereka bisa pergi kepada polisi dan mengadukan halku. Itu lebih gampang,” gertakku. Tahu benar aku, bahwa gertakan itu akan melenyapkan dakwaan yang bukan-bukan. Mereka takkan berani mengadu kepada polisi karena mereka pun takut berhubungan dengan polisi dan mendapat kesusahan karenanya.
Tapi sekiranya mereka kerjakan juga, habis tandaslah riwayatku. Aku lihat sopir itu mulai percaya pada kejujuranku.
“Mereka boleh hitung uang di kas, dan berapa yang hilang aku pergunakan. Tidak, sopir, yang pegang uang bukanlah aku tetapi kasir. Dan sekiranya ada korupsi hanya kasirlah yang bisa mengerjakan.”
Sopir itu memandangi aku. Kemudian bertanya:
“Pak, kalau aku mewarisi harta benda sebegitu banyak aku takkan bekerja.”
Mula-mula terkejut juga mendengar itu. Tetapi kala kuketahui bahwa ia bicara tentang dirinya sendiri, dan sama sekali bukan tentang diriku, kusambutlah ucapannya itu dengan:
“Pir, pir—kan engkau tahu kekayaan tidaklah banyak berguna kalau diri tidak punya pangkat. Itu memang ajaran orang tuaku dahulu. Karena ajaran itu telah menjadi kepercayaan sendiri—uah, inilah sebabnya aku menjadi pegawai.”
Ia mengangguk, hormat, malu, takut sekaligus.
Legalah hatiku melihat kemenanganku. Besok ia akan berbicara tentang kebaikanku, lusa ia akan membimbangkan kebenaran dakwaan kawan-kawannya, dan tiga hari kemudian ia akan membela aku. Tapi bagiku sendiri, hari depan yang kian goyah kian terbayang. Tidak bisa! Sungguh tidak bisa diri harus mengerjakan pasukan kebohongan untuk memerang kekuasaan bahan-bahan kenyataan. Kini kenyataan itu belum lagi diketahui orang, dan keadaan itulah sebenarnya hidupku, seluruh hidupku kini.
“Sekali-kali ingin juga aku datang ke rumahmu.”
Ia nampak gembira. Aku mengerti, itu suatu kehormatan bagi keluarganya.
“Terima kasih kalau bapak sudi. Kapan datang, pak?”
“Besok atau lusa. Kalau ada tempo aku kabari.”
Kupandang jamku. Ternyata masa untuk datang ke perkumpulan perzinahan telah beberapa menit lewat. Tapi itu bisa ditunda beberapa jam, pikirku. Dalam hal demikian selamanya ada waktu untuk menunggu dan ada waktu untuk ditunggu. Tapi waktu ini sopir ini harus diisi dahulu. Sopir-sopir ini adalah makhluk yang paling celaka, dia jadi biangkeladi dari keruntuhan orang besar. Dia juga biangkeladi dari keruntuhanku. Ah, sekalipun mau bergerak bagaimanapun juga dunia ini kian lama menjadi sempit. Gunting ini lambat laun kian mendekatkan matanya untuk membagi orang ke dalam dua bagian. Sebaliknya aku harus segera membeli villa di Puncak.
Tata usaha tanah sudah lain di sana, dan tidak mungkin ada pengawasan orang. Di Jakarta membuka perusahaan. Mobil akan memperdekat jarak Puncak-Jakarta. Dan orang akan kehilangan jejak. Atau aku beli kebun dan sawah banyak-banyak. Orang desa suruh mengerjakan. Panen bagi dua, dan habis perkara.
Di atas mobil kegelisahanku makin menjadi. Dahulu, kalau aku kuasa, semua oramg yang ada di jalan akan kusuruh lihat diriku dalam mobil-baruku. Kini aku mati ketakutan kalau orang tahu ini mobilku sendiri. Dahulu besar hatiku pabila bertemu dengan kawan lama, tapi kini adalah sebaliknya. Mereka juga biangkeladi yang bisa menjejaki semua-muanya. Kalau aku punya barisan bersenjata seorang demi seorang di antara mereka harus kubunuh agar di atas bumi ini tidak ada saksi lagi darimana asalku. Ah, banyak orang tiba-tiba merupakan musuhku. Ribuan orang seakan-akan mengintip segala tingkah lakuku. Dan mungkin dengan tidak setahuku mata-mata polisi atau garong telah membuntuti daku ke mana pun juga aku pergi.
Bertambah lama kurasai diriku seperti kanak-kanak yang berusaha sekuat mungkin menyembunyikan rapornya dari mata orang tuanya. Tapi akhir-akhirnya orang tua itu ingat juga dan minta lihat buku rapor itu.
Waktu mobil baru distater seorang menjenguk ke dalam mobilku. Bukan main terkejutku, terutama waktu ia membuka mulutnya.
“Ha, sudah punya mobil segala kau sekarang. Hh, tuan besar rupanya.”
Kalau tidak malu, kuteriakkan perintah pada sopir untuk memberi gas secepat mungkin. Tapi orang di jendela mobil ini adalah kawanku, dahulu, beberapa tahun yang lalu. Dia juga biangkeladi dari keselamatanku. Dan aku tak mau berhubungan dengan biang-biang penyakit. Jadi:
“Maaf, aku tak ada tempo,” kataku.
Dan mobil menderum lagi.
Itulah duniaku yang sempit ini. Inilah jantungku yang terus menggigil oleh ketakutan dan kecurigaan. Mengapa aku harus hidup dalam ketakutan dan kecurigaan selalu? Dahulu, waktu masih di sekoilah, guru selalu bilang bahwa orang ini dilahirkan untuk berbahagia. Ah ya, inikah kebahagiaan? Kutengokkan pandangku melalui kaca belakang. Kawan lama itu masih nampak memandangi aku dengan air muka tiada mempunyai kesan apa-apa. Barangkali ia terkejut. Apa? Hampir-hampir aku tak berani melihat lagi. Di sana lagi isteri dan keempat anakku sedang berjalan. Ya, memang nampak lebih miskin daripada dahulu. Tetapi mereka tidak terus menggigil sebagaimana aku sekarang. Mereka dirahmati kesederhanaan hati. Mereka tidaklah menjadi korban hawa nafsunya sendiri. Dan hawa nafsuku ini—dia cuma berhenti kalau diperhentikan dengan paksa. Diriku hanya hamba lemah yang mengabdi kepadanya. Tambah lama ini tambah terasa. Perasaan murni seorang tua terhadap anak-anaknya tak dapat dibohongi lagi dengan kebesaran-kebesaran yang diperolehnya. Ah, bukan aku tak mau mengakui mereka anak-anakku—bukan aku tak mau tahu mereka—bukan aku tak mau mengongkosi mereka, tetapi bagaimanakah aku harus memulai semuanya itu? Bagaimana? Kembali kupandangi isteriku dan keempat anakku. Mereka sebagai makhluk-makhluk lain yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia, dengan nafsu dan dengan keinginan-keinginan. Dan waktu meeka hilang di balik gedung-gedung yang berderet di sepanjang jalan, dapatlah aku mengetahui, bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia, hanya saja aku yang tidak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri. Tambah lama aku tambah tak tahu di mana sebenarnya tempatku di dalam masyarakat ini. Dan, apakah harganya lagi manusia ini terlepas dari segala hubungan di dalam masyarakatnya? Apakah harganya lagi! Dan aku tak tahu di mana tempatku sendiri. Aku! Yang dahulu selalu menyadari sebagai manusia yang selalu menghamba pada kebaikan dan kebajikan, juga tahu tempatku ada di suatu pojok masyarakat dan selalu menjanjikan budi. Kadang-kadang nyanyian itu ada terdengar oleh orang, ia mendengarkan dan mengiakan. Dan hatiku senang. Akhirnya aku dahulu tiada lain daripada penyanyi, dan tiap malam mendengarkan dengan kepatuhan lagu yang membubung dari pujaan budi. Kini nyanyian itu telah padam. Seorang penyanyi yang tidak sanggup lagi menyanyi! Tidak bisa menyanyi lagi karena memilih kegiatan lain, dan untuk selama-lamanya kehilangan kepandaiannya menyanyi, bahkan nyanyian itu sendiri.
Tahulah aku kini: untuk memperoleh uang dan kemewahan ini aku telah kehilangan segala-galanya. Juga harapan orang tuaku dahulu beserta pendidikannya kini telah lenyap! Yang tinggal hanya kesempatan untuk memulai jalan baru kembali: tetapi untuk itu umurku yan telah tua ini tidak memungkinkan. Keberanianku bertambah habis....
sumber artikel: http://infokorupsi.com/id/sastra.php?ac=Novel/24&l=novel-korupsi-karya-pramoedya-ananta-toer
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa menuliskan sedikit komentar ya....? banyak juga boleh..........thanks.....