Harga: Rp. 100 rb (blum ongkir)
Judul Buku : Student Hidjo. cetakan pertama 2010
Pengarang : Mas Marco Kartodikromo
Penerbit : Narasi
Jumlah halaman : 140
Tak Hanya Soal Perkawinan atau Perjodohan, Tapi Melawan Penjajahan
Membaca novel yang ditulis hampir satu abad yang lalu, seperti
Student Hidjo karya Marco Kartodikromo ini tentu membutuhkan banyak
referensi terutama sejarah agar pembacaannya menjadi kaya dan menemukan
keindahan dari ungkapan kata-kata maupun setting yang digunakan.
Student Hidjo pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Surat Kabar
Harian Sinar Hindia tahun 1918. Diterbitkan pertama kali oleh
N.V. Boekhandel en Drukkerij Masman & Stroink Semarang,
1919. Kini diterbitkan kembali oleh Penerbit Bentang Yogyakarta justru
tanpa tahun. Entahlah kenapa. Walau begitu kemunculan kembali novel ini
diketahui pada tahun 2000. Selain diterbitkan oleh Bentang, juga
diterbitkan Aksara Indonesia, juga berdomisili di Yogyakarta.
Pada pendahuluan yang dibuat pada tanggal 26 Maret 1919, Marco
Kartodikromo, tanpa gelar Mas di depannya, menjelaskan bahwa Student
Hidjo merupakan buah pena waktu menjalani hukuman perkara persdelict, di
Civiel en Militair Gevangenhuis di Weltevreden
selama satu tahun. Selain Student Hidjo, selama setahun di penjara itu,
Marco juga menulis buku Sair Rempah-Rempah, Matahariah dan masih ada
yang lain yang tak disebutkan. Sudah jelas tampak bahwa Marco adalah
seorang penulis yang produktif. Tulisan lain yang sangat terkenal
judulnya bahkan hingga saat ini dan sering dianggap sebagai idiom
cita-cita komunisme adalah Sair Sama Rata Sama Rasa yang kemudian juga
menjadi slogan dan semboyan dalam perjuangan.
Menurut Pramoedya Ananta Toer, semboyan Sama Rata Sama Rasa ini, di
kalangan rakyat jelata mempunyai kekuatan yang menghidupi, dan kekuatan
ini, yang tidak menarik para sarjana, telah memberikan sumbangan yang
tidak sedikit artinya bagi perjuangan untuk memenangkan kemerdekaan
nasional dan keadilan sosial. Karena bagi rakyat, kemerdekaan nasional
yang ditingkatkan dengan revolusi nasional diharapkan sekaligus
mengandung di dalamnya keadilan sosial sebagaimana disebutkan tanpa
sembunyi-sembunyi dalam salah satu sila dari Pancasila. (Pramoedya
Ananta Toer, Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia, Lentera Dipantara,
Jakarta, cetakan II 2003;96)
Selain sebagai pengarang sastra, Marco juga dikenal aktif dalam
kegiatan jurnalisme dan politik. Ia dikenal sebagai pendiri pertama kali
organisasi wartawan di Hindia Belanda,
Inlandsche Journalisten Bond,
IJB, di Surakarta tahun 1914, aktif di organisasi Serikat Islam sejak
tahun 1911 dan meninggal dalam pangkuan organisasi Partai Komunis
Indonesia, PKI, dalam pembuangan di Digul, Papua pada tanggal 18 Maret
1932. Marco Kartodikromo dilahirkan di Cepu, Blora, sekitar tahun 1890
dari keluarga priyayi rendahan dan sempat memperoleh pendidikan Ongko
Loro di Bojonegoro dan sekolah swasta bumiputera Belanda di Purworejo.
Melalui novel ini, Marco dengan lembut, ringan, sederhana tapi tajam
menyampaikan cita-cita dan pandangannya terhadap kolonialisme Belanda,
termasuk dunia kapitalisme. Selain menceritakan hubungan perjodohan,
percintaan dan pacaran model Eropa dan Timur, latar cerita novel ini
adalah kongres Serikat Islam, di Solo yang begitu meriah dan penuh
dukungan dari rakyat. Hidjo tokoh utama dalam novel ini digambarkan
sebagai student atau mahasiswa yang briliyan, cerdas dan cinta pada
negeri dan keluarganya walau juga paham betul soal-soal sopan-santun
adat Eropa. Ia pun dicintai banyak orang termasuk orang-orang Eropa.
Ketika Hidjo sampai di Amsterdam untuk melanjutkan studi ke Delf,
tumbuhlah kesadaran yang luar biasa bagi dirinya yaitu bahwa mulai saat
itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di
Tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala. Di sebuah Hotel,
Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir,
kalau orang yang baru datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. (h.
46)
”Kalau di Negeri Belanda, dan ternyata orang-orangnya cuma begini
saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti diperintah oleh
orang Belanda.” (h. 46)
Di bagian lain, konsepsi dunia kapitalisme disampaikan dengan ringan
ketika Raden Nganten dan Raden Potronojo, orang tua Hidjo merasa tidak
pantas bila sebagai keluarga saudagar hendak melamar putri seorang
regent.
“Apakah Raden Ayu dan Raden Mas Tumenggung tidak malu mempunyai anak
kawin dengan anaknya orang yang hina seperti kita?” tanya Raden Nganten
bergurau
“Tidak Raden Nganten, zaman sekarang ini tidak ada lagi orang hina
dan mulia. Kalau dipikir, sebetulnya semua manusia itu sama saja. Saya
seorang Regent, itu kalau dipikir mendalam, badan saya ini tidak ada
bedanya dengan jongos atau tukang kebun Belanda. Jadi saya ini
sebagaimana perkataan umum ’buruh’ . Maka dari itu umpama anak saya
kawin dengan anak Tuan apa jeleknya? Asal yang menjalaninya suka!”
begitu kata Regent dengan panjang lebar kepada Raden Nganten
(h.136-137).
Lihatlah, betapa berbeda 180 derajat dengan tema perkawinan dan
perjodohan pada novel Azab dan Sengsara, Merari Siregar yang ditulis dua
tahun kemudian dan diterbitkan Balai Pustaka dan tentu saja juga dengan
novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli dalam tema yang sama perkawinan
dan perjodohan yang juga diterbitkan Balai Pustaka. Pada Azab dan
Sengsara, perjodohan masih mempertimbangkan orang hina dan mulia. Ayah
Aminuddin tak menginginkan Aminuddin menikah dengan Mariamin yang miskin
dan papa tapi menginginkan perkawinan yang sederajat, bangsawan dan
kaya. Pada Siti Nurbaya, perjodohan dipaksakan oleh orang tua sementara
pada Student Hidjo, Asal yang menjalaninya suka!
Membaca isi novel ini yang begitu kritis terhadap kolonialisme
Belanda, sudah sewajarnya bila Penjajah Belanda melalui Balai Pustaka
(1917) yang dilandasi nota Dr Rinkes itu tidak mengakui kesastraan Novel
ini dan memasukkannya dalam kelompok bacaan liar. Yang mengherankan,
justru sebagian dari kita saat ini, masih melupakan atau bahkan
mengabaikan kemunculan novel ini dalam perkembangan Sastra Indonesia dan
menganggap tidak penting kepengarangan dan perjuangan Marco
Kartodikromo dalam melawan penjajahan Belanda dan melulu hanya
berpatokan pada Balai Pustaka dengan kemunculan Novel Merari Siregar,
Azab dan Sengsara itu.
Student Hidjo, sebuah Novel, layak dibaca kembali terutama oleh para
pelajar dan mahasiswa saat ini agar semakin memahami dunia student di
bawah penjajahan Belanda dan ketika jaman benar-benar dibangkitkan untuk
bergerak oleh para pemuda terpelajar Hindia Belanda dengan berbagai
cita-cita dan kehendak untuk merdeka dari penjajahan, terlebih dunia
kita saat ini yang seakan kembali mengalami penjajahan baru, dengan
semakin dikuasainya kekayaan alam bangsa kita oleh asing, privatisasi
gila-gilaan BUMN-BUMN dan hancurnya industri nasional kita seperti
industri gula, kopi, kayu….dan yang lain-lain akan menyusul..?
Jakarta, 9 November 2010