TERJUAL
Harga: Rp.40.000 (blum ongkir)
kondisi: bagus
berat: 0,21 kg
tebal: 214 hal
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Membaca 'Penembak Misterius', mungkin anda akan merasa takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki. Tapi di saat yang bersamaan, seluruh peristiwa yang tergambar dalam kisah-kisah di buku ini terasa familiar dengan keadaan kita. Keadaan negara kita. Atau suatu masa di negara kita. Itulah kekuatan cerita, ketika peristiwa dinyatakan dalam satuan waktu hingga tinggal menjadi sejarah atau kenangan tak berarti, cerita adalah cerita; ia tak lekang oleh waktu. Ia tak benar, tapi tak juga salah. Kalau saya bilang setting 'Penembak Misterius' adalah negara kita di masa orde baru, mungkin saya salah. Tapi pada satu titik pertemuan waktu, negara kita pernah menjadi suatu negeri yang amat mengerikan bagi rakyatnya, atau: bagi mereka yang menentang pemerintahnya. Ketika itu, perasaan takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki mungkin terasa lebih riil karena itulah realita. Dan di situ pula kekuatan sastra: seharusnya kita tak boleh menghakimi penulisnya karena membuat cerita yang mirip dengan realita. Mungkin ia hanya menyortir sebagian realita dan mewujudkannya dalam dunia imajinasinya; dunia yang mirip dengan kenyataan. Sah-sah saja, bukan?
Setidaknya hal itu yang saya tangkap ketika membaca 'Penembak Misterius'. Dunia paralel yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma begitu mirip dengan dunia kita; dengan rakyat miskin yang kelaparan, dengan ketidakadilan, dengan becak-becak yang digusur (“Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)”), dengan istri-istri yang menanti suaminya membanting tulang di kota besar (“Tragedi Asih Istrinya Sukab”), dengan budaya tak tahu antre (“Loket”), dengan budaya pamer kekayaan dan bermegah-megahan dengan harta tak seberapa - atau bahkan malah tak berpunya (“Helikopter”). Semua disajikan secara satir; komedi dan tragedi saling selit-belit hingga saya mau tak mau harus meringis kala membacanya - tersenyum pahit. Karena sekali lagi, semuanya begitu familiar di mata dan telinga. Entah, mungkin saya pernah membacanya di koran atau mendengar di berita. Buku ini diterbitkan tahun 1993, berarti dunia belum berubah banyak sejak saat itu.
Terkadang Seno juga mengajak kita tertawa pada kebodohan manusia, kebodohan kita sendiri, yang sering larut dalam pembodohan padahal tahu sedang dibodohi (“Srengenge”). Mungkin juga Seno hanya sedang menulis ulang sejarah. Mungkin di dunianya, inilah yang terjadi pada manusia-manusianya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya membodohi yang miskin.
Satu kisah yang ringan dan paling saya suka adalah yang berjudul "Melati dalam Pot” yang bercerita tentang kenangan dalam objek bunga melati. Sadar atau tidak, dalam hidup ini kita akan meninggalkan jejak. Apakah kita ingin seharum bunga melati, atau sebusuk mayat yang jadi zombie (“Grhhh!”,), tergantung bagaimana kita melangkah dalam hidup dan meninggalkan jejak. Bersama Seno Gumira Ajidarma, sejarah, fenomena, pembenaran dan realita semua ditayangkan ulang ke dalam ingatan kita, agar kita dapat tertawa bersama, tertampar bersama dan menangis bersama; dalam kisah-kisah yang tak akan lekang oleh waktu dan lebih mudah diingat daripada pelajaran sejarah di sekolah.
Harga: Rp.40.000 (blum ongkir)
kondisi: bagus
berat: 0,21 kg
tebal: 214 hal
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Penulis SGA (Seno Gumira Ajidarma)
Membaca 'Penembak Misterius', mungkin anda akan merasa takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki. Tapi di saat yang bersamaan, seluruh peristiwa yang tergambar dalam kisah-kisah di buku ini terasa familiar dengan keadaan kita. Keadaan negara kita. Atau suatu masa di negara kita. Itulah kekuatan cerita, ketika peristiwa dinyatakan dalam satuan waktu hingga tinggal menjadi sejarah atau kenangan tak berarti, cerita adalah cerita; ia tak lekang oleh waktu. Ia tak benar, tapi tak juga salah. Kalau saya bilang setting 'Penembak Misterius' adalah negara kita di masa orde baru, mungkin saya salah. Tapi pada satu titik pertemuan waktu, negara kita pernah menjadi suatu negeri yang amat mengerikan bagi rakyatnya, atau: bagi mereka yang menentang pemerintahnya. Ketika itu, perasaan takut, jijik, tercekam, meledek, meludah, dan mencaci maki mungkin terasa lebih riil karena itulah realita. Dan di situ pula kekuatan sastra: seharusnya kita tak boleh menghakimi penulisnya karena membuat cerita yang mirip dengan realita. Mungkin ia hanya menyortir sebagian realita dan mewujudkannya dalam dunia imajinasinya; dunia yang mirip dengan kenyataan. Sah-sah saja, bukan?
Setidaknya hal itu yang saya tangkap ketika membaca 'Penembak Misterius'. Dunia paralel yang digambarkan Seno Gumira Ajidarma begitu mirip dengan dunia kita; dengan rakyat miskin yang kelaparan, dengan ketidakadilan, dengan becak-becak yang digusur (“Becak Terakhir di Dunia (atawa Rambo)”), dengan istri-istri yang menanti suaminya membanting tulang di kota besar (“Tragedi Asih Istrinya Sukab”), dengan budaya tak tahu antre (“Loket”), dengan budaya pamer kekayaan dan bermegah-megahan dengan harta tak seberapa - atau bahkan malah tak berpunya (“Helikopter”). Semua disajikan secara satir; komedi dan tragedi saling selit-belit hingga saya mau tak mau harus meringis kala membacanya - tersenyum pahit. Karena sekali lagi, semuanya begitu familiar di mata dan telinga. Entah, mungkin saya pernah membacanya di koran atau mendengar di berita. Buku ini diterbitkan tahun 1993, berarti dunia belum berubah banyak sejak saat itu.
Terkadang Seno juga mengajak kita tertawa pada kebodohan manusia, kebodohan kita sendiri, yang sering larut dalam pembodohan padahal tahu sedang dibodohi (“Srengenge”). Mungkin juga Seno hanya sedang menulis ulang sejarah. Mungkin di dunianya, inilah yang terjadi pada manusia-manusianya. Yang miskin tetap miskin, yang kaya membodohi yang miskin.
Satu kisah yang ringan dan paling saya suka adalah yang berjudul "Melati dalam Pot” yang bercerita tentang kenangan dalam objek bunga melati. Sadar atau tidak, dalam hidup ini kita akan meninggalkan jejak. Apakah kita ingin seharum bunga melati, atau sebusuk mayat yang jadi zombie (“Grhhh!”,), tergantung bagaimana kita melangkah dalam hidup dan meninggalkan jejak. Bersama Seno Gumira Ajidarma, sejarah, fenomena, pembenaran dan realita semua ditayangkan ulang ke dalam ingatan kita, agar kita dapat tertawa bersama, tertampar bersama dan menangis bersama; dalam kisah-kisah yang tak akan lekang oleh waktu dan lebih mudah diingat daripada pelajaran sejarah di sekolah.