|
Isi dalam Buku |
|
Cover buku |
Harga: Rp.450 rb (blum ongkir)
Novel ini merupakan hasil `reportase` singkat Pramoedya Ananta Toer DI
wilayah Banten Selatan Yang subur tapi rentan dengan penjarahan dan
pembunuhan. Tanah yang subur tapi masyarakatnya miskin, kerdil, tidak
berdaya, lumpuh daya kerjanya. Mereka diisap sedemikian rupa. Mereka
dipaksa hidup dalam tindihan rasa takut yang memiskinkan.
Tubuh boleh disekap, ditendang, diinjak-injak, tapi semangat
hidup tak boleh redup. Menurut Pram, semangat hidup itulah yang membuat
seseorang bisa hidup dan terus bekerj. Bertolak dari situ Pram bertekad
kuat mengorbankan
Resensi:
Kita hidup dalam kesakitan melulu. Kalau bukan daging yang sakit ya hati. Kesakitan melulu!
Adalah Ranta dan Ireng, sepasang suami istri penghuni gubuk sederhana
dalam kondisi serba kekurangan. Ranta diperintah secara paksa oleh
Juragan Musa dengan dijanjikan imbalan bayaran tinggi, namun ternyata
tidak seperti yang diharapkan, Ranta malah mendapat hadiah pukulan
membabibuta. Bosan diperlakukan dengan tidak adil oleh sang Juragan,
Ranta memutuskan untuk melawan saat kunjungan sang Juragan berikutnya.
Perlawanan Ranta dan beberapa orang pemikul singkong yang mampir ke
rumahnya membuahkan hasil, sang Juragan mendapat ganjaran setimpal atas
perbuatannya setelah berulangkali mengingkari berbagai fakta dan bukti
bahwa dia terlibat dalam kegiatan Darul Islam (DI). Istri Juragan Musa
pun harus menerima kenyataan ditinggalkan suaminya yang ditangkap
tersebut, bahkan dia harus mengalami nasib naas sepeninggal suaminya
tersebut.
Ranta kemudian ditawari menjadi Lurah sementara di
daerah Banten Selatan tersebut oleh Komandan yang menangkap Juragan
Musa. Walaupun berpendidikan rendah, namun Ranta dipercaya oleh
orang-orang di sekitarnya karena tekadnya yang kuat untuk melepaskan
diri dari ketidakadilan. Bersama para penduduk desa yang mempercayainya,
Ranta dibantu Komandan berupaya membangun kembali tempat tinggal mereka
menjadi tempat yang lebih nyaman dan terus berkembang.
“Kau belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat di
Palembang, Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di
mana-mana aku selalu dengar. Yang benar juga akhirnya yang menang, Itu
benar. Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia
mesti diperjuangkan untuk menjadi benar…”
Gotongroyong menjadi
tema utama dalam buku ini, dimana pasca kekuasaan DI, suatu tempat di
wilayah Banten Selatan harus mulai membangun kembali tempat tinggal
mereka. Kondisi daerah Banten Selatan sebenarnya kaya akan sumber daya
alam, namun belum tergarap secara maksimal dan terabaikan oleh
pembangunan. Mau tidak mau, penduduk setempat harus mengerahkan segala
sumber daya yang mereka miliki agar mampu bertahan terhadap tantangan
masa depan. Selain dituntut untuk meningkatkan kemampuan agar menjadi
manusia yang lebih berkualitas dengan belajar baca-tulis, para penduduk
tersebut juga harus tetap menjaga semangat gotongroyong dan rasa
memiliki terhadap tempat tinggal mereka agar mampu menaklukkan keadaan.
Pada pengantar buku ini, Pram mengungkapkan bahwa cerita ini ditulis
berdasarkan hasil wawancaranya terhadap beberapa orang di sekitar Banten
Selatan pada tahun 1957. Walaupun kemudian memang terjadi pengembangan
cerita, namun ide dasarnya berasa dari wawancara dan kunjungan singkat
beliau tersebut dimana dua bulan setelahnya terdengar kabar bahwa Banten
Selatan diporakporandakan oleh Darul Islam. Terlepas dari peristiwa
yang ternyta melibatkan beberapa orang yang sempat diwawancarainya itu,
kemauan dan pemikiran mereka untuk bergotongroyong membangun daerah
tempat tinggal mereka saja sudah menjadi nilai lebih yang pantas
dilestarikan di zaman modern ini.